[Side Story] Cahaya Tasawwuf, Munajat Cinta - 1

636 36 0
                                    

Di suatu pagi pada bulan Desember 2014, aku kedatangan orang penting dalam hidupku. Beliau adalah mbak Rifa. Datang jauh-jauh dari Alexandria seorang diri. Agak mengherankan memang, pikirku tentu ada hal penting yang ingin beliau sampaikan hingga harus datang ke flat kecilku tanpa memberitahukannya terlebih dahulu.

"Bagaimana kuliahmu Ning?" mbak Rifa membuka obrolan. Ditemani kopi jahe khas Mesir, kami bersantai di balkon lantai dua yang ada di flatku. Kebetulan hari itu aku memang tidak ada jadwal mata kuliah maupun kegiatan luar kampus. Jadi bisa meluangkan waktu menemani mbak Rifa yang rencananya menginap semalam ditempatku.

"Alhamdulillah, lancar-lancar saja mbak." aku menyeruput kopi yang kupegang, lalu melanjutkan,

"Mbak tumben kesini ndak bilang-bilang dulu. Kalau tahu mau kesini kan aku bisa menyiapkan khaitsu atau apa begitu. Jadi ndak enak kan ndak ada apa-apa dirumah begini." sungutku.

"Halah ndak usah repot-repot Ning. Mbak juga ndak lama kan disini." mbak Rifa tertawa kecil. Pandangannya beralih menatap pot kaktus yang kuletakkan di dinding pagar. Tercenung.

Kuamati beberapa saat moment tak biasa ini. Memperhatikan dengan seksama ekspresi raut wajah yang biasanya selalu tersenyum namun kini menyiratkan kegelisahan yang terpendam. Entahlah. Setahuku mbak Rifa tak pernah lepas dari senyuman. Bahkan aku pikir, mbak Rifa memang terlahir untuk selalu tersenyum pada siapapun yang ia ajak bicara, pada dunia.

"Mbak..." aku menyadarkan mbak Rifa saat aku rasa cukup waktu ia tenggelam dalam lamunannya.

"Pagi-pagi kok sudah melamun saja, ndak ilok ah!"

"Eh, iya maaf Ning," beliau mengusap mukanya, bergumam mengucap istighfar. Lalu mengembangkan senyumnya padaku,

"Mbak ndak melamun kok."Tapi aku tahu bahwa ada sesuatu yang ia pendam.

"Mbak jujur saja sama aku. Ada apa to mbak?"

"Beneran kok Ning, mbak ndak kenapa-kenapa." ia masih menutupi perasaannya.

"Ndak kenapa-kenapa kok sampai melamun. Kalau ndak ada apa-apa berarti hanya satu kemungkinannya." kalimatku sengaja kutahan, ingin melihat reaksi mbak Rifa. Dan benar saja, dahinya terlipat dengan senyumnya yang masih mengembang.

"Mbak kangen rumah ya!" tembakku.Mbak Rifa menatapku sebentar kemudian mengangguk.

"Nah betul kan. Wes sebaiknya kita jalan-jalan saja mbak. Ayo kuajak ke masjid Al-Hakim, sekalian Dhuha-an disana." aku bangkit dari dudukku untuk segera bersiap. Aku sudah yakin mbak Rifa tidak akan pernah menolak ajakanku, dari dulu seperti itu.

"Jauh ndak Ning?" tanya mbak Rifa saat mengikutiku masuk kedalam flat.

"Ehm, lumayan lah mbak. Tapi kita jalan kaki saja, sekalian menghangatkan badan. Hi hi ..." jawabku sekenanya.

***

Ah, aku hanya bercanda saja pada mbak Rifa. Mana mungkin jalan kaki dari Nasr city sampai kampung Gamaleya. Jarak tempuhnya belasan kilometer dan menghabiskan waktu berjam-jam untuk sampai kesana. Akhirnya aku dan mbak Rifa naik angkutan bus kota dengan biaya sekitar 2 pound mesir saja.

Saat di dalam bus aku sedikit bertanya mengapa si kecil tidak dibawa. Kata beliau suaminya yang meminta agar dititipkan ke neneknya dirumah, lagipula kasihan jika harus keluar rumah pada musim dingin. Sebenarnya mbak Rifa berangkat ke Kairo bersama suaminya, namun suami beliau harus segera ke Garden city untuk menghadiri rapat penting parlemen seputar aktifitas politik Timur Tengah yang belakangan ini memanas. Jadilah mbak Rifa mampir ketempatku setelah mendapat izin dari suaminya.

Sekitar setengah jam kemudian bus yang kami tumpangi sampai di Al-Azhar Park(semacam tempat santai alun-alun di Indonesia). Dari sini kami harus berjalan kaki sebentar untuk menuju masjid Al-Hakim yang terletak di jalan Mu'iz Lidinillah. Salah satu dari lima masjid yang dibangun pada masa dinasti Fatimiyyah, dan juga masjid yang memiliki perpaduan arsitektur paling unik, menurutku.

Somewhere Only We Know [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang