9. Hitung Mundur

27 19 1
                                    

Persis seperti dugaan Seol A, saat perasaan asing itu datang dan menguasai dirinya tanpa aba-aba, Seol A semacam hilang pijakan. Batinnya terguncang, fisiknya hilang araah. Seol A semacam dilempar paksa dari dunia Seokjin, melewati pusaran ombak yang terasa memusingkan dan membuatnya mual hingga berhenti pada tempat awalnya.

Dunia putih yang aneh itu.

Tidak ada siapa-siapa disana. Hening dan sepi. Tangan Seol A terangkat guna mengusap pipinya, bahkan masiha ada jejak air mata yang tertinggal. Kalimat Seokjin masih terbayang jelas dalam benaknya sebelum dirinya menghilang begitu saja. Terulang kembali, pertanyaan yang ingin Seol A tanyakan kepada Joon menyebar hingga ke Seokjin.

Bagaimana reaksi pria itu?

Seol A menarik napas pendek sebelum berujar dengan setengah berteriak, "Mr. Bang, aku tahu kau mendengarku."

Dada Seol A masih terguncang akibat peristiwa menangisnya beberapa waktu lalu. Itu juga merupakan salah satu dari banyaknya pertanyaan dalam benak Seol A. Kenapa dia bisa menangis? Bukannya dirinya sudah didiagnosa oleh dokter bahwasannya emosi dalam dirinya itu mati?

Seol A mengepalkan tangannya," Dunia apa ini sebenarnya? Kenapa kau selalu mengeluarkanku di saat-saat yang penting?" tanya Seol A lagi yang berakhir pada suara bergemanya pada dunia tanpa ujung itu sebagai hasil.

"Aku tidak ingin menjadi boneka dalam cerita bodohmu ini lagi!" teriak Seol A benar-benar melampiaskan amarahnya. 

Seol A menancapkan fokusnya kembali pada pigura yang setengah melayang itu, pigura yang tadinya terdapat gambar Seokjin kini sudah redup cahayanya. Seol A mengambil beberapa langkah mendekat kemudian menekan tombol merah pada pigura Seokjin. Sesuai dugaan Seol A, tombol itu tidak berfungsi. 

Tiba-tiba sebuah ide terlintas dalam benaknya, "Jika kau tidak mau memberitahuku, aku akan mencaritahunya sendiri. Termasuk orang yang dibilang Joon dengan Seokjin, aku akan mencaritahu orang yang mirip denganku itu!" teriakan Seol A berkumandang penuh tekad.

"Bodoh!"

Langkah Seol A yang hendak menjelajahi sekitar pigura terhenti. Napasnya tercekat, itu suara orang kan? Atau telinga Seol A yang bermasalah?

Benak Seol A mulai diserang spekulasi-spekulasi anehnya hingga renanya menangkap sebuah pigura yang terletak paling ujung dari tempatnya berdiri. Seol A berlari kecil menghampirinya dan seketika membulatkan matanya terkejut. Walau Seol A hanya pernah melihat sekali perawakan pria itu, kendati dari belakang tetapi Seol A masih ingat jelas setiap detai tato pria itu yang kini terpampang jelas di pigura.

Jantung Seol A berdetak cepat, kakinya mendadak lemas tak mampu menahan bobot tubuhnya. Maju selangkah, Seol A dapat mengamati detail wajah pria itu. Kini kalimat Seokjin terulang jelas dalam benaknya. Seol A ingat. Jungkook. Nama terakhir yang ingin Seol A sebut apalagi ia temui walau itu hanya sebatas mimpi.

Apa Mr. Bang benar-benar punya dendam kepadanya?

Disergap kekesalan yang membuncah dalam dirinya, Seol A mendongakkan kepalanya ke atas dimana hamparan semacam kanvas putih sebagai tonggak pemandangannya. Tanpa ragu, Seol A mengangkat tangan kanannya kemudian mengarahkan jari tengahnya ke atas.

Hening untuk beberapa saat, Seol A masih sempat menyematkan sumpah serapah untuk pria gendut itu dalam benaknya sebelum suara sirene yang kian melengking memekakkan telinga itu menyambar tiba-tiba. Seol A meringis, menutup kedua telinganya dengan telapak tangannya.

Kejadian itu berlangsung selama beberapa detik, menancapkan pemikiran dalam benak Seol A bahwa Mr. Bang marah dan ingin menghancurkan dunia aneh ini. Tapi nyatanya tidak, setelah beberapa saat yang terasa menegangkan, Seol A memberanikan diri untuk membuka kedua matanya diikuti kedua tangannya yang diturunkan.

Alia Seol A bertaut bingung. Semua detail tempat masih sama seperti tadi, tidak ada yang berubah kecuali sebuah layar petak, menyerupai stopwatch tapi dalam ukuran raksasa berdiri tepat beberapa langkah di depan Seol A.

Seol A masih tidak tahu fungsi benda itu hingga sebuah angka-angka digital muncul. Berupa angka sepuluh yang berganti sembilan kemudian delapan. Itu adalah hitungan mundur sepuluh detik.

Seol A tiba-tiba keringat dingin, rasa waspada dalam dirinya yang tadi menguap keluar kembali menghampirinya. Otaknya mendadak blank, benda apa itu? 

Apa Mr. Bang yang menurunkannya?

Tujuh...Enam...

Seol A meremas ujung bajunya, menggigit bibir bawahnya sembari berjalan mondar-mandir di tempat.

"Seol A, ayo berpikir. Apa yang harus kau lakukan sekarang?"

Tadinya Seol A sempat memikirkan satu ide yang baginya bisa berdampak luar biasa. Seol A memikirkan jika bagaimana ia tidak menekan tombol pada pigura itu. Mungkin ini semacam teka-teki dari Mr. Bang yang harus ia pecahi dan mungkin ide yang terpikirkan oleh Seol A itu bisa menjadi jawabannya.

Tapi tampaknya idenya itu sangat berlawanan dengan kondisi sekarang.

Lima...Empat...Tiga...

Angka itu terus-terusan terkikis tak memberi jeda bagi Seol A untuk berpikir.

"Mr. Bang, maafkan aku!" akhirnya Seol A mengeluarkan permohonan maafnya, barangkali Mr. Bang tersinggung dengan perilaku Seol A hingga menurunkan stopwatch yang menyerupai bom besar yang sewaktu-waktu akan meledak.

Dua...Satu.

Seol A menahan napasnya, matanya terpejam erat sebelum kembali terbuka sebab tidak ada suara ledakan, tidak ada bunyi sirene dan keadaan kembali hening seperti awal. Tapi sepertinya Seol A salah besar, sebab saat tak sengaja menolehkan pandangan ke arah pigura, Seol A dapat melihat salah satu dari tujuh tombol merah itu bersinar.

Seol A membulatkan matanya, bahkan ia belum memilih. Setidaknya dalam detik-detik yang tersisa sebelum ia dihempaskan dari dunia putih itu, rupa pria yang akan menjalani skenario dengannya dapat Seol A lihat dengan jelas.

Pria itu memiliki mata yang lumayan sipit dan warna rambut pirang menyerupai emas pucat.

▪️▪️▪️

-ThIsGiRlAw-

7 Days ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang