Dua Puluh Tujuh

955 71 0
                                    

"Kemari, Va! Ada yang mau aku bicarakan sama kamu." Avan menahan pergelangan tanganku saat aku hendak mengambil mukena yang ada dalam tas. Aku menoleh, duduk manis di sebelahnya, diatas springbed empuk dengan alas berwarna putih polos.

Beberapa saat ia tak bereaksi. "Van?" aku menundukkan sedikit kepalaku memastikan apakah Avan melamun atau tidak. Wajahnya sendu. Menatap kearahku dengan tatapan kosong.

"Eh, iya Va. Maaf." Avan mengusap wajahnya.

"Begini. Aku minta waktunya sebentar saja. Setelah itu baru kita jamaah sholat Isya'." ia berhenti sejenak, mengangkat kedua alisnya. Meminta persetujuanku menggunakan bahasa isyarat seperti yang biasa kami lakukan.

"He'ehm..." aku mengangguk.

Avan mengatur nafas sambil memejamkan kedua matanya,

"Va, aku minta maaf." aku mengernyitkan dahiku. Setengah kaget dan tidak mengerti dengan kalimat pembukanya.

"Maaf karena telah mencintaimu, adikku sendiri." Avan tertunduk. Aku benar-benar tak mengerti,

"Apa maksudmu, Van?"

Suaranya berat, "Aku minta maaf karena telah mencintaimu. Aku tahu ini salah, tapi aku tidak tahu bagaimana caranya agar aku bisa berhenti mencintaimu. Semakin aku mencoba membiaskan perasaan ini, semakin kuat ia berteriak menyebut namamu." bahunya mulai bergetar. Avan masih menunduk-- menyembunyikan wajahnya.

"Van, sudahlah. Jangan terlalu dipikirkan. Yang penting kita masih bisa bersama kan." aku meraih bahunya. Kulihat Avan menitikkan airmata. Ya, Allah, mengapa mendadak sekali ia bertingkah aneh. Aku sudah terbiasa melihat wajah-wajah sendu temanku di dalam pondok. Melihat mereka menangis. Namun, melihat Avan yang biasanya riang dan selalu berwajah teduh, ini dua kali lebih menyakitkan.

Sempurna membuat seluruh otot dan tulangku lunglai. Biarlah. Ijinkan kami menangis dalam diam untuk beberapa saat. Mengurai kesedihan yang memuai dalam dada.

"Apapun yang terjadi, aku mohon padamu, Va. " Avan menyeka matanya. Merengkuh kedua pipiku dengan telapak tangannya. "Tetaplah menjadi makhluk Allah yang selalu memegang syariat-Nya." mukaku sudah kebas, Avan mengusap airmata yang masih mangalir di kedua pipiku. Aku mengangguk. Memeluk Avan.

"Kenapa... Kenapa tiba-tiba kau berkata demikian?" ucapku lirih.

"Aku ingin...." kalimatnya menggantung. "... Jika Allah tidak berkenan aku mencintaimu sebagai seorang kekasih. Ijinkan aku mencintaimu sebagai seorang saudara. Sebagai seorang kakak yang mencintai adiknya. Kakak yang mengharap kebaikan dalam hidup adiknya." kami berpelukan erat. Membisu dalam kalbu.

***

Jam sembilan pagi kami menuju ke makam Bung Karno. Ziarah sebentar kemudian kembali lagi ke hotel untuk mengambil barang bawaan sekitar jam sepuluh. Lalu melanjutkan perjalanan pulang menuju pondokku di Malang.

Di perjalanan kami tak banyak bicara. Hanya sesekali Avan menegurku, memastikan apakah aku mengantuk atau tidak. Dan kujawab dengan kata "Ya" saja. Tanda bahwa aku baik-baik saja. Padahal sebenarnya tidak. Aku sedang mengingat hal-hal yang kami bicarakan semalam.

Avan ingin aku menganggapnya sebagai seorang kakak. Benar, aku memang menganggapnya seperti itu. Namun memenuhi permintaannya untuk mencoba menghilangkan perasaan itu, aku tidak bisa berjanji. Siapalah yang bisa merubah segumpal hati? Bahkan kau sendiri pun tidak memiliki kuasa untuk melakukannya. Bukankah begitu? Setidaknya aku mengucapkan insyaallah. Urusan perasaan tidak semudah membalikkan telapak tangan, perlu waktu untuk mengendalikannya. Waktu yang tidak seorangpun manusia di muka bumi ini tahu kapan perubahan dalam hatinya terjadi. Aku rasa Avan juga merasakan hal yang sama denganku.

Maka kami pun bersepakat untuk bersikap biasa-biasa saja usai tiba di pondok tempatku tinggal. Kesepakatan yang sebenarnya berat untuk kujalani. Tapi memang seharusnya kami coba. Aku menyadari sepenuhnya keinginan Avan untuk menjadi lebih baik. Dengan mencoba melepaskan cinta ini, semoga akan mendapatkan hikmah yang lebih baik.Tiga jam berlalu kami sudah sampai di gerbang pondokku. Aku agak heran karena suasana pesantren sedikit lebih ramai dari biasanya. Nampak terob yang terpasang di depan masjid. Mungkin ada acara, pikirku.

Usai memarkir motornya, Avan mengajakku ke Ndalem untuk berpamitan dengan romo kyai.

"Assalamualaikum." aku berdiri di depan pintu Ndalem. Tidak perlu ketok pintu karena pintunya dalam keadaan terbuka.

"Waalaikumsalam warahmatullah. Masuk, nduk." suara romo kyai menyuruhku masuk.

Aku dan Avan membungkukkan badan dengan berjalan perlahan. Sebagai budaya tawadhu kepada seseorang yang dihormati.

"Sudah pulang, nduk?" aku kaget karena Abah sedang duduk bersama kyaiku. Tersenyum. Aku dan Avan mencium tangan romo kyai dan Abah bergantian. Duduk di sebelah Abah.

"Lho, Abah kok disini?" aku bertanya pada Abah.

"Hush, belum jawab pertanyaan Abah malah bertanya balik." Avan memotongku.

Aku tersipu malu, "Eh iya, sudah Bah. Abah kok ada disini?" aku mengulang pertanyaanku.

Abah tersenyum lembut, mengusap kepalaku, "Semoga lulus ya Nduk. Abah bangga pada kalian, tetap istiqomah thalabul ilmi. Lho, kamu belum tahu to kalau temanmu mau menikah?" tanya Abah.

"Temanku? Siapa temanku yang mau menikah?" dahiku mengkerut. Memikirkan bayangan seseorang yang kata Abah mau menikah ini.

"Fitri. Temanmu Fitri akan menikah dengan anakku, nduk. Mas Idris." romo kyai menjawab pertanyaanku.Entah seberapa besar mengembangnya perasaan bahagiaku saat ini. Hampir tidak percaya aku mendengar perkataan romo kyai. Namun otakku berputar cepat bagai gasing yang dilemparkan pemainnya. Melesat kencang pada porosnya. Hingga aku pun mengerti dan mengucap nama suci Allah.

"Subhanallah. Sekarang Fitri ada dimana kyai?" aku berseru heboh. Ingin segera menemui Fitri.

"Dia ada di belakang membantu persiapan untuk besok. Nanti saja ketemunya." aku melenguh kecewa.Yasudah nanti saja ketemunya, batinku. Tak sopan kalau tak menuruti kata-kata beliau.

Abah menyeruput cangkir kopi yang ada di depannya. Menoleh kearah Avan.

"Le, Abah bisa minta tolong ndak?"

"Nggeh, Bah?" Avan menyondongkan badannya. Mendongak

"Begini. Pondok kita kan ndak ada yang menjaga. Kegiatan juga masih kosong. Kamu mau mengisi pengajian kilatan bakda maghrib? Sekalian untuk belajarngorek di depan majelis." jelas Abah.

"Insyaallah, Bah. Saya senang sekali jika diberi amanah itu. Tapi apa saya sudah pantas mengisi majelis?" Avan menunduk. Merasa sungkan pada Abah.Abah tersenyum hangat,

"Ndak apa. Untuk mengisi waktu saja. Abah rasa kamu mampu membawakan kitab Riyadus Sholihin. Nanti kamu pulang dan bilang sama Rhois pondok putra bahwa Abah yang menyuruh." kata Abah mantap.

"Inggih, Bah." jawab Avan dengan mantap pula.

***

Menjelang maghrib aku menemui Fitri di salah satu kamar Ndalem. Dia sedang bersama kedua orangtua dan adiknya saat ia membuka pintu kamarnya. Avan sudah pulang ke Pasuruan untuk menjaga pondok dan mengisi pengajian kitab seperti yang Abah minta. Aku dan Abah akan menyusul usai pernikahan Fitri. Sekalian aku boyong untuk pulang kerumah.Aku ingin sekali Fitri bercerita tentang pernikahannya. Seperti tidak percaya saja kalau jalan hidupnya akan seindah ini. Bukan bermaksud apa-apa. Tapi aku sebagai sahabatnya tahu betul bahwa Fitri memang mengagumi Gus Idris sejak dulu. Aku hanya heran saja bagaimana Gus Idris bisa mengenal Fitri. Beliau tidak pernah menampakkan diri di pondok putri.

"Hihi... aku bahagia banget, Ning." Fitri tertawa gemas. Tangannya menutup muka. Malu saat kutanya kok bisa sih.

"Hei, ditanya bukannya jawab malah cekikikan. Ayo aku sudah tak sabar sama ceritanya." aku merajuk pada Fitri.

"Iya-iya sebentar. Ning mau tahu?" aku segera mengangguk cepat,

"Mau tahu aja atau mau tahu banget?" Fitri nyengir. Cepat menghindar sebelum aku cubit.

*-Terob = tenda untuk hajatan.
*-thalabul ilmi = menuntut ilmu.
*-istiqomah = ajeg, kontinyu.
*-ngorek kitab = istilah mengkaji kitab dalam majelis
*-Inggih = Iya

Somewhere Only We Know [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang