Empat

1.9K 126 1
                                    

Malam hari saat aku tertidur.

Hujan turun deras sekali. Petir menggelegar memekakkan telinga. Andai ada sebuah pohon yang terkena sambarannya pastilah tumbang atau hangus seketika. Seperti yang kulihat di kebun kelapa milik romo kyai tempo hari yang lalu. Ujungnya hangus menyisakan sisa-sisa keganasan fenomena alam.

Saat itu aku sedang tertidur. Di sebelahku mbak Rifa sedang tidur dengan pulas. Aku tak seperti beliau, teman-temanku di asrama, atau bahkan kalian sendiri yang saat ini tengah membaca ceritaku ini. Aku tidur, namun masih dapat mendengar suara apapun di sekitarku. Kalau kata orang jawa tidur "kucing".

Dari kecil memang seperti ini. Aku masih ingat saat awal-awal pertama datang ke pesantren ini. Suatu malam saat aku tidur, aku mendengar suara aneh. Suara mendesis seperti suara ular. Dan benar saja saat kubuka mata seekor ular belang sedang mendesis di dekat dinding pintu. Segera kubangunkan mbak Rifa karena saat itu aku tak tahu binatang apa yang sedang berada didalam kamar asrama.

Malam itu, di malam hari setelah Abah menjengukku. Saat hujan sempurna membungkus kota kami. Saat petir mengelegar untuk yang kesekian kalinya. Saat itulah saat-saat pertamaku mengalami hal aneh itu.

***

Bertepatan dengan suara petir yang memekakkan telinga untuk yang entah keberapa kalinya. Seperti asap yang keluar dari sisa bara api. Aku terbangun dari tidurku. Memperhatikan sekitar kamar.

"Astaghfirullahhaladziim... apakah aku sudah mati!" aku segera menjauh dari tubuhku yang terbaring di sebelah mbak Rifa. Di luar, hujan masih turun dengan sangat derasnya. Suara petir amat memekakkan telinga. Menambah kekalutan atas kejadian yang baru pertama kali kualami ini.

Kuperhatikan tubuhku baik-baik. Seakan tak percaya dengan apa yang kualaami ini. Aku yakin ini bukan mimpi. Aku sadar sesadar-sadarnya bahwa yang kulihat adalah tubuhku yang sedang tidur disamping pengasuhku sejak kecil, mbak Rifa. Kuperhatikan dengan seksama untuk yang kesekian kalinya.

"Ya, Allah tubuhku masih bernafas." kulihat hidungku kembang kempis menandakan bahwa tubuhku masih bernafas.

"Jangan takut, Va!" sebuah suara terdengar disaat aku masih kebingungan.

Seorang lelaki seumuranku muncul begitu saja dan kini tepat berada disampingku.

"Kamu siapa?" oh, tidak jangan-jangan dia arwah manusia lain. Atau malaikat Izrail yang berwujud anak laki-laki untuk datang menjemputku. Pikiranku sudah kacau balau tak bisa berpikir positif.

"Ini aku Avan. Sekarang kamu sedang keluar dari tubuhmu. Tak apa, dulu aku juga seperti itu."

"Avan? Ah, kamu pasti mengada-ada. Jangan-jangan kamu setan yang mau menyesatkanku." mataku terpejam mengucapkan ayat kursi. Berharap sesosok yang mengaku Avan itu segera lenyap dari hadapanku. Tapi belum selesai aku membaca, justru kudengar ia tertawa.

"Hahaha, percuma kamu membacanya. Aku bukan setan adikku. Ini aku Avan, saudara kembarmu. Ah sudahlah besok saja kujelaskan. Sekarang mari kubantu kau kembali ke tubuhmu." lelaki itu mendekati tubuhku yang terbaring. Meletakkan tangannya di kepalaku. Kemudian sekejap lalu aku sudah tak berdiri di tempatku lagi.

Hanya suara adzan dari masjid yang kudengar. Tak ada lagi suara petir seperti semalam tadi.

***

Hujan masih turun dengan skala yang ringan.

Tak ada lagi suara petir seperti semalam. Begitu sadar sepenuhnya, segera kuberlari menuju kamar mandi asrama. Segera mengambil air wudhu, kemudian mengambil perlengkapan sholatku di lemari. Di perjalanan menuju masjid, pikiranku berkecamuk atas peristiwa yang baru saja kualami.

Ini bukan mimpi. Aku melihat tubuhku sendiri.

Somewhere Only We Know [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang