Dua Puluh Sembilan

1.8K 75 5
                                    

Usai makan bersama, Amir memapah Avan kembali ke kamarnya untuk beristirahat. Fisiknya terlihat baik-baik saja. Namun sesekali nampak mata Avan terpejam, menahan sakit. Entahlah.

"Avan kenapa, Mir?" Abah menanyakan perihal Avan pada Amir. Aku dan Umi duduk di sebelah Abah. Berkumpul diruang keluarga, sementara Amir hanya menunduk.

"Ngapunten kiai. Kemarin sore Gus Avan terserempet motor di jalan depan. Beberapa orang santri yang melihatnya segera membawa ke pondok. Gus sampai pingsan dan kami bawa kerumah sakit umum di Bangil." Amir menjelaskan dengan hati-hati.

"Astaghfirullah. Lalu apa kata dokternya ?" Abah mengelus dadanya. Nafasnya tersengal karena kaget dengan pernyataan Amir.

"Kata dokter, keadaan gus baik-baik saja. Hanya cedera ringan karena benturan di kepala saja. Sudah diberi resep dan langsung pulang karena memang gus sudah sadar saat perjalanan kerumah sakit. Begitu kiai. Saya mohon maaf kiai." Amir tertunduk. Segan untuk menatap Abah.

"Sudah, jangan minta maaf. Kamu tidak salah, anakku. Lalu, kenapa Avan malah mengisi kilatan? Bukankah maghrib tadi dia yang mengorek kitab?" aku sudah cemas disamping Umi. Meremas lengan Umi tanpa kusadari.

"Ngapunten malih kiai. Benar. Gus Avan sendiri yang memaksa untuk mengisi pengajian. Bahkan sudah tiga kali ini selain bakda Dhuha dan bakda Dzuhur. Rencana nanti bakda Isya', gus akan mengisinya lagi." Amir makin gelisah di posisi duduknya.Abah kembali menghela nafas panjang,

"Masyaallah, anak itu benar-benar menjalankan amanahku. Ya sudah, Mir, silahkan kembali ke asramamu. Bakda isya' nanti biar saya isi dengan Luma'."

"Inggih kiai. Assalamualaikum." Amir berpamitan. Mencium tangan Abah.Dan kami bersamaan menjawab,"Wa alaikumsalam warahmatullah.Bersamaan dengan menghilangnya Amir dari balik pintu.

Avan patah-patah mendekati kami. Mungkin ia mendengar Amir yang tadi diinterogasi Abah. Tangan kanannya meraba tembok untuk menyeimbangkan posisi berdirinya. Tangan kiri memegangi kepalanya yang terbungkus peci hitam khas anak pondok. Aku segera membantu memapahnya berjalan dan duduk di sebelah Abah.

"Avan ndak apa-apa kok, Bah. Hanya sedikit kliyengan saja. Abah jangan khawatir, ya. Lagipula kata dokter ndak ada masalah kok. Obatnya juga Avan minum, Abah jangan terlalu mikir." ucap Avan lembut.

"Iya, le. Tapi kamu juga jangan terlalu memaksakan diri. Istirahat saja dulu sampai pusingnya hilang. Pokoknya jangan sampai kecapekan, ya!" Abah tersenyum. Mengusap kepala Avan.

"Avan ndak capek kok, Bah. Malah semangat mengisi pengajian. Kalau Avan istirahat, malah tambah pusing." Avan nyengir.

"Selain itu jadwal kilatannya kan sudah berjalan. Tak enak sama santri kilatan kalau ndak dilanjutkan."

"Ya sudah lah. Yang penting kamu sanggup dan jangan sampai kecapekan, ya." Abah tersenyum takzim. Menatap nanar anak lelakinya yang luar biasa itu.

Ya, Avan memang anak yang menakjubkan. Lihatlah, semuda itu ia begitu gigih menjalankan amanah Abah. Aku rasa Avan adalah pengorek kitab kuning termuda yang pernah kulihat. Di umurnya yang masih 17 tahun, membawakan materi kitab Riyadus Sholihin karangan Imam Nawawi. Luar biasa. Aku tersenyum bangga--menatap dalam kakakku.

***

Empat hari kemudian datanglah dua buah surat pengumuman yang bersampulkan logo kedutaan Mesir. Aku tak akan lupa kabar yang menggembirakan itu. Kami sekeluarga, tanpa kehadiran kak Zara, berkumpul diruang keluarga untuk membuka isi surat tersebut. Aku dan Avan tak berani melihat hasilnya. Maka biarlah Abah yang membacakannya untuk kami. Jantungku sudah berdegup kencang tak karuan saat mengetahui surat itu tiba dirumah.

Somewhere Only We Know [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang