Tujuh

1.7K 112 0
                                    

"Kau sudah siap jalan-jalan adikku?" aku terkejut melihat Avan sudah berada dalam kamar asrama. Tiba-tiba dia muncul begitu saja. Sontak aku merapatkan diri ke dinding. Lalu ia mendekatiku,

"Ayolah, ini aku Avan. Kenapa kau takut seperti itu. Kan sudah kubilang kemarin. Malam ini biar kujelaskan padamu semua hal yang masih kau anggap aneh ini."

"K-kau benar Avan saudara kembarku?" tanyaku memastikan. Aku khawatir kalau dia ternyata jin, setan, atau mungkin arwah penasaran yang mengaku Avan. Aku kan tidak tahu seperti apa wajah saudara kembarku. Lagipula ajakannya juga tidak masuk akal. Mana boloeh santri putri keluar malam-malam begini.

"Lagipula aku tidak mungkin keluar pondok jam segini." tegasku.

"Yaallah, ini aku benar-benar Avan. Makanya aku datang kesini mengajakmu untuk menjelaskan bahwa aku adalah saudara kembarmu. Kau butuh bukti bukan? Lalu apanya yang tidak mungkin? Lihatlah baik-baik. Sukmamu telah keluar dari tubuhmu." Avan menunjuk tubuhku yang sedang terbaring disamping mbak Rifa.

Oh, tidak. Ada apa denganku? Mengapa aku mengalami hal ini lagi? Belum sempat aku berpikir lebih panjang, tiba-tiba Avan meraih jemari tanganku.

"Bersiaplah cantik, tutup matamu sekarang atau kau akan merasa sangat pusing nanti!" Avan menyeringai sambil mengedipkan matanya padaku.

Terlambat. Avan telah membawaku ke sebuah tempat.

***

"Auhhh"

Kepalaku pusing sekali. Sepersekian detik saja sekarang aku berada di tempat lain. Terakhir kali yang kurasakan hanya cahaya kuat yang menyedot tubuh kami dan membuat mataku menjadi blur. Sekejap saja, beradalah kami di ruangan ini. Tempat yang tak terasa asing lagi buatku. Avan membantu memegangi bahuku yang serasa mau tumbang saja. Menuntunku untuk duduk di tepian kasur--ternyata ini sebuah kamar.

"Bagaimana? Kan aku sudah bilang agar kau menutup mata. Ahahaha..." Avan terkekeh melihat keadaanku.

"Dulu, waktu pertama kali aku melompat juga seperti itu. Benar-benar membuat pusing." Aku masih mengurut pelipisku, sambil memperhatikan sekeliling kamar yang terasa tak asing ini.

"Kau tidak ingat kamar ini? Oiya, aku lupa, kau kan sudah lama tidak pulang kerumah. Ini kamar kita, cantik! Kamar yang kita tempati waktu kita kecil dulu." ujarnya sambil berdiri di hadapanku.

Aku tidak mengerti dengan semua ini. Kepalaku sesak oleh pertanyaan. Banyak hal yang tidak aku mengerti. Avan, sukmaku, perjalanan yang amat cepat ini. Apakah aku? Tiba-tiba aku merinding sendiri. Baiklah, aku ingin semua ini menjadi jelas.

"Apakah aku sudah mati?" aku bertanya takut-takut.

"Belum, kau belum mati."

"Dimana kita sekarang?""Yaampun, kita ada dikamar rumah kita, cantik!" Avan tersenyum lembut. Kupandangi seisi ruangan--benar ini kamar kami dulu.

"Jadi, sekarang aku ada dirumah? Ratusan kilometer dari pondokku?"

"Ya. Hanya sukmamu saja. Badan atau ragamu masih terbaring di kamar asrama tadi. Oiya, kau mau melihat tubuhku? Tadi aku keluar saat berbaring di masjid pondok putra."

"Baiklah, agar aku lebih yakin bahwa kau adalah Avan-ku." aku beranjak berdiri.

Avan menggenggam tanganku, mungkin maksudnya agar aku lebih nyaman.

Kami berjalan keluar kamar... Hei, kami tidak perlu keluar melalui pintu. Seperti cahaya matahari menembus permukaan air di danau, badan kami santai saja menembus daun pintu. Aku makin bertambah bingung.Kami berdua terus berjalan hingga sampai ke masjid pondok putra.

Memang benar ini adalah pesantren Abah. Bangunannya tak jauh berbeda saat terakhir kali aku melihatnya. Masjidnya malah tidak ada perubahan sama sekali. Hanya penyangga bedug saja yang sekarang berganti warna dari yang dulunya berwarna coklat, sekarang berwarna hijau. Dan apa yang baru saja kulihat, Astaghfirullah, badan Avan sedang tertidur dengan bawah bedug.

"Itu tubuhku. Sama kan gantengnya denganku?" Avan malah bercanda.

"Eh, iya ya. Yaampun, apa tidak ada tempat tidur lain selain di bawah bedug, hah!" aku justru heran dengan spot area yang dipilih Avan.

"Ada-ada saja kau ini!"

"Sudahlah. Kau kenapa tidak pernah pulang. Aku rindu, cantik!" Avan memelukku dari belakang.

DUG-DUG-DUG... Jantungku rasanya berdebar kencang.Ya Allah, ampuni hambamu ini ya Allah. Aku tidak pernah bersentuhan dengan laki-laki. Tapi bolehkan dipeluk kakakku? Dia kan masih muhrim. Baiklah, tentu saja boleh.

"Van, aku juga kangen!" kuputar badanku agar dapat memeluknya.

Masih di muka masjid aku memeluk Avan. Akhirnya kami bertemu juga meski bukan secara dzahir. Ini betul Avan-ku. Tadi saat di kamar, sekilas kulihat foto wisuda Ibtida' Avan bersama Abah dan Umi. Abaikan dulu berbagai pertanyaan-pertanyaan yang sedari kemarin memenuhi kepalaku. Aku ingin memeluknya seperti dulu waktu kami masih kecil. Aku ingin dia tahu bahwa aku juga rindu--selalu.

Avan berbisik,"Seperti ada yang beda, ya!"

"Apanya yang beda, Van?" juga berbisik dalam pelukannya.

"Rasanya dadamu ada yang menonjol, apa ya?"Sejenak aku mencerna kalimatnya,

"A V A N iiihhh!!!"Avan menghindar dari cubitanku.

***

Bulan sempurna benderang di kejauhan sana. Saking terangnya, sampai-sampai seperti memiliki perisai melingkar yang mengelilinginya. Membuat nyaman hati siapapun yang melihat. Sesekali terdengar suara santri yang sedang melafalkan nadzom Imriti dari ujung asrama pondok putra. Malam sempurna bagi ribuan malaikat untuk mengucap salam kepada kekasih Allah.Aku dan Avan sedang duduk-duduk di atas atap gedung salah satu pusat perbelanjaan di kota Malang. Katanya asik melihat pemandangan kota Malang di malam hari. Memang cantik kota ini, apalagi sekarang jam 02.00 WIB. Jutaan lampu nampak rapi mengikuti struktur tata ruang kota jika dilihat dari atas sini. Kota ini memang mempesona.

Lalu bagaimana kami bisa sampai sini? Mudah saja. Sama seperti yang tadi. Avan menggenggam tanganku dan wuzzzz.... kami berada di atap gedung ini. Tentu saja tidak lupa aku menutup mata. Begitu mata terbuka--sampailah kami di tempat ini.

Sudah jam 2 pagi. Waktu kami tidak banyak. Tapi aku perlu penjelasan ini. Avan mengajakku kesini untuk menjelaskan semuanya. Tidak peduli akalku mampu menerima atau tidak. Setidaknya aku dapat sedikit saja memahami semua yang terjadi selama dua hari terakhir ini.

"Van, sejak kapan kau bisa keluar dari tubuhmu?" pembicaraan telah dimulai.

"Baru dua tahun yang lalu." matanya menatap ke arah lampu kota.

"Kau bisa sendiri atau bagaimana?"

"Bisa sendiri. Tapi hanya sebatas menyadari saja. Untuk bepergian kesana kemari, aku harus belajar terlebih dahulu." kami terdiam sejenak, lalu ia melanjutkan lagi,

"Aku juga sama sepertimu, Va. Aku tidak pernah benar-benar tidur. Suatu ketika aku mendengar suaramu saat tengah istirahat. Lalu aku bangun dan keluar kamar mencari suaramu, ternyata tidak ada apa-apa diluar. Saat kembali ke kamar itulah saat pertama kalinya aku melihat tubuhku sendiri masih terbaring di tempat tidur."

"Suaraku? Tahu darimana itu suaraku?"

"Tentu aku tahu itu suaramu." Avan tertawa.

"Bagaimana kau bisa tahu?"

Somewhere Only We Know [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang