Dua Puluh

1.1K 82 0
                                    

Ada beberapa hal yang harus aku selesaikan. Sesuatu yang harus segera kudapatkan demi benang merah yang ada dalam kisah ini. Menghafal Al-Quran untuk masuk ke universitas impian kami.

Maka perhitungan yang matang pun juga harus dipersiapkan. Avan mengatakan, tidak ada yang tidak mungkin atas kehendak Allah, selama kita mau berusaha dan berdoa. Soal hasil tidak perlu dipusingkan, biarlah Dia yang mengurus.

Ada 6236 ayat, 114 surat, dan 30juz dalam Al-Quran. Berarti aku harus menghafal sekitar 2139 ayat atau menghafal sampai pada surat Al-Kahfi. Jika dalam sehari saja aku menghafal 3 ayat, maka membutuhkan waktu kurang lebih 2 tahun jika Allah meluruskan jalanku. Ah, tidak! 3 ayat terlalu sedikit sekali, sebaiknya aku menghafal minimal 6 ayat dalam sehari, merangkaikannya, hingga genap lima belas juz.Ya, Allah. Aku mohon berikanlah cahaya ilmu kepada kami. Amin.

***

Aku sudah hampir kelas 2 Aliyah.Sekarang beban belajarku sedikit berkurang karena sudah menyelesaikan catatan nadzom Alfiyah beserta hafalannya. Itu artinya aku dapat mengisi waktuku dengan menghafal ayat demi ayat di dalam Al-Quran. Kata Avan, jangan tergesa-gesa. Karena menghafal Al-Quran tidak sama dengan menghafal nadzom nahwu dan shorof. Memang lebih mudah menghafal Al-Quran, namun jika tidak disertai dengan hati yang ikhlas, ayat-ayat yang sudah dihafal tersebut akan menghilang dalam ingatan kita. Menguap bagai spirtus yang dituang diatas lantai. Intinya tidak sekedar menghafal saja, tapi juga harus belajar menata hati.

Ya, menata hati. Sesuatu yang aku sendiri tidak tahu bagaimana caranya. Seringkali perasaan rindu pada Avan muncul begitu saja, membuat gundah hati dan ujung-ujungnya aku pergi ke tempat Avan dengan cara melepas sukma, atau jika tidak memungkinkan maka kami menggunakan alternatif lain, kontak batin. Setidaknya untuk mengurangi rasa rindu.

Disisi lain sebagian hati dan pikiranku sama-sama menyadari bahwa perasaan ini tidak akan pernah sampai kepada muaranya. Tapi biarlah semua berjalan apa adanya, biar waktu yang menerangkan pada kami kemana hidup ini akan melangkah. Bukankah cinta akan selalu mengarahkan kita kepada kemuliaan? Selalu seperti itu selama manusia tetap di jalan yang lurus. Meski kuakui bahwa ini semua membuat hatiku tak tenteram.

***

Seminggu berlalu sejak kumulai aktivitas menghafal Al-Quran. Sampai sejauh ini belum ada kendala berarti yang kuhadapi. Intensitas pertemuanku dengan Avan pun juga normal, meski tidak setiap hari, dan tidak selalu ada Abah juga jika beliau punya kesibukan lain. Ya, di Segara Anakan seperti biasanya. Seperti saat malam ini, aku dan Avan duduk-duduk saja di pasir danau.

"Hatiku tak tenang, Van!" mataku menatap kosong permukaan danau yang berkilauan tertimpa sinar rembulan.

"Apa yang membuatmu tak tenang, kekasihku?" Avan mendekapku dari samping, menyandarkan kepalaku dalam pelukannya.

"Kau tahu kan kalau kita tak akan bisa bersatu?"

"Ya, aku tahu." ucap Avan lirih.

"Aku tak tenang setiap kali memikirkan hal itu, Van. Aku tak rela jika harus kehilanganmu." ucapku hampir terisak. Avan mengeratkan dekapannya sambil mengecup ubun-ubunku. Aku makin terguncang. Tergugu tanpa bisa meneteskan airmata. Andai saat ini kami bersama jasad kami, sudah tentu baju Avan basah oleh airmata.Beberapa saat usai reda isak tanpa airmata tangisku, Avan mulai meregangkan pelukannya. Merengkuh kedua bahuku lalu berkata,

"Aku tahu, Va. Sangat mengerti apa yang kau rasakan. Tapi, dibalik cinta kita, pasti akan ada hikmah yang kita dapat."

"Hikmah?" aku menatapnya lamat-lamat.

"Ya, bukankah segala sesuatu itu pasti ada hikmahnya? Yang menjadikan segala perkara memiliki asbab-musabab." Avan tersenyum hangat.

"Ya, tapi aku tak paham apa yang sedang kau bicarakan."

"Secinta-cintanya kau padaku, aku padamu. Sebesar apapun perasaan kita berdua, kita jangan sampai lupa bahwa ada cinta yang lebih hakiki daripada ini semua. Jangan sampai cinta kepada makhluk-Nya melebihi cinta kita kepada-Nya." Avan menyentuh kedua pipiku.

"Ya, aku tahu itu. Tapi..." ucapanku tertahan. Bingung dengan apa yang harus kukatakan.

Avan tersenyum lagi, "Tapi kau tak memahami itu dengan baik." aku langsung menatap Avan, menatapnya dalam-dalam agar sedikit menangkap makna dari ucapannya.

"Aku cinta padamu, Va. Tapi aku sadar bahwa kita adalah saudara kandung. Lalu apakah aku bisa berhenti mencintaimu setelah menyadari itu semua? Tidak. Aku tetap mencintaimu, Va, namun tak sebesar cintaku pada Rabb kita. Aku tahu kau pasti tidak mengerti dengan apa yang kukatakan." Aku terdiam merenungi semua ucapannya, berusaha untuk memahaminya, namun pikiranku buntu menemukan titik terangnya. Beberapa saat kami berada dalam diam, dalam keheningan malam. Hingga Avan menyentuh bahuku dan berkata,

"Jika kau belum memahaminya, maukah kau mendengarkan sebuah kisah? Barangkali kisah ini dapat membantumu memahami cinta dengan pemahaman yang berbeda."Malam terbungkus senyap. Sang rembulan nampak elok menggantung diatas langit. Avan menatapnya sejenak, menghela nafas dalam, kemudian menceritakan sebuah kisah kepadaku.

Somewhere Only We Know [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang