Dua Puluh Lima

981 74 1
                                    

Sebulan sebelum hari H Ujian Nasional tingkat SMA/MA tahun 2012.

Hari-hari luang banyak kuhabiskan bersama Fitri untuk mengerjakan latihan soal Ujian Nasional. Malam harinya kusempatkan sedikit waktu untuk mengulang hafalan Al-Quranku agar tidak lupa. Maklum. Aku masih pemula . Perlu sering-sering mengorek bacaanku agar makin tertanam dalam ingatan.

Khusus menghadapi Ujian Nasional kali ini, jadwal pertemuanku dengan Avan terpaksa harus ditunda dulu. Kami sepakat untuk konsen belajar. Memusatkan perhatian penuh agar mampu melewati 3 hari paling mencekam dibanding waktu 3 tahun mengenyam pendidikan sekolah. Sedikit tidak adil memang. Tapi inilah yang harus dihadapi. Siswa harus mengikuti sistem yang ada.

Sekitar seminggu yang lalu ada kabar gembira yang datang dari rumahku. Kak Zara akhirnya menikah dengan seorang ustad yang sekarang mengajar di pondok Abah. Seorang ustad lulusan Tebuireng. Mereka saling mengenal saat Abah mengajaknya menghadiri acara Haflah tahunan pondok yang didirikan KH. Hasyim Asyari itu. Menurut cerita kakakku, mereka bertemu saat ustad Fathoni (suaminya) menyambut rombongan Abah. Tak butuh waktu lama, tatapan sekilas mereka akhirnya menjadi benih cinta. Seminggu kemudian datanglah lelaki itu bersama pengasuh pondok pesantrennya.

Abah sampai tergopoh menyambut rombongan penting dari pesantren Tebuireng. Terbata-bata memanggil langsung kak Zara yang saat itu tengah mengajar. Bagaimana tidak. Tidak ada pemberitahuan terlebih dahulu tiba-tiba kedatangan tamu agung. Kalau romo kyai pesantren Tebuireng sampai menyempatkan diri keluar, sudah pasti beliau membawa hajat penting. Sebentar saja pembicaraan itu berlangsung. Kak Zara sudah menangkap maksud kedatangan mereka saat melihat pemuda yang duduk disamping kyai tersohor seantero negeri ini. Hanya mengangguk mengiyakan saat ditanya perihal lamaran.

Allah Maha Agung. Tak perlu taaruf untuk saling mengenal satu sama lain. Mata mereka sudah menjelaskan banyak hal secara hati. Maka tiga hari kemudian berlangsunglah acara sakral itu. Aku mengajak Fitri untuk menghadiri pernikahan mereka.

"Ya Allah, kakakku akhirnya laku juga. Dapat santri kesanyangan kyai gede lagi Aku kira akan menjadi perawan tua. Habis, tidak pernah kemana-mana sih."

Aku menertawakan kakakku setelah ijab kabul diucapkan. Berbisik di sebelahnya. Lupa bahwa aku juga sama seperti kak Zara. Tidak pernah kemana-mana.

***

Dua bulan kemudian. Akhir bulan Juli tahun 2012 kalender Masehi.

Semua santri angkatanku alhamdulillah lulus semua. Aku meraih nilai tertinggi di pondokku. Ah, kalau difikir itu hal yang sangat mustahil. Bagaimana mungkin aku bisa menempati urutan pertama peraih nilai Ujian Nasional di pondokku. Ujian semester saja aku tidak pernah mendapat ranking satu. Tapi inilah kenyataannya. Aku juga tak percaya jika mengingat prestasiku tiga tahun belakangan ini standart-standart saja. Aku hanya bisa mensyukuri meski-aku masih merasa aneh dengan nilai ujian nasionalku.

Usai menerima hasil ujian aku masih berada di dalam pondok. Memang tidak ada kegiatan sementara ini. Namun aku dan Avan sebentar lagi akan mengikuti ujian beasiswa Universitas Al-Azhar di pesantren Gontor. Jadi, daripada membuang waktu. Kuputuskan untuk bertahan dulu.

Untung Fitri bersedia menungguku. Jika tidak aku akan merasa kesepian karena penghuni pondok putri satu persatu sudah banyak yang boyong ke kampung halamannya masing-masing. Menyisakan beberapa santri yang masih punya beberapa kepentingan di dalam pondok.

Suasana sudah berubah. Aktivitas pondok tak seramai hari biasanya. Mungkin hanya pengajian kilatan pagi dan malam saja yang aktif. Selebihnya tidak ada, sepi.

"Besok Ning Ava berangkat ke Ponorogo naik apa?" aku dan Fitri sedang bersantai di kantin. Memesan dua cangkir teh susu untuk menemani kami mengobrol.

"Naik motor, Fit. Aku dijemput Avan besok pagi. Kami ikut tes bersamaan. Doakan lancar ya." jawabku.

"Pasti aku doakan, Ning. Oiya, aku banyak berhutang budi sama sampean. Aku ndak tahu gimana nanti bayarnya." Fitri menatap datar cangkir teh susu yang ada di hadapannya.

"Astaghfirullah. Yang minta dibayar itu siapa. Aku ikhlas lillahi ta'ala. Aku sudah menganggapmu sebagai saudaraku sendiri, Fit. Ah, sudahlah jangan dibahas lagi, ya!" aku menyeruput minumanku.

"Terima kasih banyak, Ning. Semoga Allah menambah ilmu dan melapangkan rizkimu." Fitri menatapku nanar.

"Amin. Oiya, setelah lulus nanti kau mau melanjutkan kemana?" aku ingin tahu rencana kedepan Fitri bagaimana.

"Belum terpikir, Ning. Kalau kuliah sudah pasti aku ndak ada biaya. Kalau pulang, aku ndak tahu mau kerja apa. Entahlah, aku ndak tahu harus kemana." jawab Fitri lesu.

"Hemm, bingung juga ya. Sebaiknya kamu disini saja dulu, Fit. Ikut kilatan kan tidak ada ruginya." saranku.

"Iya, Ning. Sebaiknya aku disini saja. Mau pulang tapi hatiku masih berat meninggalkan pesantren ini." DEG. Aku termenung mendengar ucapan Fitri. Benarlah apa yang dia katakan. Aku pun merasakan hal yang sama.

"Aku juga berat, Fit. Kau tahu kan sudah berapa lama aku berada di pesantren ini. Sudah 13 tahun sejak umurku masih belum genap sekepalan jari tangan. Tempat ini sudah menjadi rumah bagiku. Terlebih romo kyai sudah seperti orangtuaku sendiri. Kamu, kamar asrama, kantin ini..." tenggorokanku tercekat. Sebulir air sudah menetes keluar dari kedua mataku.

"Aku juga sedih sebentar lagi Ning Ava akan meninggalkan pondok ini." Fitri ikut terisak. Memelukku dari samping.

"Sudah, ndak apa, Fit. Aku sebenarnya tak ingin meninggalkan pondok ini. Tapi hidup harus terus berlanjut kan? Aku doakan semoga kamu diberi jalan yang mudah oleh Allah Swt." aku menguatkan diri, memberi motivasi pada Fitri meski aku sendiri juga merasa sedih.

"Sama-sama, Ning. Semoga besok ujiannya lancar, ya." balas Fitri.

"Amin. Insyaallah. Kita harus yakin dengan pilihan yang kita ambil." aku tersenyum padanya.

"Iya, Ning. Eh, aku lupa memberitahumu. Tadi siang mbak Nur (salah seorang khodam kyai) bilang kalau aku ditunggu romo kyai usai bakda isya. Kira-kira ada apa ya?" Fitri nampak berpikir.

"Tumben. Kalau beliau memanggilmu, berarti ada sesuatu yang amat penting, Fit." aku menjelaskan pada Fitri.

"Waduh, jangan-jangan aku disuruh boyong nanti." Fitri menepuk dahinya.

***

Esok harinya Avan tiba di pondokku pukul sembilan pagi. Aku sudah bersiap sejak bakda subuh. Sebenarnya tidak banyak barang bawaan yang kami bawa. Selain beberapa baju ganti, ada beberapa berkas yang kami sertakan sebagai syarat mengikuti tes beasiswa di pondok pesantren Gontor, Ponorogo.

Sekitar pukul sepuluh kami berangkat setelah pamit dan minta doa restu pada romo kyai. Melalui rute Blitar, Kediri, Nganjuk, Madiun, sampailah kami di tempat tujuan sekitar pukul dua siang. Perjalanan yang melelahkan, mungkin lebih dari 300 km jika dihitung jarak antara Malang Utara-Pasuruan.

Sesampainya disana kami menyempatkan diri untuk sholat dzuhur terlebih dahulu. Di jalan tadi tidak sempat mampir ke masjid. Lalu segera ke bagian pendaftaran tes yang berada di kantor Madrasah.Berikutnya, kami akan menghadapi tes ujian beberapa tahap. Sesuai jadwal besok dilaksanakan pada pukul tujuh pagi. Aku dan Avan menempati urutan peserta nomor 6 dan 7. Tidak banyak memang yang ikut tes jalur beasiswa ini. Semoga saja tidak ada kesulitan yang besok akan kami hadapi. Aku sudah yakin sejak jauh-jauh hari datangnya hari ini.

Al-Azhar, tunggu aku beberapa bulan lagi.

*boyong = pindah atau pulang ke kampung halaman

Somewhere Only We Know [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang