Dua Puluh Delapan

1.4K 74 0
                                    

Akhirnya Fitri menikah dengan Gus Idris. Aku merasa bersyukur sekali dapat menyaksikan hajat penting dalam hidup sahabatku. Diam-diam menyeka airmata yang tanpa sadar menetes begitu saja ketika para saksi menyatakan sah atas ijab qobul yang baru saja diucapkan. Dan aku tersenyum haru melihat Fitri mencium tangan suaminya.

Saat itu matahari masih berjalan sepenggalah. Pernikahan mereka berlangsung amat khidmat. Tak mewah. Namun sangat ramai dikunjungi banyak orang. Bahkan sampai ada yang harus berdiri dan sebagian yang lain memilih untuk duduk beralaskan sandal. Benar-benar pernikahan sederhana yang luar biasa sekali. Bagai magnet saja, pondok ini menyedot ribuan orang yang hendak menyaksikan kehidupan baru sang generasi penerus pesantren ini--Gus Idris. Aku yakin ini adalah jalan terindah yang Allah tetapkan untuk Fitri.

Sudah menjadi takdirnya mereka hidup bersama. Bagaimana tidak aku berkata seperti ini. Pertemuan mereka memang sudah digariskan saat Fitri terbaring lemah diruang UKP setelah tujuh hari berpuasa tanpa makan, hanya minum saja. Hingga berita itu terdengar sampai ke telinga Gus Idris. Dan akhirnya terjadilah pertemuan itu. Kalian tentu dapat menebak kelanjutan kisah mereka. Aku pun baru tahu saat Fitri menceritakan detilnya.Pertemuan itu ternyata menumbuhkan rasa kagum dihati Gus Idris. Rasa kagum yang lambat laun menjelma menjadi cinta. Lalu apakah Fitri tahu perasaan Gus Idris? Apakah Gus Idris tahu perasaan Fitri padanya? Tidak. Mereka berdua saling memendam perasaan masing-masing, menyimpannya dalam hati, menutup rapat-rapat pada siapa saja yang ada disekitarnya hingga kami lulus dari pesantren ini.

Saat aku berangkat ke Ponorogo, malam hari bakda Isya romo kyai menanyakan langsung pada Fitri. Meminta izin apakah diperbolehkan datang kerumahnya di Jombang untuk melamar dihadapan orangtuanya. Dan tak perlu berpikir dua kali, Fitri langsung mengiyakan permintaan yang sebenarnya sudah lama ia tunggu, ia harapkan. Tiga hari kemudian, menikahlah mereka berdua. Sesederhana itu saja.

Melalui sepenggal kisah ini, Fitri, izinkan aku untuk mengungkapkan isi kalbuku. Bahwa sampai malaikat maut menjemput--kau akan tetap menjadi sahabat terbaikku, tidak peduli meski jarak dan keadaan kita berbeda. Biarlah kukisahkan kepada teman-teman yang lain.

Bahwa Allah adalah sutradara paling hebat di alam semesta. Pemilik seluruh naskah hidup sang anak manusia.

Dan kisahmu adalah salah satunya.

***

Langit senja cerah.

Mobil yang kami tumpangi melaju stabil di jalan Raya Singosari. Abah memutuskan segera kembali ke Pasuruan bakda ashar karena pondok membutuhkan Abah. Semua barang bawaanku juga sudah siap, jadi tidak repot lagi menungguku berkemas. Langsung pamit pada romo kyai. Dan sekarang sudah duduk disamping Abah dalam mobil. Sesekali Abah mengajakku mengobrol untuk mengisi waktu.

"Dulu Abah sangat mengagumi KH. Hasyim Asyari." Abah tersenyum. Menatap lurus jalanan yang nampak dari dari dalam mobil.

"Ya, Bah?" aku menoleh.

"Iya. Abah masih kecil saat mondok di Tebuireng. Meski tidak sempat menangi beliau, tapi Abah ingin seperti beliau." Mata teduh Abah terpejam. Usianya memang sudah renta. Menghela nafas pelan.

"Seperti beliau bagaimana, Bah?"

"Abah ingin sekali seperti beliau, menuntut ilmu di Al-Azhar. Belajar sungguh-sungguh dari para alim ulama disana. Tapi Allah berkehendak lain. Abah hanya orang kecil, orangtua Abah tidak mungkin mampu membiayai sekolah sampai kesana." Abah menoleh kearahku. Tersenyum.

"Tapi Abah tidak putus asa. Sekolah dimanapun asal dengan niat dan tekad yang kuat. Insyaallah ilmunya menjadi manfaat. Dan kau tahu, nduk? Allah itu Maha Adil. Tidak datang kesempatan itu pada Abah, tapi Dia menggantinya dengan kesempatan anakku untuk sekolah disana. Abah yakin Insyaallah kamu lulus ujian itu. Jadi, yang sungguh-sungguh dan istiqomah-lah kamu jika nanti sekolah disana, ya." Abah mengusap kepalaku.

"Insyaallah, Bah. Ava ndak akan mengecewakan Abah. Mohon doa restunya, Bah." ucapku sambil mencium tangan kanan Abah.

Abah mencium kepalaku. Mengusapnya beberapa kali. Nampak matanya berkaca-kaca. Aku janji, Bah. Sungguh aku berjanji untuk tholabul ilmi. Ucapku dalam hati. Dan Abah tersenyum.

***

Kaki langit meremang merah. Matahari sudah hampir tenggelam di mulut cakrawala. Mobil yang membawa kami beringsut memasuki halaman Ndalem saat Avan menutup kilatannya di masjid. Santri-santri segera bubar dari barisannya menuju kamarnya masing-masing. Satu dua ada yang mengambil wudhu untuk persiapan sholat magrib.

Aku sendiri segera menuju kamar kak Zara. Kosong. Kak Zara memang ikut suaminya di Tebuireng karena beliau mengajar disana. Dan sekarang beralih menjadi kamarku.

"Pakaianmu taruh saja di lemari, nduk. Dan kitab-kitabmu susun di rak kitab ruang tengah." Umi tersenyum. Memberitahu saat aku memeriksa isi kamar.

"Nggih, Umi." jawabku.

"Ayo, agak cepat sedikit. Sebentar lagi maghrib lho. Umi tinggal dulu ya, mau kedapur dulu, menyiapkan makan malam." pamit Umi. Aku tersenyum. Mengangguk. Segera menata barang bawaanku.

Usai membereskan perlengkapan, aku segera mandi dan bersiap untuk sholat magrib di masjid. Menunggu Abah dan Umi di ruang tengah sambil menonton televisi. Maklum, di pondokku jarang sekali menonton televisi. Mungkin hanya sesekali saja jika kebetulan ada rumah warga yang pintunya terbuka dan nampak siaran berita di televisi. Maka aku dan Fitri pasti berhenti sebentar, menonton dari luar. Berdiri di pinggir jalan, lalu segera pulang ke pondok. Saat dirumah sendiri, menonton televisi merupakan hiburan wajib yang aku lakukan.

"Sudah siap, nduk?" suara Abah mengagetkanku saat sedang serius menyimak berita.

"Oh, sudah, Bah." aku segera mematikan televisi.

"Mas Avan mana, Bah. Kok ndak ikut bareng?" aku heran karena Avan belum nampak sejak mengakhiri pengajian kilatan.

"Mungkin masih di masjid sekalian nunggu maghrib. Ayo, Umi juga sudah siap." Abah berlalu menuju masjid.Umi muncul dari dalam kamar. Berjalan di belakang Abah. Aku mensejajari Umi.


***


Usai melaksanakan sholat maghrib, kami berkumpul di ruang tengah. Biasa. Makan bersama sambil lesehan di lantai. Hanya saja tidak ada kak Zara. Suasana jadi terasa sepi karena tidak ada yang menggodaku dirumah. Dan aku belum melihat batang hidung Avan sejak tadi. Jadi makin bertambah sepi saja tanpa kehadirannya.

"Lho kamu kenapa, le?" Abah mengagetkanku saat kami makan. Aku ikut menoleh ke belakang.

Avan sedang dipapah Amir, seorang khodam Abah. Pelan-pelan berjalan sambil dipegangi bahunya oleh Amir. Dia tak menjawab pertanyaan Abah. Hanya tersenyum dan patah-patah duduk meleseh di sebelahku.

"Avan ndak kenapa-kenapa, Bah." ucap Avan. Aku mencium tangan kakakku. Avan tersenyum padaku,

"Va, ambilkan aku makan. Oiya, Mir. Sini duduk. Makan dulu." pinta Avan.

"Nggeh, Gus." Amir malu-malu di sebelah Avan.

"Ndak apa-apa yaopo seh? Umi, itu Avan kenapa?" tanya Abah ke Umi.Umi hanya menggeleng.

"Biar Amir saja yang cerita, Bah. Umi bingung mau menjelaskan. Lhawong Umi juga ndak tahu kok." jawab Umi polos.

"Maaf, Bah. Kita makan saja dulu. Nanti saja ya dibahasnya. Avan lapar ini. He..he..." Avan memotong.

Aku juga heran kenapa Avan seperti itu. Kakinya normal-normal saja kulihat. Tidak ada yang aneh. Tapi kenapa jalannya dipapah Amir. Pun kulihat tidak ada luka yang nampak sedikitpun di badannya.Ya Allah, apa yang terjadi padanya? Ada apa dengan Avanku.

Somewhere Only We Know [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang