Dua Puluh Dua

1K 71 1
                                    

"Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan berzikir (mengingat) Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram"
(QS ar-Ra'du ayat 28)

"Aku tahu itu tidak mudah, mengingat Allah dalam keadaan apapun. Tapi setidaknya, kita harus mencobanya bukan, daripada tidak ingat sama sekali." Avan mengusap kepalaku lagi. Menyugesti untuk membuatku tenang.

"Tapi Van, mengapa kita harus dilahirkan dalam satu rahim. Andai saja kita bukan saudara kandung, mungkin tidak begini jadinya. Mengapa juga aku harus mencintaimu, kakak kembarku sendiri yang ternyata juga mencintaiku. Atau jangan-jangan cinta ini sebuah kesalahan? Aku masih tak mengerti dengan cinta ini sendiri, Van!" aku melepaskan diri dari pelukan Avan. Mundur beberapa langkah dan berpaling muka. Menahan pedih yang sedari tadi terus menghujam ke ulu hati. Aku tidak mau Avan melihatku.

Avan menyentuh pundakkku, "Va, maafkan aku jika cinta ini membuatmu terluka. Tapi kau juga harus tahu bahwa Allah lah yang memberi perasaan cinta ini. Atas dasar itu, tidak semestinya kita menyalahkan cinta karena pemberian-Nya. Dia ..."

"Aku tahu, Van! Aku tahu. Tapi, kenapa hatiku selalu pedih jika mengingat kenyataan kita. " aku memotong kalimatnya, menggenggam jemari Avan tanpa memalingkan muka. Sementara itu bahuku sudah berguncang menahan sesak yang kembali menyeruak.

Lalu Avan duduk di sampingku yang masih berdiri. Terdengar ber-fuuh kemudian berkata,

"Dia-lah yang Maha membolak-balikkan hati. Bagi Allah mudah saja jika Ia berkehendak untuk menghapus rasa cinta ini, atau bisa jadi membuat kita saling membenci. Namun aku percaya,Va, Allah punya maksud dibalik ini semua, kita tidak akan pernah tahu kecuali hanya dengan menjalani apa yang sudah menjadi kewajiban kita. Kelak, waktu yang akan menjawab semua misteri ini."

Kami sama-sama terdiam. Larut dalam pikiran masing-masing. Entahlah. Aku paham dengan kalimat Avan, mungkin hanya belum memahaminya saja. Juga tidak berfikir sampai sejauh mana perasaan ini akan berujung.

Untuk beberapa saat, kami menikmati suasana malam di Segara Anakan. Dalam diam. Dalam keheningan kalbu yang berbalut rindu.

***

Hari demi hari berjalan, tak terasa sudah 3 bulan waktu berlalu.Kesibukan di pondokku berjalan seperti biasanya. Tetap dengan rutinitas yang tak jauh-jauh dari sekolah, ngaji, sorogan, hafalan, dan kesibukan khas pesantren pada umumnya. Yang membuat beda hanya sekarang aku sudah menginjak bangku kelas 2 Aliyah. Sudah seminggu ini tahun ajaran baru dimulai.

Urusan nilaiku, alhamdulillah masih diatas rata-rata meski tidak mendapatkan peringkat 1. Tidak apa, yang penting aku sudah berusaha. Lagipula nilai akademik tidak menjadi patokan utama di pondokku, tapi juga tidak bisa diremehkan begitu saja. Justru yang paling diutamakan adalah kemahiran dalam membaca kitab kuning yang berisi tulisan-tulisan berbahasa arab tanpa harokat. Dibutuhkan pemahaman nahwu shorof tingkat tinggi. Kemudian diberi kesempatan mengisi jam pelajaran seminggu sekali di kelas Ibtida'. Kabar baik untukku karena mendapat jatah kelas 5 Ibtida' untuk mata pelajaran Matan Jurumiyah. Salah satu dasar ilmu nahwu untuk pemula.

Lalu hafalan Al-Quran ku sekarang sudah sampai juz 5. Aku sendiri juga heran waktu menyadari hal itu. Mengapa aku tak menyadari hal itu? Karena sistem hafalanku tidak menggunakan Al-Quran langsung. Tapi berupa buku saku kecil yang berisikan surat-surat dalam ayat Al-Quran. Buku saku ini aku beli di toko kitab pesantrenku. Aku tersadar saat ustadz penjaga toko kitab di BUMD memberi uang kembalian pembelian buku saku surat An-Nisaa. Beliau bercanda dengan bilang

--"Masya Allah, sudah cantik pintar pula. Baru 3 bulan sudah sampai An-Nisaa"--.

Aku yang heran beliau berkata seperti itu lalu kembali ke kamar asrama dan meceritakan kegenitan pak ustadz yang tidak biasa kepada Fitri. Dan Fitri memberitahuku kalau maksud pak ustadz bukan genit, melainkan memberi tahu bahwa surat An-Nisaa itu surat yang terdapat dalam juz 5, padahal baru 3 bulan menghafal. Mungkin beliau sampai hafal melayaniku yang memang sering membeli kitab.Alhamdulillah sudah sampai juz 5. Tapi ini belum cukup, masih 10 juz lagi berarti. Tapi aku tidak mau terpaku pada juz, akan pusing jika melihat tebal halaman dalam Al-Quran. Menurutku lebih baik hafalan surat demi surat saja seperti catatan yang Avan berikan kepadaku. Dia bilang, aku tinggal memberi checklist saja daftar surat yang harus kuhafal setiap kali lunas (hafal satu surat). Kalian dapat mencoba tips ini teman, dijamin ampuh dalam upaya Daimul Kalam.

Lalu bagaimana dengan intensitas bertemu Avan? Alhamdulillah tetap berjalan lancar. Urusan perasaan pun sudah berubah drastis sejak ia menasehatiku malam itu. Lama-lama aku menyadari kalau perasaan ini memang begitu adanya, aku cinta Avan dan Avan juga tetap mencintaiku. Percuma untuk dilawan dalam urusan perasaan. Jadi, kami membiarkan saja mengalir apa adanya. Tidak melawan, tidak membiarkan diburu nafsu, juga tidak melanggar batas aturan. Alhamdulillah semua lancar.

Namun yang membuatku berubah adalah caraku bersosialisasi dengan teman-teman. Kesibukan di pondok dan aktivitas menghafalku membuat lupa diri bahwa aku punya kewajiban yang sama terhadap orang lain. Yaitu kewajiban memperhatikan urusan sesama muslim. Hingga Allah pun memberi sebuah pelajaran berharga kepadaku.

***

Di suatu sore usai pulang dari madrasah, aku langsung menuju ke kamar untuk mengambil uang di dalam lemari. Kemudian hendak menuju ke kantin karena tadi waktu jam istirahat tidak sempat mengisi perut. Langkahku terhenti saat melihat Fitri terbaring dan melamun di kasur lipatnya. Tiga hari ini dia memang tidak masuk sekolah dengan alasan sakit. Aneh melihatnya, aku berfikir untuk mengajaknya ke kantin.

"Fit, ikut aku yuk ke kantin. Ndak ada temannya, nih!" ajakku.

"Aku sedang puasa, Ning Ava. Ning sendiri saja ya, maaf ndak bisa nemenin." sahut Fitri sambil tersenyum.

"Ooh, yasudah aku ke kantin dulu ya. Assalamualaikum..." kataku sambil berlalu menuju kantin.

"Waalaikumsalam..." suara Fitri kudengar membalas salamku.

Saat makan di kantin aku memikirkan Fitri. Sudah tiga hari ini ia ijin tidak masuk sekolah karena sakit. Tapi anehnya, kenapa dia malah puasa. Aneh sekali temanku yang satu ini. Aku pun segera menghabiskan makanku karena memang sudah lapar sekali. Lalu segera kembali ke asrama untuk menghafal surat seperti biasanya.

Setelah sampai dikamar, kuambil buku saku hafalanku dan segera keluar menuju atas asrama. Mencari suasana agak tenang untuk mengingat ayat demi ayat surat An-Nisaa. Hingga akhirnya terdengar adzan magrib, dan aku kembali lagi ke kamar asrama untuk bersiap sholat jamaah.Usai mengambil air wudhu, kulihat Fitri masih berbaring. Sepertinya ia sedang tidur. Aku pun langsung menghampirinya hendak membangunkan untuk sholat.

"Fit, bangun. Sudah maghrib!" aku menepuk pelan lengannya.

"Hmmmm...." Fitri menggeliat. Setelah sadar ia langsung bangun.

"Jam berapa, Ning?" tanya Fitri.

"Sudah jam enam-an. Ayo, cepat berbuka! Lalu segera sholat maghrib."

"Iya, sebentar." jawab Fitri kemudian mengambil minum dan berbuka dengan air putih.

"Lho, ndak makan dulu kamu?" tanyaku heran melihatnya langsung mengambil mukena.

"Nanti saja bakda sholat. Yuk.." ajak Fitri.

Aku yang masih keheranan segera bangkit dari dudukku menyusul Fitri yang sudah lebih dulu berjalan keluar--mensejajarinya.

"Tunggu, ah Fit."Suara puji-pujian tarhim terdengar syahdu mengiring senja yang telah berganti malam.

Sementara itu bintang Zarah nampak malu-malu mendekati sang bulan. Malam ini akan menjadi salah satu malam yang tak akan pernah kulupakan. Malam dimana semesta hidup tidak hanya berkisah tentang diri kita sendiri, namun juga yang lainnya.

Sebuah pengalaman tentang arti dari persahabatan, datang usai kami melaksanakan sholat maghrib. Hadir membawa pilu hingga menukik ke relung nuraniku yang paling dalam.

Somewhere Only We Know [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang