Lima

2.1K 117 1
                                    

"Apa yang harus kujelaskan, Ning? Bagaimanalah aku bisa mengartikan--eh sebentar, bukankah kau tidak pernah bermimpi, bukan?" Mbak Rifa memulai komentarnya.

Aku memutuskan untuk menceritakan kejadian semalam kepadanya. Dan ternyata apa yang kudapat, aku justru bertambah bingung mendengar komentarnya.

Benar juga apa yang dia bilang. Aku tidak pernah bermimpi sejak dulu--entahlah bagaimana aku menjelaskannya--aku kan tidak pernah benar-benar tidur. Jangankan bermimpi, rasa-rasanya terlelap pun tidak pernah. Jadi cukuplah sudah analisa mbak Rifa. Tidak ada gunanya melanjutkan pembahasan yang sama-sama tidak kami mengerti.

"Mungkin juga kamu punya kelebihan,Ning. Kamu kan anak Kyai. Jadi wajar saja, tapi melihat tubuh sendiri itu bagaimana ya menjelaskannya." mbak Rifa terlihat sibuk berfikir. Keningnya mengkerut seperti seorang siswa yang sedang mengerjakan evaluasi matematika yang rumit. Memang sudah menjadi sifatnya--tak akan berhenti sebelum semuanya jelas. Alamak, sepertinya akan panjang urusan ini.

"Sudahlah mbak. Mungkin aku kecapekan saja. Jadi mungkin, eh, apa namanya. Iya! Halusinasi. Bisa saja kan aku berhalusinasi." aku berusaha agar topik ini segera berakhir.

"Ya, bisa saja sih." oh, akhirnya. Selesai juga topik kali ini.

Terkadang lucu juga melihat mbak Rifa ini. Orangnya sih baik, namun terkadang ia sangat ngotot sekali dalam beberapa urusan. Bahkan terhadap orangtuanya sendiri. Pernah suatu ketika aku melihat sendiri bagaimana dia sedang berdebat dengan kedua orangtuanya urusan "menikah". Bagaimana tidak, meski saat itu aku masih umur 8 tahun, tentu saja aku tahu itu urusan serius. Anak TK pun pastilah tahu itu urusan macam apa.

Saat itu aku sedang dikamar asrama. Kedua orangtua mbak Rifa datang menjenguk. Aduh, senang sekali jika sudah begini. Artinya akan banyak "khaisu" (makanan) yang memenuhi lantai kamar asrama. Aku bisa memilih jajanan apa saja yang aku mau. Benar-benar banyak sekali berserak di tengah kamar. Maklum, orang tuaku kan setahun sekali datang menjenguk. Sampai-sampai aku menganggap orangtua mbak Rifa ini adalah orangtuaku juga, begitu pula sebaliknya. Mereka juga sangat menyayangiku seperti anaknya sendiri. Apa yang mereka bilang? aku sungguh lucu menggemaskan seperti boneka susan berkerudung.

Di tengah asik-asiknya mencomot jajanan, kudengar mbak Rifa sibuk sekali menjelaskan panjang lebar alasannya tidak mau dijodohkan. Aku sih tidak ambil pusing, hanya saja, melihat ibunya menitikkan airmata membuat keadaan saat itu lengang seketika. Semuanya terdiam, hanya aku seorang yang masih asik mengungah makanan. Meski badanku mungil, tapi pipiku gembul sekali, kalau istilah sekarangnya "chubby". Itulah sekilas tentang sifat mbak Rifa yang aku pahami. Toh, pada akhirnya kedua orangtua mbak Rifa juga mengalah. Dan sampai umurku 11 tahun, itu artinya umur mbak Rifa sudah 20 tahun, beliau tetap berada di pondok ini, juga masih mengasuhku.

Sebenarnya secara fisik mbak Rifa ini cantik. Wajahnya cerah menyenangkan, selalu tersenyum jika sedang berbicara dengan siapapun. Kulitnya kuning langsat namun bersih bercahaya, dia pandai merawat dirinya--apalagi merawatku. Orangnya juga cerdas. Dari sepengetahuanku beliau lulus Aliyah dengan nilai yang tinggi, nampak saat Haflah pondok pesantren beliau medapat penghargaan 10 santri terbaik. Sayang, dia tidak melanjutkan kuliah di perguruan tinggi karena masalah biaya.

Ya, itulah mbak Rifa. Orangnya ngotot sekali dalam beberapa hal. Keinginannya begitu kuat, tak akan berhenti sebelum ia mendapatkannya. Tak putus asa karena ia tak dapat melanjutkan kuliah, beliau bertekat menghafal setidaknya 15 juz Al-Qur'an untuk mendapatkan beasiswa ke Al-Azhar, Mesir. Sungguh mulia sekali cita-cita perempuan cantik yang mengasuhku sejak aku masih kecil ini.

Itulah mbak Rifa, pengasuhku. Yang menjadi penerjemah atas "sesuatu" itu.

***

Malang adalah kota yang dingin. Kota ini adalah tempatku menghabiskan masa kecil di pondok pesantren. Rasanya aneh sekali menyebut nama kota ini, artinya sungguh ganjil sekali jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Apakah memang sudah takdirku jangan-jangan bernasib sama dengan nama kota ini ? Ah, semoga saja tidak. Siapa juga sih yang menamakan kota ini dengan nama yang aneh ini? Suatu ketika mbak Rifa menjelaskan sejarah nama kota ini setelah berkali-kali aku mengganggunya saat menulis nadzom menggunakan tinta "saba".

Adalah Sultan Agung Mataram yang menamakan kota ini dengan nama "Malang". Ratusan tahun yang lalu, saat kerajaan Mataram di bawah kepemimpinan Sultan Agung yang saat itu gencar-gencarnya mempersatukan penduduk pribumi seantero Jawa. Di tengah perjalanan pada saat malam hari, rombongan pasukan harus terhenti di sebuah daerah. Sebatang pohon Kepuh menghalang-halangi perjalanan mulia Sultan Agung. Akhirnya beliau memerintahkan prajuritnya untuk memindahkan pohon besar yang sedang "malang" atau melintang menutupi jalan. Dan butuh waktu sekitar 7 hari untuk menyelesaikan sedikit gangguan itu.

Namun dengan semangat dan cita-cita mulia, pohon raksasa tersebut berhasil disingkirkan. Konon pohon Kepuh tersebut dihuni oleh bangsa jin raksasa, itulah sebabnya butuh waktu lama untuk menyingkirkan pohon tersebut. Kemudian beliau menandai wilayah tersebut dengan nama "Malang" yang artinya menghalangi. Dan menamakan tempat pohon itu tumbang dengan nama "Kepuh", namun ada versi yang mengatakan bahwa nama Malang diambil dari semboyan "Malang Kucecwara" semboyan kerajaan Dinoyo yang artinya kebathilan dikalahkan oleh kebaikan.

Ada pula yang punya anggapan Malang diambil dari semboyan Sultan Agung saat berusaha menyatukan seluruh masyarakat Jawa, Rawe-rawe Rantas Malang-malang Putung. Itulah penjelasan singkat yang dikisahkan mbak Rifa. Yang jelas saat itu aku jadi tahu--ternyata Sultan Agung Mataram yang menamai kota ini.

Malam hari ini cuaca cerah sekali. Usai pengajian kitab di masjid, sekitar jam 10 malam, aku dan mbak Rifa sedang duduk-duduk di lantai paling atas asrama kami. Lantai tiga yang biasa dipakai oleh para santri putri untuk menjemur pakaian. Hanya untuk santai-santai saja. Sekedar menikmati cahaya rembulan yang bersinar terang sekali.

Ini tanggal 15 hijriah di bulan Desember 2005 Masehi. Malam kesekian sejak Sultan Agung Mataram berhasil melewati kota kami. Satu dua nampak kerlap kerlip bintang yang malam ini tak begitu banyak terlihat. Mungkin mereka malu dengan kecantikan sang rembulan, hanya berani sesekali mengintip saja, padahal langit sangat cerah. Hanya nampak satu bintang yang setia menemani sang bulan, berada disisi kirinya--amat manis jika dilihat. Mbak Rifa menatap sayu sepasang ciptaan Allah, menghela nafas dalam. Aku disampingnya juga melakukan hal yang sama.

"Kamu ndak kangen sama rumahmu, Ning?" mbak Rifa tiba-tiba memecah keheningan kami.

"Yaa, kangen mbak." aku menjawab singkat--masih asik menatap hamparan langit.

"Umurmu sudah sebelas tahun. Sudah baligh. Mbak seumuranmu saat ditugaskan oleh romo kyai menjadi pengasuhmu."

"Wah, lama juga ya mbak. Eh, tumben mbak bicara seperti ini. Memangnya ada apa mbak?"

"Tidak ada apa-apa,Ning. Ning Ava sudah bukan anak kecil lagi. Mbak hanya berat saja mau meninggalkan kamu." kali ini aku benar-benar harus menoleh. Mata mbak Rifa sudah berkaca-kaca.

"Lho, mbak mau kemana? Ada apa sih sebenarnya, mbak?" seruku penasaran juga ikut-ikutan jadi sedih melihat ekspresi wajahnya.

"Mbak harus pergi, Ning. Tidak mungkin juga kan kalau selamanya berada disini. Tapi, sebelum mbak pergi--Ning Ava berhak tahu sesuatu yang belum Ning ketahui."

Malam ini tanggal 15 H bulan Desember 2005 Masehi. Malam yang sama ribuan hari yang lalu sejak Sultan Agung berhasil melewati kota kami. Adalah malam yang berat untukku.

Somewhere Only We Know [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang