Dua

2.2K 136 1
                                    

Aku cepat sekali menyesuaikan diri.
Namanya juga anak kecil, mudah sekali hatinya terhibur. Maka tidak butuh waktu lama bagiku untuk beradaptasi dengan lingkungan yang baru.

Mbak Rifa mendidik dan merawatku dengan sabar. Entahlah butuh waktu berapa lama menyesuaikan diri jika tidak ada beliau. Begitu perhatiannya mbak Rifa ini. Jika ada masalah kecil saja, misal aku pura-pura tersandung batu dan jatuh, atau aku batuk-batuk kecil saja maka mbak Rifa dengan sigap segera menghampiriku. Menurutku mengasyikkan sekali megerjainya sesekali.

Tapi ada beberapa hal juga dari sikapnya yang menurutku agak berlebihan.

Mbak Rifa memang memanggilku dengan sebutan Ning (panggilan untuk putri kyai) meski berkali-kali kubilang kalau aku lebih suka dipanggil dengan nama asliku. Tetap saja beliau kekeh memanggilku "Ning" Ava jika disebutkan secara lengkapnya. Buatku tak menjadi masalah juga, tapi ada hal lain yang tak biasa.

Tentu aku masih ingat dengan jelas, Mbak Rifa selalu mencium tanganku setiap kali kami bersalaman. Tak hanya beliau saja, kawan-kawan se-asrama sering mencium tanganku jika sedang bersalaman. Aneh! Aku kan anak kecil, harusnya aku yang mencium tangan mereka. Teman-teman sekelasku di asrama tak pernah diperlakukan seperti itu.

Pernah suatu ketika saat sedang usai sorogan subuh aku ingin mencium tangan kakak-kakak pengasuh, namun beliau juga segera menarik tangannya. Tak membiarkanku mencium tangan mereka. Astaga, aneh sekali mereka ini.

Aku mendapatkan perlakuan berbeda dari para pengasuh, guru, maupun teman-temanku. Suka-suka saja sih dengan situasi seperti ini, meski sebenarnya aku sangat risih dan merasa tak enak hati.

Untung saja romo kyai tak ikut-ikutan mencium tanganku.

***

Waktu terus berjalan. Tak terasa sudah 6 tahun lebih aku berada di pondok ini. Itu artinya aku sudah menginjak bangku MTs.

Umurku sudah 11 tahun

Aku tumbuh dengan pemikiran yang baik sebagai seorang santri putri. Nilai-nilai raporku bagus, hafalan nahwu dan shorof sudah kukuasai sejak umurku 9 tahun. Masih sebatas hafalan, belum sampai ke metode penggunaannya. Tapi, paling tidak aku seringkali "nyeletuk" membenarkan hafalan kakak-kakak tingkatku yang salah ketika melafalkan nadzom Alfiyah.

Kesibukanku di pondok padat sekali. Pagi jam 4.00 subuh aku harus bangun, mandi, dan segera menuju masjid untuk sholat subuh berjamaah. Kemudian dilanjutkan dengan sorogan di kelas sampai jam 6.00, sarapan, lalu siap-siap berangkat sekolah Ibtida' (=SD) hingga pukul 2 siang. Sore harinya istirahat sebentar untuk kemudian jam 15.00 sekolah sore sampai jam 17.00. Malam harinya biasa diisi dengan pengajian kilat ba'da isya sampai jam 22.00. Dan hal ini rutin kulakukan selama 6 tahun terakhir.

Menyenangkan sekali bagiku. Karena dengan kesibukan seperti ini dapat mengurangi perasaan rinduku pada kakakku, Avan.

Sesak sekali jika kuingat perpisahan 6 tahun yang lalu. Dan jika sudah begini, maka segera kulampiaskan dengan cara menghafal hafalan Nahwu. Lumayan untuk menghibur hati.

Aku terluka bukan karena dijauhkan dengan Avan.Aku terluka karena kerinduan yang tak pernah terobati selama 6 tahun lebih.
Semenjak hari itu, aku belum pernah bertemu dengan Avan, saudara kembarku.

Somewhere Only We Know [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang