Sepuluh

1.6K 94 0
                                    

Ba'da subuh yang cerah. Bintag Zahrah (venus) masih nampak di ujung utara langit, selalu setia menemani Qomar (bulan). Di sebelah timur Syamsi (matahari) mulai terlihat berwarna kemerahan, menandakan malam sudah pergi menuju ke sisi bagian dunia yang lain. Entah sudah berapa lama perputaran itu terjadi, sungguh Maha Besar Sang Pencipta yang menetapkan orbit sedemikian rupa, mengatur pergantian malam dan siang. Semoga Allah selalu memberikan rahmatnya kepada Al-Khawarismi, kitab ilmu falak yang beliau tulis masih menjadi pedoman ilmu perbintangan di dunia modern sampai saat ini.

Sepagi ini aku menikmati suasana rumah dengan berjalan-jalan keliling pondok putri. Mengintip para santri putri sedang sorogan dari jendela kelas. Sesekali aku tersenyum jika kebetulan bertatap muka dengan satu-dua ustadzah atau santri sendiri, menganggukkan kepala sebagai tanda hormat. Silahkan dilanjutkan maksudku, aku hanya melihat-lihat saja.Suasana dirumah tak jauh berbeda dengan pondokku di Malang. Seperti inilah suasana di pesantren salaf. Hari-hari diisi penuh dengan belajar. Meski ini hari libur, namun pondok memiliki program khusus bagi santrinya yang tidak pulang kampung. Salah satunya adalah ngaji kilatan. Diisi langsung oleh Abah atau ustadz senior untuk pondok putra, dan diisi oleh Umi atau kak Zara untuk pondok putri. Aku dengan senang hati akan membantu jika mereka membutuhkan tenagaku. Misal membantu mengisi pengajian Badul Amal untuk kelas 1 atau 2 Ibtida', yang ringan-ringan saja. Agar aku tidak bosan mengisi waktu liburan selama 2 minggu ini. Nanti aku akan memintanya kepada Abah.

***

Usai dari acara jalan-jalan pagi, aku membantu Umi memasak di dapur, ada kak Zara juga. Sebagai anak perempuan aku harus melakukan hal-hal yang memang sudah menjadi kodratnya. Umi justru merasa heran melihatku terampil memotong bawang merah, rupanya beliau baru menyadari kalau putrinya sudah memiliki rasa pengertian atau mbeneh.

"Kamu terbiasa masak to Nduk di pondok?" Umi mengajakku mengobrol di sela acara memasak.

"Iya, Mi. Mbak Rifa yang mengajari."

"Kenapa ndak beli saja di kantin pondok, nanti kamu kecapekan kalau banyak kegiatan."

"Kalau beli terus, kapan Ava belajar memasaknya. Umi mau anak perempuannya ini ndak bisa masak?" aku bertanya balik, sengaja menggodanya.

"Oh iya juga ya, Nduk. Pinter kamu jawabnya. Yang penting jangan sampai kecapekan nduk. Belajarnya itu yang harus diutamakan." Umi menasehati.

"Inggih, Umi. Urusan belajar pasti Ava utamakan."

"Mbak denger kamu sudah hafal Alfiyah ya, dek. Abah semalam bilang begitu." kak Zara ikut nimbrung.

"Alhamdulillah iya mbak. Hehe...." malu sendiri aku ditanya begitu."Wah, mbak dulu sampai lulus Aliyah saja belum hafal. Apalagi sekarang. Sudah lupa, dek. Hahaha..." kak Zara tergelak, aku juga jadi ikut tertawa.

"Heh sudah-sudah. Anak perawan kok ketawa kayak gitu. Wes, cepat diselesaikan ini masaknya." kami berdua langsung merapatkan mulut. Menahan tawa.

Suasana dirumah menyenangkan sekali. Semua anggota keluarga memperlakukanku sama dengan yang lain, tak merasa aneh meski sudah lama tak pulang kerumah. Aku yang diperlakukan seperti itu merasa sangat nyaman berada dirumah. Seolah-olah aku sudah lama berada diantara mereka.Kecuali Avan. Sikapnya tidak biasa jika sedang berkumpul bersama. Dia lebih banyak diam terhadapku, hanya sesekali mengedipkan sebelah mata saat mata kami bertemu. Seperti saat acara makan bersama, biasanya usai makan kami mengobrol sebentar satu sama lain. Membicarakan hal-hal apa saja yang saat itu terlintas di kepala. Namun Avan hanya diam saja.

"Van, kok diam saja kamu ini. Ini lho Ava mbok ya diajak ngobrol. Kalian itu saudara kembar kok malah diam-diam wae to." Umi suatu ketika menasehati Avan.

"Nggih Umi." Avan hanya menunduk.

"Tidak apa Umi. Mereka belum terbiasa saja. Kan sudah lama ndak ketemu to. Wajar kalau masih canggung." Abah menengahi percakapan itu, tersenyum hangat.

Akhirnya aku mengerti yang dimaksud Avan kemarin. Kalau saja Avan langsung mengakrabiku justru akan membuat yang lain curiga, kenapa akrab sekali sudah lama tidak bertemu? Padahal seharusnya ada rasa canggung setelah sekian lama tak jumpa. Layaknya seorang sahabat jika sudah lama tak bertemu pastilah butuh waktu beberapa saat untuk segera akrab. Benar juga. Aku paham maksudnya.

Kulihat Avan tersenyum. Mengedipkan mata. Sandiwara berjalan lancar.

***

"Van, apa ini diperbolehkan dalam agama kita?"

"Kenapa tidak? Lagipula kita bisa dengan sendirinya kan." Di suatu sore aku menanyakan "hal itu" pada Avan saat kami jalan-jalan di persawahan tak jauh dari rumah.

Hanya jalan-jalan berdua saja. Kak Zara saat kami ajak sedang sakit perut karena tamu bulanannya akan datang. Jadilah kami sekarang berada disini. Menikmati sore hari yang hangat sambil bercengkerama kemana-mana.

"Tapi apa Abah tahu dengan kemampuan kita ini Van?"

"Entahlah, aku juga tak tahu pastinya. Tapi menurutku Abah pasti tahu."

"Bagaimana mungkin ini bisa terjadi ya, Van. Aku belum pernah tahu dalam agama kita tentang hal ini. Aku sebenarnya khawatir."

" Seluruh jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya, melainkan dengan kekuatan. (QS. Ar Rahman:33) Va, kau tenang saja. Agama kita tidak melarang kita keluar dari tubuh kita. Ini bukan sihir kok. Jadi tidak ada ceritanya kita musyrik kepada-Nya." Avan menjelaskan padaku agar aku yakin bahwa ini bukanlah hal yang salah.

"Tapi bagaimana mungkin jiwa kita bisa keluar dari tubuh? Darimana kemampuan ini datang?" sungguh aku penasaran sekali ingin mendapatkan penjelasan yang lebih.

"Lain waktu kita pasti akan mengetahuinya, Va. Yang penting kau harus bisa mengendalikan diri. Jangan sampai mereka para jin dan setan menjerumuskan kita."

Usia kami masih 12 tahun. Belum mengerti banyak dengan apa yang sesungguhnya terjadi. Kami masih merahasiakannya pada Abah, entahlah kami sendiri tidak tahu apakah Abah sudah tahu atau belum tahu sama sekali. Yang jelas waktu liburan selama 2 minggu itu kami habiskan dengan kegiatan yang positif. Malam harinya aku belajar mengendalikan kemampuanku bersama Avan. Lalu aku kembali pulang ke pondokku di Malang. Menjalani hari-hari seperti biasa lagi-tapi sendiri tanpa pengasuh.

Avan tentu saja masih sering datang ke pondokku dengan cara Astral (maaf saya mencuri kalimat yang sedang ngetrend saat ini). Abah seperti biasa setahun sekali datang hanya pada saat lebaran saja. Beliau bilang kalau sudah lulus Tsanawi baru boleh sebulan sekali pulang kerumah. Sebagai anak yang berbakti, tentu saja aku menuruti kemauan beliau.

Hingga tak terasa 2,5 tahun sudah berlalu. Aku lulus Tsanawi dengan nilai yang sangat baik. Kemampuan Astral ku juga sudah sangat baik. Semua terasa indah dan mudah saja bagiku. Semua pemahaman baik itu kumiliki, kugenggam erat-erat.

Namun, saat usiaku menginjak umur 15 tahun. Di saat benih-benih perasaan itu mulai mengembang. Di saat logika berpikir berbenturan dengan nuraniku. Di saat itulah perlahan hidupku mulai berubah. Menjadi penyebab awal petaka itu terjadi.

Somewhere Only We Know [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang