Enam

1.8K 104 0
                                    

Kami masih berada di atap asrama. Bermandikan cahaya rembulan yang terangnya sungguh menambah kedamaian malam ini. Malam ke 15 Hijriah Desember 2005 Masehi--malam yang berat untukku. Mbak Rifa menceritakan hal-hal yang selama ini menjadi pertanyaanku dan hanya bisa kupendam sendiri dalam hati. Di malam ini maka jelaslah sudah semuanya.

"Mbak hanya sekali saja menceritakan hal ini, Ning. Maka perhatikan dengan seksama, pahami dengan baik." mbak Rifa menghela nafas dalam. Menatap sejenak kemudian melanjutkan lagi kalimatnya.

"Aku tahu, selama ini kau pastilah bertanya-tanya mengapa sampai saat ini kau tidak pernah sekalipun dijemput pulang kerumahmu, menikmati malam takbir dan lebaran bersama keluargamu, atau .... " kalimatnya tertahan, aku makin penasaran, mendesaknya dengan mengerutkan dahi seolah memberi tahunya "cepat mbak lanjutkan". Mbak Rifa yang mengerti dengan maksudku kembali menarik nafas dalam-dalam. Mengumpulkan energi yang cukup untuk melanjutkan lagi kalimat-kalimat berikutnya. Dia menatapku serius.

"... atau mengapa selama tujuh tahun ini sama sekali kau belum pernah bertemu dengan saudara kembarmu. Diantara tiga pertanyaan tadi mbak akan merangkum semuanya menjadi satu. Kau harus siap mendengarnya. Semoga esok hari hidupmu lebih ringan dan tentunya kau bisa menyikapi kenyataan ini dengan hati yang lapang--agar kau tahu bahwa di setiap perkara tentu memiliki hikmah di balik kejadiannya."

"Waktu itu mbak sedang di kelas, belajar seperti hari-hari biasanya. Salah seorangkhodam romo kyai datang ke kelas dan memanggil mbak. Bilang kalau romo kyai ada perlu denganku. Kau tahu, Ning? Hari itu adalah hari pertamamu datang ke pesantren ini. Romo kyai menjelaskan maksudnya memanggilku ke hadapan beliau. Dan kau pastilah dapat menebak apa yang selanjutnya terjadi." mbak Rifa membenarkan letak duduknya, mencari posisi duduk yang lebih nyaman. Kini ia kembali menatap sepasang bulan dan bintang yang menggantung elok di angkasa, menerawang jauh menggali memori tujuh tahun yang lalu.

"Awalnya mbak keberatan, Ning. Maaf mbak harus berkata demikian, kau tahu lah umur mbak waktu itu berapa. Baru tiga belas tahun. Sedang sibuk-sibuknya dengan kewajiban belajar di pesantren ini, apalagi mbak kan baru beranjak remaja, tahu sendiri kan bagaimana ribetnya seorang wanita. Memangnya tidak ada santri lain yang lebih pantas, lebih siap, dan sanggup menerima perintah romo? Ahhh, tapi romo bilang hanya mbak yang sanggup mengasuhmu. Mau bagaimana lagi kalau romo sudah berkata seperti itu? Dan bertemulah kita di kamar asrama kita untuk yang pertama kalinya." aku melihat senyum mbak Rifa. Aku merasa antusias sekali mendengarkan kelanjutannya.

"Masyallah, Ning. Kau waktu itu sangat menggemaskan sekali. Kau putih dan mungil sekali, ditambah pipi gembulmu--maka siapa sih orang yang mau menolak untuk mengasuhmu? Aku rasa justru aku ini sangat beruntung dipercaya oleh romo sebagai pengasuhmu. Rasa keberatanku saat itu juga hilang sudah berganti dengan rasa gemas melihatmu." mbak Rifa menoleh dan tersenyum padaku.

"Tapi kita tidak sedang bernostalgia, bukan? Justru rahasia itu datang usai mbak menyambutmu di kamar asrama itu. Tepat saat ibumu mengajakmu berkeliling asrama, bapakmu dan romo kyai menjelaskannya pada mbak. Tidak banyak yang kupahami, tapi dengan bertambahnya ilmu yang kupelajari disini akhirnya aku paham dan mengerti tiga pertanyaan yang mungkin pernah kau pertanyakan sendiri. Atau mungkin saja hanya prasangka mbak saja terhadapmu."

"Penjelasan itu adalah karena kau dan Avan adalah saudara kembar berbeda jenis. Memang tidak ada yang aneh dengan penjelasan tersebut. Namun pemahaman setiap orang tidaklah sama,Ning. Bapakmu yang juga seorang kyai tentu sangat paham betul tentang akidah, syariat, bahkan hakikat agama yang kita imani. Agama kita memandang bahwa saudara kembar seperti kalian ini adalah muhrim. Sama halnya dengan hubungan kakak adik sedarah dan sekandung. Tapi bagi sebagian orang, dalam budaya yang mendampingi kehidupan kita, terlebih perbedaan persepsi mengenai konsep jodoh--tidaklah sama dengan paham agama. Maka dipisahkanlah kalian berdua." aku mencerna semua yang dikatakan mbak Rifa. Aku sama sekali belum mengerti kemana arah pembicaraan ini bermuara.

"Aku masih bingung, mbak. Apa maksudnya dengan perbedaan persepsi bagi sebagian orang? Mengapa juga pada akhirnya kami harus dipisahkan?" aku tak sabar untuk mendapatkan penjelasan yang mudah untuk kupahami. Sudah lima belas menit berlalu sejak obrolan ini dimulai--hawa malam hari semakin dingin saja. Kini kami berdua duduk saling berhadapan. Hal serius itu nampaknya segera kuketahui. Aku sudah bersiap untuk mendengarnya.

"Bagi sebagian orang, ada diantara mereka yang percaya bahwa saudara kembar berbeda jenis sudah membawa jodohnya sejak lahir. Termasuk beberapa orang diantara keluargamu ada yang percaya hal tersebut. Mereka khawatir kau dan Avan kelak akan menikah, karena tidak mungkin mereka melanggar aturan agama. Jadilah mereka sepakat untuk memisahkanmu dengan saudara kembarmu. Berharap kau tumbuh di lingkungan yang akan mendidikmu dengan pemahaman agama yang baik. Lalu setelah kau sudah dirasa cukup mengerti kau boleh kembali pulang untuk berkumpul dengan keluargamu. Itulah alasannya, Ning. Mbak harap kau dapat memahaminya dengan baik. Sudah malam, mari kita turun ke kamar--sudah saatnya untuk istirahat." mbak Rifa sudah berdiri. Mendahuluiku yang masih tertegun usai mendengar penjelasannya.

Tak lama kemudian aku berlari kecil menyusulnya. Di atas sini sangat dingin sekali, suasananya pun sedikit menyeramkan. Aku memang belum paham benar dengan penjelasan malam ini. Tapi sedikit banyak aku tahu lah maksudnya.

***

Di kamar asrama, malam ke-15 Hijriah bulan Desember 2005 Masehi.

"Oiya, mbak. Mbak tadi bilang mau pergi. Memangnya mbak mau kemana?" tiba-tiba aku teringat sesuatu yang belum ia ceritakan.

"Ah iya, mbak lupa cerita ya tadi. Jadi, begini. Minggu kemarin kan mbak ikut ujian selama 3 hari di Jombang. Dan hasilnya, Insyaallah minggu pertama tahun depan mbak akan melanjutkan kuliah, Ning." mbak Rifa terlihat gembira sekali.

"Alhamdulillah. Mbak akhirnya bisa sekolah yang lebih tinggi lagi. Eh, tapi Ava jadi sendirian dong kalau mbak kuliah di luar kota." aku senang tapi juga bercampur sedih.

"Mbak kan harus melanjutkan hidup,Ning. Berusaha mencari ilmu sebanyak-banyaknya. Tapi mbak tidak akan keluar kota kok, Ning." mbak Rifa hanya senyum-senyum saja.

"Lho, mbak tetap di pesantren ini?" aku tak mengerti maksudnya."Katanya mau pergi, kok bilang tidak akan keluar kota?"

"Memang betul kok. Mbak tidak akan keluar kota, tapi mbak akan keluar negeri. Mbak diterima di Al-Azhar." kali ini ekspresi mbak Rifa benar-benar menyebalkan.

"Allahuakbar..." aku langsung memeluk mbak Rifa. Terharu sekali mendengarnya.

Mbak Rifa, santri putri anak seorang guru ngaji di kampung halamannya, akhirnya dapat meraih cita-citanya. Orangtuanya sudah diberitahu lebih dulu karena surat pemberitahuan ditujukan ke alamat rumahnya di Nglegok, Blitar. Dari yang aku tahu, orangtua mbak Rifa mengabari hal itu melalui telepon pondok. Rupanya penolakan menikah tiga tahun yang lalu itu berbuah manis. Al-Azhar, ini Universitas tertua di dunia dan termasyur bagi kami kalangan santri.Hanya kalimat syukur yang dapat melukiskan betapa bangga kedua orangtua mbak Rifa. Sungguh aku sangat terharu.

Tapi ada yang tak kalah penting dari dua hal malam ini. Malam yang kesekian kalinya sejak Sultan Agung Mataram berhasil melewati kota kami. Kamar asrama sudah lengang. Dari dalam kamar tak terdengar lagi suara ramai santri diluar sana, hanya sesekali suara hewan malam seperti menggoda. Jam sebelas malam, jam nasional para santri untuk segera istirahat. Mbak Rifa nampak sudah terlelap. Aku tentu saja juga istirahat--"tidur kucing" seperti biasanya.

Hingga "sesuatu" itu terjadi lagi.Avan sudah berada dalam kamarku.

*)khodam = abdi dalem/pembantu

Somewhere Only We Know [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang