Dua Puluh Tiga

922 73 0
                                    

Aku dan Fitri sedang sholat berjamaah bersama ratusan santri putri yang lain. Khusuk. Hanya suara imam yang terdengar merdu mengalunkan surat Al-Fatihah hingga bersamaan kami mengamini. Memang begitu sejak dulu. Sejak Nabi dan para sahabatnya melaksanakan sholat subuh usai peristiwa Isra dan Miraj. Tapi bukan peristiwa itu yang hendak kuceritakan. Sudah banyak buku yang mengisahkan peristiwa itu.

Namun peristiwa saat ini. Usai imam sholat mengucapkan dua kali salam. Fitri roboh dari duduk tahiyat akhirnya. Tersungkur tepat diatas pangkuanku. Ya, Allah! Apa yang terjadi padanya.

"Astaghfirullah, Fitri, kamu kenapa Fit." aku panik sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya yang lunglai. Mencari perhatian teman di sekelilingku dengan menengok ke kanan kiri. Ada yang tidak beres maksudnya. Tolong kemari, ada yang pingsan disini.

Beberapa detik kemudian seorang santri menghampirku,

"Ada apa, Ning? Ini kenapa?" tanyanya dengan panik.

Aku segera meggeleng cepat. Tidak tahu. Nanti saja bertanya. Urusan Fitri sekarang jauh lebih penting.

***

Sepuluh menit kemudian aku sudah berada di ruangan UKP. Menggenggam jemari Fitri yang baru saja mendapatkan infus dari dokter pesantren. Untung saja fasilitas di pondokku terbilang lumayan lengkap. Jika tidak, aku tak tahu apa yang akan terjadi dengan Fitri.

Aku benar-benar khawatir. Meski dokter pondok mengatakan bahwa keadaan Fitri akan membaik. Beliau menganalisa Fitri kekurangan cairan dan nutrisi makanan. Boleh jadi si Fitri belum mengkonsumsi makanan untuk waktu yang relatif lama. Membuat syaraf motoriknya melemah dan membuatnya tak sadarkan diri.

Astaghfirullah. Apa yang sebenarnya terjadi dengan Fitri. Mengapa sampai begini. Jika benar analisa dokter, maka aku akan sangat merasa bersalah karena membiarkanmu hingga seperti ini, Fitri. Maafkan aku teman. Kau selalu ada disampingku jika aku membutuhkanmu, tapi demi melihatmu seperti ini, kemana saja aku hingga melupakanmu. Tak memperhatikan keadaanmu hingga kau harus mengalami hal ini.Tak terasa bulir air menetes dari kedua mataku. Meluncur deras hingga membasahi kerudung yang kukenakan.

"Ning." beberapa menit kemudian suara Fitri mengejutkanku yang sedang duduk di sebelah ranjangnya, menyandarkan kepala sambil menggenggam tangan Fitri. Segera kuusap airmataku yang masih menggenang.

"Alhamdulillah kau sudah sadar Fit. Bagaimana keadaanmu?" aku langsung bangkit dari duduk. Menangkap senyum Fitri saat kuelus pipi kirinya.

"Aku tidak apa-apa. Jangan khawatir." jawab Fitri lemah. Tangan kirinya menggenggam jemariku.

"Ning menangis, ya?" tanyanya. Aku hanya tertunduk menahan haru,

"Maafkan aku ya, Fit. Gara-gara aku kau jadi begini." mataku kembali sembab. Nafasku mulai payah menahan cairan di rongga hidungku.

"Kok Ning Ava bicara seperti itu. Ini bukan salah Ning kok." dahi Fitri terlipat.

"Aku sudah tahu Fit kalau kau belum makan. Dokter pondok yang bilang setelah memeriksa keadaanmu. Sebenarnya apa yang terjadi denganmu Fit? Sudah berapa hari kau tak makan?" kupegang lengan Fitri. Yang ditanya hanya menatap kosong langit-langit kamar berukuran empat kali empat meter ini.

Fitri pun menceritakan semuanya padaku.


***

Dari cerita Fitri, aku menangkap inti dari akar masalahnya. Fitri berasal dari Jombang. Kedua orangtuanya adalah petani, memiliki dua orang anak yang harus mereka besarkan. Fitri adalah anak pertama, sementara adik laki-lakinya yang dirumah masih umur lima tahun. Meski petani namun kehidupan mereka alhamdulillah berkecukupan. Setidaknya hingga seminggu yang lalu.

Fitri mendapat kabar melalui telepon satu minggu yang lalu dari bapaknya. Beliau mengabarkan kalau untuk saat ini belum bisa mengirimi uang karena panen padi dikampung mengalami musibah. Bendungan irigasi yang terhubung ke sawah-sawah penduduk jebol. Membuat rusak padi yang tinggal menunggu hitungan hari saja untuk dipanen. Jangankan untuk mengirim uang. Untuk modal bercocok selanjutnya saja harus menghutang kesana-kemari. Tidak tega dengan keadaan orangtuanya, lalu Fitri mengatakan kepada beliau agar tidak usah cemas dengan keadaannya di pondok. Maaf tidak bisa pulang seperti permintaan bapak. Fitri harus tetap melanjutkan sekolah di pesantren ini.

Lihatlah, Fitri bukan menolak orangtua yang menyuruhnya pulang. Hanya tidak mau saja menambah beban orangtuanya jika berada dirumah. Lebih dari itu semua, pendidikannya teramat sayang jika harus putus ditengah jalan.

Maka Fitri pun memutuskan untuk bertahan di pondok ini. Berusaha sedapat mungkin bersikap biasa dihadapan teman-temannya. Memilih untuk menyimpan sendiri masalah yang sedang menimpa dirinya. Ya Allah, bahkan di hadapanku sendiri ia tidak terlihat sedang mengalami masa-masa sulit. Nampak seperti tidak terjadi apa-apa padahal menahan pedih.Mengapa aku berkata demikian? Lihatlah teman! Semenjak hari dimana kabar duka itu sampai di telinga Fitri. Ia menahan lapar selama 7 hari. Menahan perut kosong dengan cara berpuasa tanpa makan, hanya minum air putih saja. Dan puncak dari pertahanan tubuh itu telah mencapai batas-batas kemampuan Fitri. Saat ia tersungkur lemah tak sadarkan diri tepat diatas pangkuanku usai melaksanakan sholat maghrib.

Demi mendengar semua cerita itu, aku segera menghambur keluar dari ruangan ini. Menahan tubuhku yang mendadak kelu dengan memegang tembok luar UKP sambil terisak pilu. Merasa benar-benar menjadi orang yang tak berguna sama sekali.Bukankah aku seorang muslim? Bagaimana mungkin aku tidak tahu sama sekali sepotong kehidupan disekitarku. Sepotong kejadian yang sedang dialami oleh Fitri. Teman sekamarku sendiri.

"Tidaklah mukmin orang yang kenyang sementara tetangganya lapar sampai ke lambungnya."
(HR. Bukhari dalam kitab Al-Adab Al-Mufrad dan Tabhrani dalam Al-Khabir)

Aku harus berbuat sesuatu untuk Fitri. Aku tahu apa yang harus kulakukan untuk mengurangi rasa bersalahku.

***

Somewhere Only We Know [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang