[Side Story] : Awal dari Alkisah

785 51 0
                                    

Selamat malam kawan. Aku tahu, saat kalian membaca tulisanku ini, ditempat kalian mungkin sedang pagi. Atau mungkin sedang siang, sore, aku tak peduli. Karena bagiku malam selalu lebih menentramkan diantara putaran waktu 24 jam. Waktu dimana jiwa-jiwa yang resah mati membawa gelisah. Saat dimana bisingnya hiruk pikuk dunia lenyap dalam beberapa masa.Itulah waktu malam.

Dan aku menyukainya.

Ibarat candu yang memabukkan sekaligus mematikan. Candu bagi jiwa-jiwa yang resah saat mereka berdiri menatap Ka'bah, candu dunia yang membuat para sufi patah hati hingga mensenyapkan diri. Itulah aku. Yang kesepian, namun juga merindukan malam.

Semenjak aku pindah dari asrama Dirmalak, kesibukanku tak jauh berbeda dengan hari-hariku di pondok dulu. Lagipula baik di asrama maupun di flat kecil yang kusewa murah dengan harga 300 pound Mesir/bulan ini, aku tetap saja masak sendiri. Jadi, demi memenuhi keinginanku untuk mencari suasana yang lebih tenang, aku memutuskan pindah ke Nasr city bersama seorang teman satu fakultas asal Ponorogo, Jawa Timur. Menyewa sebuah flat dengan fasilitas 2 buah kamar, balkon, dapur, kamar mandi, perlengkapan musiman, internet, ruang tamu dan perlengkapan rumah lainnya yang telah disediakan oleh pemilik flat.Suasana tenang ini memang aku butuhkan agar lebih mudah menghafal Al-Qur'an. Selain itu juga agar aku bebas keluar untuk merefresh otak agar tidak jenuh. Dan aku rasa ini adalah pilihan yang tepat.Seperti saat malam ini, H+2 Idul Fitri 1434 H aku memutuskan untuk tetap tinggal di Mesir saja. Sayang jika harus mengorbankan sejumlah uang yang relatif besar menurut kemampuanku. Sendirian saja aku di balkon flat sambil menikmati secangkir kopi Robusta untuk menemani hafalan yang biasa aku lakukan setiap jam 20.00 CLT/Waktu Kairo.

Kadang berhenti sejenak untuk membalas sms dari Farah, teman satu flat yang pulang ke kampung halamannya. Sekedar menanyakan sedang apa atau memberitahuku kalau ia baru saja mengirim foto lebarannya di kampung melalui email. Ya, beginilah nasib anak rantau yang tak pulang kampung. Harus sabar saat perasaan ingin berkumpul dengan keluarga tiba-tiba merebak saat melihat foto keluarga yang dikirimkan Farah.Dan seperti biasa, jika sudah seperti itu maka tanpa kusadari airmata kerinduan sudah menetes begitu saja. Segera kusudahi hafalanku dan beranjak keluar untuk jalan-jalan di hadiqah atau taman yang letaknya tak jauh dari gedung KBRI yang berdiri megah dengan 5 lantainya. Sesekali menjawab sapaan beberapa warga pribumi yang mengucapkan selamat lebaran, atau menerima halawah, semacam permen khas Mesir yang diberikan oleh anak-anak kecil yang bermain bersama keluarganya. Dan keadaan seperti ini justru membuatku makin sedih saja.

Lebih baik aku kembali ke flat daripada berteman dengan sepi ditengah keramaian.

***

Sesampainya di kamar, aku langsung bersiap untuk mengistirahatkan badan. Memejamkan mata dan mengenang beberapa hal yang pernah kulewati bersama almarhum kakakku, Avan. Di saat yang bersamaan pikiranku juga berupaya untuk menepiskan kenangan itu. Duhai, alangkah membingungkannya kondisi seperti ini. Daripada terus berkutat dengan memoriku, aku memutuskan keluar.Dalam hitungan seperhembusan nafas, sukmaku sudah berada di puncak mercusuar Iskandariah.

***

Senyap.Suasana di puncak menara redup. Angin di akhir musim semi sesekali berhembus. Terasa hangat walau tanpa daya menembus unsur jiwaku. Dari atas sini nampak kerlap-kerlip jutaan lampu yang berasal dari deretan gedung-gedung tinggi kota Alexandria. Menawan. Menakjubkan.

Aku sudah beberapa kali datang ke tempat ini, secara metafisik. Selalu menyenangkan melihat pemandangan malam hari di menara tua berumur ratusan tahun yang menjadi saksi bisu berjalannya peradaban Mesir modern. Berdiri kokoh diatas pulau Pharos.

Jika kalian berkunjung ke Alexandria, maka jangan sampai melewatkan tempat ini sebagai salah satu destinasi objek wisata. Aku jamin, tidak akan menyesal memasukkannya ke dalam daftar trip paket wisata kalian.

Malam merangkak naik. Aku masih menikmati pemandangan langit yang bertabur ribuan bintang. Awan tipis sesekali berjalan melintasi bulan sabit.Subhanallah walhamdulillah wa laailaahaillallah...Allahu akbar...Terima kasih Ya Rabb, atas sepotong keindahan yang Kau letakkan di langit-langit bumi. Andai aku dapat menikmati saat-saat ini bersama ....Astaghfirullah. Tidak! Aku tidak pantas merenung seperti ini.

Qalbku kebas, tertunduk pilu.

"Assalamualaikum"

"Wa alaikum salam warahmatullah," balasku.

"Sendirian saja wahai anak Adam?"

"Nampaknya tidak lagi, ada kau sekarang." aku tersenyum takzim.

"Ah, kau benar. Sepertinya kau sedang resah temanku?"

"Tentu kau dapat melihatnya dari Nafs ku ini teman. Andai aku malaikat, mungkin aku tak perlu resah seperti ini. Mengabdikan diriku seutuhnya hanya pada Allah."
"Wahai, teman. Tidak boleh berkata seperti itu. Bahkan manusia lebih mulia disisi-Nya dibandingkan para malaikat." keningku mengernyit, tanda tak paham dengan kalimat temanku ini.

"Baiklah, aku akan mengajakmu ke sebuah tempat dimana kita dapat belajar dari kisah-kisah terdahulu. Maukah kau ikut denganku ?"

***

Somewhere Only We Know [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang