Delapan

1.7K 94 0
                                    

"Sejak kau pergi, sebenarnya banyak hal aneh yang kualami." Avan menghela nafas dalam.

"Tidak seharusnya kita berpisah seperti ini, selama ini. Hampir setiap malam aku tidak bisa istirahat dengan tenang memikirkan sedang apa kau disana. Yang bisa kulakukan hanyalah menangis, berdoa agar Tuhan selalu menjagamu. Hingga akhirnya aku mendengar suaramu--bertanya padaku sedang apa aku disini." Avan menatapku sendu.Kami bertatapan sejenak, mencoba memahami perasaan masing-masing.

"Aku kan masih kecil, bahkan tidak perlu repot-repot bertanya apakah itu benar suaramu. Aku cuma yakin saja. Semudah itu lah." Avan tersenyum.

"Sudah jangan dipikirkan lagi, aku tahu kau selalu memikirkanku. Terima kasih, Va." Avan tersenyum, senyuman yang hangat.

"Aku memang sering memikirkanmu,Van. Bertanya padamu dalam hati seolah kau ada disampingku. Sekarang ini saja, rasanya seperti mimpi. Bertemu denganmu dalam keadaan seperti ini. Lalu bagaimana aku bisa sepertimu?" aku makin penasaran dengan kemampuannya menghilang secepat tarikan nafas.

"Nanti pasti kuajari. Yang penting sekarang kau sudah percaya kalau ini aku, Avan, saudara kembarmu." Avan merangkul pundakku, aku yang dirangkulnya hanya melotot. Segera menyingkirkan tangannya.

"Yasudah lain waktu saja. Lagipula hari ini aku sudah cukup pusing, banyak hal rumit yang terjadi. Tapi bagaimana aku bisa lepas dari tubuhku? Aku juga perlu tahu agar dapat kembali ketubuhku sendiri."

"Baiklah untuk satu itu kau memang harus segera tahu. Lebih cepat lebih baik." Avan membetulkan posisi duduknya ke arahku, terlihat raut mukanya serius menatapku. Ia menjelaskan panjang lebar cara bagaimana aku bisa melepas sukma dan kembali lagi.

Sepertinya mudah, aku tidak tahu bagaimana nanti hasilnya.

"....Intinya semua ada di pikiran dan hati. Kau harus mantap setiap kali mencobanya. Tapi ingat, kau belum bisa kemana-mana seperti aku. Kalaupun ingin jalan-jalan jangan terlalu jauh, cukup di sekitar pondokmu saja. Kalau melihat makhluk yang aneh, jangan di dekati pun jangan kau ajak bicara. Paham?" Avan mengakhiri penjelasannya.

"Paham. Sedikit lah. Lain waktu kucoba jika ada kesempatan. Sebentar lagi kan Ujian Semester, jadi aku harus membagi waktuku dengan baik. Kau, belajar yang rajin ya. Nanti kita buktikan waktu liburan semester siapa yang nilainya lebih bagus. Eh, lupa, liburan semester ini Abah menjemputku liburan dirumah. Kau sudah tahu kan?" aku teringat soal liburan semester ini.

"Ya, aku tahu. Boleh lah, meski malas nilaiku bagus-bagus. Apalagi kalau rajin." Avan tertawa.

Heran. Suka sekali dia tertawa. Berbeda jauh denganku, paling-paling hanya tersenyum. Bukankah di pelajaran akhlak mengajarkannya seperti itu.

"Hei, kau mau pulang tidak? Kasihan tubuhmu terlalu lama ditinggal."

"Baiklah pulang sekarang ya!" kami berdiri, kemudian Avan menggenggam tanganku. Tersenyum nakal kemudian tiba-tiba ia mencium pipiku. Seketika pandanganku blur lagi, silau, berputar-putar. Seperti tersedak, aku sudah kembali ke tubuhku. Pusing.

***

Jam di dinding menunjukkan pukul 04.00 WIB.

Kepalaku masih pusing. Bagaimana tidak, rasanya seperti dikejut saja. Mata silau bagai terkena sorot lampu ribuan volt. Aku sempat mengaduh begitu kembali ke tubuhku. Mbak Rifa yang tidur di sebelahku sampai terbangun. Mungkin kaget mendengar suaraku. Bertanya ada apa. Kujawab tidak ada apa-apa hanya kesemutan.

Semenjak kejadian malam itu aku mencoba apa yang diajarkan Avan. Awalnya kesulitan sekali, sempat bingung kenapa berbeda seperti saat Avan datang. Namun aku tidak menyerah, beberapa hari kemudian aku sudah bisa keluar masuk tubuhku dengan mudah. Jalan-jalan di sekitar pondok sebentar lalu kembali ke tubuhku.Sebenarnya aku ingin jalan-jalan lebih jauh lagi. Tapi aku ingat yang Avan katakan,

"Kalau kau tidak bisa mengendalikan diri, kau akan kesulitan kembali ke tubuhmu. Bisa saja makhluk halus mengelabuhimu lalu mengajakmu ke tempat mereka."

Aku tidak mau hal itu terjadi. Sudah bisa keluar sendiri saja sudah cukup. Sebaiknya menunggu Avan datang mengajariku lagi.

Memang aku melihat makhluk-makhluk aneh diluar pondok. Ada makhluk seperti manusia berbulu hitam, tuyul bermata satu, sampai yang paling aneh ada kepala manusia dengan api menyala di sekelilingnya. Tentu saja aku hanya melihat sebatas gerbang pesantren. Aku tidak berani keluar pondok, takut. Avan melarangku melewati garis merah semacam tali yang mengelilingi pondokku.

Apakah enak bisa seperti ini? Entahlah, menurutku biasa-biasa saja. Aku bukan tipe orang yang suka aneh-aneh. Bisa saja aku keluar dari tubuhku saat ujian semester kemarin, tapi buat apa, aku sudah merasa cukup dengan kemapuan otakku.

Memang sih kuakui aku pernah sekali mencontek jawaban teman sekelasku. Tapi itu pun benar-benar kepepet. Aku lemah dalam pelajaran matematika, rumus-rumus garis linear sama sekali tak kukuasai. Lebih mudah memahafami nahwu daripada matematika. Semoga Allah mengampuni dosaku, aku janji belajar lebih baik lagi. Amin.

Waktu terus berjalan, tak terasa liburan sudah di depan mata. Minggu awal Januari mbak Rifa berpamitan untuk berangkat ke Jakarta dan melanjutkan pendidikannya ke Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Aku tidak mengantar beliau karena esok hari Abah sudah menjemputku. Berat sekali berpisah dengan orang yang megasuhku sejak kecil. Namun demi mendapatkan kemuliaan hidup, banyak hal yang harus direlakan. Salah satunya berpisah. Beliau pernah berkata bahwa setiap yang datang pasti pergi, kecuali Tuhan. Tapi bukan berarti tidak bisa menjalin silaturahmi, beliau akan menelepon ke pondok jika ada waktu luang. Oiya mbak Rifa mengambil jurusan Aqidah Filsafat disana.

Seiring dengan kepergian mbak Rifa maka hidupku juga berubah drastis. Aku harus mengurus segala sesuatunya sendiri, dari yang sebelumnya biasa dibantu mbak Rifa dari urusan memasak sampai urusan tugas pelajaran pesantren. Semuanya sendiri. Baiknya aku belajar menjadi pribadi yang mandiri. Jeleknya ada banyak sekali, tentu saja kejelekan ini bukan karena kepergian mbak Rifa, tapi memang semua terjadi begitu saja. Dan masalah demi masalah pun mulai muncul silih berganti.

Namaku Ava Mauza. Umurku sudah menginjak 12 tahun. Sejak kecil aku sudah tinggal di pesantren dengan pemahaman agama yang baik. Dalam beberapa hal aku sama seperti kalian, hanya satu hal yang membedakanku dengan kalian--aku mampu melepas sukma. Semenjak terakhir kali aku bepergian dengan Avan, saudara kembarku, ini adalah pertama kalinya semenjak tujuh tahun terakhir aku bertemu dengannya secara langsung. Saat liburan semester pertama Tsanawi.Dan kisah sebenarnya pun dimulai . . . .

Somewhere Only We Know [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang