Tujuh Belas

1.3K 77 0
                                    

Matahari telah kembali ke peraduannya. Kami sampai dirumah sekitar jam enam lebih sedikit, tepat saat muadzin masjid pondok membacakan doa sesudah adzan. Saat kami tiba di rumah Ndalem, suasana pelataran sudah ramai.

Ada dua mobil CRV plat B yang terparkir rapi di garasi sebelah Ndalem. Pintu depan juga terbuka memperlihatkan siluet kesibukan yang ada disana. Selain itu terlihat para santri mulai ramai berseliweran menuju masjid untuk bersiap sholat jamaah magrib. Aku dan Avan akhirnya masuk lewat pintu samping, meletakkan barang bawaanku dikamar kak Zara dan segera mengambil tas mukena. Kemudian menuju masjid bareng Avan.

***

Usai sholat berjamaah aku kembali kerumah bersama kak Zara yang tadi berada disampingku saat sholat. Avan sudah menunggu kami di altar masjid kemudian bergabung pulang bersama-sama, padahal jarak Ndalem cuma dua puluh meter saja. Tapi memang berjalan santai usai sholat memiliki sensasi tersendiri buat kami, rasanya nikmat dan tentram, susah untuk dijelaskan. Memperlambat langkah, mengobrol barang satu dua hal.

"Kak!" kami bertiga serempak menoleh kearah teras. Suara itu berasal dari seorang gadis yang saat ini sedang berjalan menghampir kami.

"Kak Avan dan kak Ava, ya?" lanjutnya. Bergantian jari telunjuknya mengarah kepadaku dan Avan.

"Iya, Sof. Yang cowok ini kak Avan, dan yang cewek ini kak Ava." kata kak Zara.

"Waahhh, kak Ava cantik ya." sambil memelukku, cipika-cipiki. Aku cuma melongo saja, bingung dengan orang yang baru pertama kali kulihat. Hanya berusaha ramah dengan nyengir seadanya.

"Nah kalau kak Avan pasti ingat aku kan. Miss you, kak!" orang baru itu juga menyambut Avan dengan cara yang sama. Kali ini aku tidak melongo lagi, sudah syok melihat tingkahnya. Enak saja dia main serobot Avan. Batinku.

"Hei, Sofia ikut juga ya. Kapan tadi sampainya? Masyaallah makin cantik saja kau ini." sambut Avan. Dalam hatiku sudah panas sekali mendengar Avan berkata seperti itu. Apanya yang cantik! Pakaiannya saja ketat dan tidak memakai hijab begitu dibilang cantik. Awas ya kau, Van, batinku.

"Jam empat tadi kak." jawab orang baru yang dipanggil Sofia ini. Terdengar centil sekali di telingaku."Sudah nanti saja kita ngobrolnya. Kita makan dulu dirumah baru dilanjut kangen-kangenannya." kak Zara memotong.

Kami berempat pun segera masuk ke Ndalem. Tapi selera makanku sudah hilang.

***

Usai acara makan bersama kami semua berkumpul di ruang tengah, ruang keluarga. Rupanya meski selera makanku hilang gara-gara si Sofia centil itu, tapi lahap juga aku makannya. Perutku mengalahkan egoku, tak mau berkompromi karena sejak pagi tadi di pondokku belum makan sesuap nasi pun, hanya minum air putih saja.

Ruang tengah kami ukurannya besar. Terdapat tujuh sofa berukuran panjang dan tiga buah sofa berukuran kecil. Ruangan ini memang digunakan keluarga kami untuk berkumpul atau sekedar menonton tivi saja. Jadi penuh sudah ruangan ini. Bagaimana tidak! Rombongan paklik dari jakarta berjumlah empat belas orang, lengkap dengan anak-anaknya, mertua dan juga kerabat lain yang aku sendiri tidak tahu siapa mereka.

Aku duduk di sebelah Kak Zara, Avan dan keponakan-keponakan yang lain duduk di seberang kami, sementara Abah, paklik, Umi, dan orang tua yang lainnya duduk di sisi sofa sebelahnya lagi. Dan ternyata Sofia ini anaknya paklikku yang pertama. Dia sudah masuk semester pertama di salah satu kampus negeri di daerah Depok. Jadi meski usianya lebih tua tiga tahun diatasku tetap saja dia adalah adik keponakanku.

"Kangmas, bagaimana perkembangan pondok ini?" paklik mengobrol bersama Abah. Memulai percakapan dengan menanyakan kabar. Jika sudah begini maka semua anggota keluarga tidak ada yang berani mengobrol sendiri. Sudah menjadi tradisi untuk tidak mengganggu percakapan orang yang lebih tua.

Somewhere Only We Know [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang