Dua Puluh Satu

1.2K 79 0
                                    

"Belasan abad yang lalu, di sebuah negeri bawahan Kekaisaran Persia, ada seorang pemuda yang tinggal bersama ibunya. Mereka hanya tinggal berdua saja. Ayah pemuda tersebut meninggal dalam sebuah perang kabilah sejak ia masih berumur delapan tahun. Jadilah pemuda itu menghabiskan masa kecil hingga ia dewasa dengan merawat ibunya yang lumpuh dan buta. Bertahun-tahun ia tidak pernah meninggalkan ibunya kecuali hanya untuk menggembalakan unta milik seorang tetangganya." Avan mengalihkan pandangannya dari hadapanku. Menatap kembali permukaan air danau yang berkilau syahdu.

"Hidup dalam kemiskinan ia terima apa adanya. Bahkan saking miskin dan terkucilnya dari perkampungan ramai, ia nyaris saja tak dikenali oleh masyarakat. Hanya beberapa orang saja yang mengenal dan itupun mereka menganggapnya orang gila. Bagaimana tidak mereka beranggapan seperti itu? Rambut dan jenggotnya saja dibiarkan tumbuh tak terurus. Mana sempat memperhatikan dirinya sendiri." Avan tersenyum.

"Suatu hari ia bertemu dengan seorang anak kecil yang sedang dilempari batu oleh teman-temannya. Melihat hal tersebut, segera ia mengusir komplotan bandit kecil dan menolong si anak yang sedang terluka. Dibawalah ia kerumah pemuda itu, lalu diobati hingga sembuh." aku menyimak cerita Avan dengan cermat. Aku selalu suka mendengar cerita.

"Sore harinya, si kakak anak kecil itu mencari adiknya yang tak kunjung pulang sejak pagi bermain bersama teman-temannya. Dicari kemana-mana di seluruh penjuru kota namun hasilnya sia-sia. Bagaimanalah bisa ketemu, kalau adiknya sedang berada di rumah seorang pemuda miskin dan tak dikenal orang. Kau tahu, Va, rupanya langit sedang berbaik hati. Dikirimlah seekor merpati yang sejak tadi mengikuti kakak si anak kecil. Berkelepak-kelepak sayapnya sambil memandangi seorang perempuan muda yang sedang putus asa mencari adiknya. Melihat keanehan burung tersebut, perempuan itu mengikuti sang merpati hingga sampailah ia ke sebuah pondok kecil. Kemudian perempuan itu mengetuk rumah tempat dimana sang burung merpati berhenti. " Avan lalu menoleh padaku, tersenyum.

"Saat itulah untuk pertama kalinya mereka saling bertatap mata. Yaampun, urusan ini menjadi lebih rumit sekali, Va. Untuk pertama kalinya juga ia kedatangan tamu bahkan dua sekaligus dalam sehari. Maka dipersilakan masuklah perempuan itu ke dalam rumahnya. Dan ternyata si perempuan itu mendapati adiknya tengah makan bersama ibu pemuda tersebut. Lalu mereka saling berkenalan dan bercakap banyak hal. Sambil sesekali saling mencuri pandang satu sama lain." Avan mengerlingkan matanya.

"Singkat cerita, sejak hari itu si perempuan dan adik laki-lakinya sering mengunjungi rumah si pemuda dan ibunya tinggal. Entah untuk mengantar makanan, atau hanya sekedar belajar sholat. Oiya, aku lupa menceritakan padamu bahwa suatu ketika saat sedang berkunjung kerumah si pemuda, perempuan itu melihat si pemuda sedang naik ke atap rumah dan memandang ke arah gurun. Kata ibu si pemuda ia sedang mendengarkan Bilal mengumandangkan adzan dari Yatsrib, kemudian pemuda itu melakukan gerakan sholat. Bayangkan, Va, jarak rumah pondokan si pemuda dengan Yatsrib kurang lebih 400 km jauhnya. Terkesima dengan hal itu, maka saat itu juga si perempuan dan adiknya menyatakan diri untuk memeluk agama Islam." Avan bersedekap takzim.

"Van, apakah si pemuda itu hidup di jaman nabi ?" tanyaku penasaran.

"Ya, kau benar. Ia hidup dijaman Rosululloh." jawab Avan, mengangguk mengiyakan.

"Lalu bagaimana kelanjutannya?" desakku tak sabaran.

Avan menghela nafas dalam, "Pemuda itu sungguh pemuda yang baik dan taat pada perintah Allah. Kecintaannya pada Rosululloh mungkin sama dengan rasa cintanya kepada sang ibu. Namun seiring berjalannya waktu, seiring dengan seringnya si perempuan itu berkunjung kerumahnya, maka perasaan itu pun muncul tak terelakkan. Sedikit demi sedikit rasa kebersamaan dan saling mengerti membuat mereka saling jatuh cinta. Bahkan sang ibu juga sudah mempersiapkan kamar untuk mereka usai menikah, untuk calon istri anaknya agar betah tinggal dirumah. Meski sang ibu harus tidur di lantai dapur, beliau sangat menginginkan anaknya menikah." Avan tersenyum hangat padaku.

Somewhere Only We Know [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang