Dua Puluh Empat

1K 71 0
                                    

"Van, besok tolong kau kemari dan bawakan setengah uang dari tabunganku." kataku membatin. Mengontak Avan dari dalam kamar.

"Uang? Untuk apa uang sebanyak itu?" tanya Avan.

"Aku ada udzur disini. Tolong bawakan saja. Jangan banyak tanya!" sahutku.

"Baiklah. Nanti saja kau ceritakan padaku."

Usai berkontak bathin dengan Avan, aku kembali ke ruang UKP. Kulihat Fitri sedang tertidur pulas. Malam ini kuputuskan untuk menemani Fitri di sofa panjang yang tersedia di dalam ruangan.

"Selamat malam, Fit. Kau tidak perlu khawatir lagi. Ada aku." kataku dalam hati sebelum merebahkan badan di sofa. Aku mau keluar menemui Avan ditempat biasanya.

Beberapa menit kemudian aku sudah keluar dari tubuhku. Menatap Fitri yang terbaring lemah diranjangnya. Lalu tiga tarikan nafas, memejam, terlempar jauh di ujung selatan kota Malang. Di sebuah pulau tak berpenghuni. Avan sudah berada disana. Di tepi danau segara anakan, pulau sempu.

***

"Assalamualaikum." sapaku.

"Waalaikumsalam." Avan mengecup dahiku.

"Aku baru saja sampai. Mungkin baru lima menit yang lalu." Avan mengajakku berjalan menyusuri pasir putih yang terbentang di separuh bibir danau.

"Oiya, untuk apa uang sebanyak itu?" lanjutnya.

Aku pun menceritakan kejadian beberapa waktu yang lalu padanya. Avan manggut-manggut sambil sesekali menoleh kearahku.

"Jadi, selama tujuh hari ia tidak makan sama sekali, Va?" Avan bertanya setengah tidak percaya.

"Iya. Hanya minum air putih saat berbuka dan sahur saja." jawabku datar.

"Allahuakbar. Bagaimana mungkin kau tidak mengetahuinya?" Avan mendelik.

"Ya aku akui terlalu asyik dengan kesibukanku. Hingga aku lupa memperhatikan teman sekamarku sendiri."

"Yasudah tidak apa. Lain kali jangan sampai terjadi hal yang serupa lagi. Kau tahu kan, Kata Rosululloh bukanlah seorang muslim yang membiarkan tetangganya kelaparan sementara perutnya sendiri kenyang." Avan mengeratkan genggaman di tanganku. Menguatkan intonasi berbicaranya.

"Iya aku tahu. Aku juga menyesal sekali, Van." balasku lirih.

Sampai di tubir ujung danau kami menghentikan langkah. Bersiap untuk melompat ke bebatuan karang yang ada di seberang. Sepersekian milisecond kami sudah berada diatas karang paling tinggi. Tempat paling bagus untuk menikmati suasana ombak yang berdebum dan angin yang bertiup lembut.

"Besok aku berangkat pagi-pagi bakda sholat subuh. Mungkin sekitar jam delapan baru sampai di pondokmu." kata Avan.

"Terima kasih, Van." ucapku singkat."Oiya, sudah sampai mana hafalanmu?" Avan mengalihkan topik pembicaraan.

"Sudah sampai surat An-Nisaa, kurang belasan ayat lagi sudah hafal. Kalau kau sendiri?" tanyaku menyelidik. Aku penasaran dengan kemampuan Avan menghafal.

"Sudah sampai An-Nisaa?" Avan terbelalak.

"Aku masih sampai surat Al-Imron. Sebentar. Kau serius sudah sampai An-Nissa?" Avan mengulang pertanyaannya. Raut wajah ragu nampak mendominasi mimik mukanya.

"Wallohi, Van." aku menjawab singkat. Sambil mengacungkan dua jari kananku.

"Coba sekarang kau baca dari surat pertama sampai hafalanmu tadi." Avan bersedekap, memasang gaya menantang untuk meminta bukti.

"Hah, sekarang?" pelongoku.

"Iya, sekarang. Kenapa? Kau tidak mau membuktikannya?" ucap Avan dengan memberi penekanan pada kalimat terakhirnya. Mungkin mau memanas-manasiku saja.

Somewhere Only We Know [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang