Part 8. Terkunci

438 55 0
                                    

Maaf kalau membosankan🙏

Happy reading...

Setelah makan malam hanya dengan mie instan, kedua remaja laki-laki itu sudah berada di kamar Haikal. Dikamar ini, terdapat tiga ranjang. Sengaja, agar ketika teman-temannya menginap mereka bisa tidur dalam satu kamar.

Tadinya, mereka berdua berencana akan bermain game terlebih dulu. Namun tidak jadi saat Devin yang merasakan perasaan aneh malam ini.

Ia memutuskan untuk memejamkan matanya, berharap pagi segera datang. Dan ia bisa terbebas dari pikiran-pikiran buruknya.

Haikal menyandarkan tubuhnya di sandaran tempat tidur. Ia sedang bermain game di ponselnya. Hampir setiap malam, ia begadang. Jadi tak heran jika ia terlambat ke sekolah.

"Lo tidur Dev?" Haikal bertanya sembari menolehkan wajahnya pada Devin. Tampak, sahabatnya itu menutupi tubuhnya dengan selimut sampai kepala.

Tak ada balasan dari Devin. Haikal
berdecak kesal, "yaelah malah ninggalin tidur duluan. Gue kan juga takut begadang sendirian."

Karena tak ada yang bisa diajak mengobrol, akhirnya Haikal membaringkan tubuhnya sembari menutup tubuhnya hingga wajah dengan selimut tebal, kesayangannya.

Dua menit, tiga menit ia berusaha memejamkan mata, namun tetap saja tak bisa.

"Gue tuh gak bisa tidur kalau gak jam dua belas malam," ucapnya pada Devin.

Suara ponselnya yang berbunyi, membuat Haikal segera mengangkatnya. Setelah memastikan orang tersebut, dirinya kenal.

Lima menit mereka berbicara. Lalu ia meletakkan ponsel dan kembali berbaring dengan menutup matanya berpura-pura tidur.

Satu jam berlalu. Devin yang sudah terlelap itu harus kembali membuka matanya. Saat ia merasakan perasaan kebelet pengen buang air kecil. Bodohnya dia yang tidak ke kamar mandi terlebih dulu, sebelum tidur. Kan jadi terganggu tidurnya.

Dengan malas, ia menyibak selimutnya. Lalu memperhatikan Haikal yang ternyata sudah tidur dengan nyaman. Beruntunglah kamar mandinya ada di dalam kamar Haikal, jadi ia tak perlu berjalan jauh.

Namun, hal tak terduga terjadi. Lampu tiba-tiba mati. Devin yang berada di kamar mandi refleks berteriak. Ia terkejut sekaligus ketakutan, tanpa sadar tangannya mengetuk dan mendobrak pintu yang tiba-tiba tak bisa terbuka.

"HAIKAL! BANGUNNN!" Teriakan keras Devin, berhasil membangunkan Haikal. Saat membuka kedua matanya, ia malah terdiam lebih tepatnya sedang mencerna apa yang terjadi.

Di kamar ini tidaklah terlalu gelap, karena senter dari handphone Haikal ia biarkan menyala sebelum ia memejamkan mata tadi.

"Oh, lampunya udah mati," gumamnya.

Namun ketika sadar ia salah dialog, akhirnya Haikal memukul pelan mulutnya sendiri.

"Salah njir. Harusnya tuh 'Loh kok mati lampu?"

"HAIKAL ANJIR! TOLONGIN GUEEE!"

"LO DIMANA?!"

"GUE DIKAMAR MANDI. Tolongin gue. Ini gelap banget!"

Mendengar teriakan Devin kembali, ia segera mengambil ponsel sebagai pencahayaan, lalu berlari ke depan pintu kamar mandi.

Haikal terkejut mendengar Devin yang berteriak-teriak dengan memukul keras pintunya.

"EH LU JANGAN PUKUL PINTU GUE! NANTI RUSAK!" peringat Haikal.

"CEPETAN BUKA. GAK USAH BANYAK BACOT," balas Devin.

"Pintu gue tuh sering ke kunci sendiri. Sering macet gitu. Lo kalau mau dobrak, percuma karena gak akan kebuka. Bentar gue ambilin kunci dulu."

Haikal kembali berjalan ke sisi ranjang. Membuka sebuah laci lalu mengambil kunci yang memang di sediakan ketika pintu kamar mandinya lagi eror.

Haikal membuka pintu itu. Devin segera berlari dengan menutup kedua matanya. Ia bahkan tak peduli jika tadi ia sempat terbentur sebuah tembok saking kencangnya ia berlari, dalam kegelapan.

"Huh. Akhirnya keluar," Devin menghembuskan nafas lelah. Tangannya sudah sangat sakit sekarang.

Baru saja ia mendudukkan dirinya di kasur, hujan turun bersamaan dengan petir dan angin yang berhembus begitu kencang.

BRAKK!

Suara keras itu kembali membuat jantung Devin berdetak kencang. Ia memandang Haikal dengan sorot nata takut.

"Itu suara apa?"

"Paling cuma jendela," jawabnya acuh.

Namun suara keras itu, bukan hanya sekali. Itu bahkan terdengar berkali-kali dengan jeda hanya sekitar 30 detik.

Devin semakin merinding saat ia kembali mendengar suara lain, suara-suara aneh yang sebenarnya tak terlalu jelas karena hujan yang deras.

"Kal, lo dengar suara itu?!"

Haikal mengangguk dengan pelan. Dan langsung mendapat tatapan aneh dari Devin.

"Kenapa lo santai aja? Gak takut?"

Haikal menggaruk kepalanya yang tak gatal. Lantas remaja itu menyengir, "gue takut sih. Tapi gue memberanikan diri aja. Takutnya lo malah tambah panik."

Devin mengambil selimut, lalu duduk di samping Haikal. Ia menutup matanya dengan doa-doa yang ia ucapkan dalam hatinya.

"Kal," panggilnya pelan.

"Hmm," Haikal menoleh, dengan menggunakan cahaya ponsel. Ia menatap Devin yang matanya justru berkaca-kaca.

"Gue pengen pulang," lirih an pelan dari Devin membuat Haikal tak tega. Tapi apa yang bisa ia lalukan, membiarkannya pergi, maka hal itu alan buruk padanya, karena ia akan sendirian disini.

"Gue gak ngelarang lo kalau mau pulang. Tapi Devin, coba lo liat keadaan sekarang gak memungkin lo bisa pergi," Haikal mencoba memberi pengertian.

"Gue bisa pakai mobil. Lo juga sekalian nginap di rumah gue aja. Gue beneran gak sanggup disini, gue takut."

"Gue minta maaf buat lo panik gini. Tapi coba lo liat di luar hujan deras. Jalanan pasti licin lo mau hal buruk terjadi. Bukankah gue udah bilang di depan rumah gue itu angker, apa lagi malam-malam gini, di tambah hujan lagi."

"Gue gak mau mati ketakutan disini. Kita harus pergi, Kal. Please," Devin memohon dengan sangat. Perasaannya sedari tadi tidaklah tenang.

"Baiklah. Sebentar gue ambil tas dulu," Haikal mengalah. Ia harus menurut kali ini.

Setelah mengambil baju seragam serta bukunya, mereka berdua menuruni tangga. Rumah besar ini begitu gelap, hanya dengan cahaya ponsel Haikal sebagai penerangan, karena ponsel Devin belum terisi daya.

Saat sudah sampai di pintu, Devin hendak membukanya. Namun bukannya terbuka, pintu itu malah terkunci.

"Kal. Lo kunci pintunya?" Devin bertanya dengan panik.

"Enggak Vin."

"T-tapi ini gak bisa kebuka!"

Haikal mencoba membuka pintu itu, namun sayangnya memang terkunci. Namun bukan terkunci di dalam melainkan dari luar.

"Sepertinya ini terkunci dari luar deh Vin."

Devin melotot kaget. Pikiran negatif kini memenuhi otaknya. Bagaimana bisa terkunci dari luar, sedangkan mereka berada di dalam. Dan lagi pula tak ada orang selain mereka berdua disini.

"Kok bisa?"

"Gue gak tahu. Sebelumnya gak pernah kayak gini."

"GUE POKOKNYA PENGEN PULANG!"

"Sabar Vin. Jangan teriak gitu, kita cari jalan lain."

Devin berjalan ke jendela, hendak membuka pintunya namun sepertinya jendela itu juga terkunci. Sama sekali tak bisa terbuka.

Devin menyerah, ia sudah mencoba membuka seluruh jendela di kamar Haikal, namun tak ada satupun yang bisa terbuka.

Ia menyandarkan tubuhnya pada tembok, tanpa sadar ia menangis.

"Gue pengen pulang," lirihnya.

6 Juli 2022

Saudara MahardikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang