Part 11. Lupa

357 47 0
                                    

Di pagi harinya, Arjun terbangun dengan wajah cerah. Tak seperti biasanya, ia akan misuh-misuh karena di bangunkan dengan paksa.

Namun kali ini, ia bangun dengan sendiri tanpa di bangunkan oleh anggota keluarganya yang lain. Ia pun sedikit terkejut, karena jam ternyata masih menunjukkan pukul 05.37, hal yang sangat jarang di lakukan oleh Arjun.

Sembari menguap kecil, ia mengambil handphonenya. Hanya sekedar mengecek apakah jam di dinding kamarnya itu benar atau salah. Kebanyakan Arjun itu membolos selain karena telat bangun, juga karena dirinya yang memiliki kondisi tubuh yang lemah, beda dari yang lain.

"Tumben gue bangun cepat," gumamnya sendiri merasa heran.

"Oiya. Tadi malam kan, kak Natta nyuruh aku tidur cepat. Pantes aja bangun-bangun gak ngerasain pusing," lanjutnya sembari tersenyum kecil.

"Kak Natta memang the best deh, tapi sering gue jahilin," Arjun terkekeh pelan, mengingat kak Natta yang sudah berbaik hati itu malah sering ia ganggu bersama dengan Arziel dan Geziel.

Anak itu menatap keluar jendela, tepat di samping kamarnya itu terdapat sebuah taman indah. Khusus di bangun untuk Arjun, agar anak itu tak merasa bosan. Waktu kecil, semua saudaranya selalu bermain disana, tak terkecuali Bryan, si pendiam itu.

"Masa kecil itu memang indah, ya? Gak perlu capek mikirin ini itu, gak perlu menjadi dewasa untuk menjalani hidup yang keras ini."

"Gue jadi kangen, masa-masa dimana hanya tau main aja. Tanpa beban pikiran, dan tanpa... Penyakit ini," Arjun terkekeh pelan di akhir kalimatnya. Anak itu menertawakan hidupnya sendiri yang begitu lemah tak bedaya.

Padahal, jika di lihat sekilas. Arjun itu hidup dalam kebahagiaan yang diimpikan banyak orang. Hidup di keluarga yang tidak kekurangan apapun, orangtua dan saudara yang saling mengasihi. Namun siapa yang akan tahu, bahwa anak itu juga terkadang merasa takut. Takut untuk kehilangan.

Arjun menatap langit-langit kamarnya. Kamar ini lebih kepada kesan anak-anak di banding remaja pada umumnya. Anak manja seperti dirinya, memang selalu bersikap kekanak-kanakan. Ia lebih suka menjadi anak kecil di banding menjadi dewasa.

"Kira-kira bagaimana ya, masa depan itu?" Arjun bertanya dengan rasa sesak yang tiba-tiba menghampiri dadanya.

"Yang pasti keluarga Mahardika akan berpisah. Mencari masa depan mereka, menikah dengan kekasihnya, dan membangun keluarga harmonis. Dan aku pun berharap bisa sampai ketahap itu, setidaknya melihat mereka bahagia."

Setetes air mata Arjun jatuh begitu saja, seiring dengan kalimat yang ia ucapkan itu.

Namun cepat pula, ia membawa tangan kanannya, untuk mengusap pipi yang terkena air mata itu. Ia sudah berjanji tak akan menangis karena hal itu.

"Aku siap-siap aja dulu deh. Biar hari ini cosplay jadi anak rajin," ujar Arjun yang sudah kembali ceria, remaja itu pun segera ke kamar mandi.

Tak berselang lama, Arjun sudah rapi dengan seragam sekolahnya. Ia menatap pantulan dirinya pada cermin besar yang terletak di samping lemari pakaiannya.

Anak itu mengernyitkan alis, ketika melihat dirinya sendiri dalam cermin itu.

"Ini wajah kok pucat banget sih. Kayak mayat hidup aja, pantes mereka selalu khawatir," misuh Arjun menyentuh pelan wajahnya.

Arjun yang tak ingin kepikiran, akhirnya menatap objek lain. Yaitu buku-bukunya yang tampak rapih, dengan segera ia mengecek tasnya. Dan ternyata bukunya sudah di masukkan sesuai jadwal pada hari ini.

"Pasti ini kak Natta yang rapihin," Arjun tersenyum senang. Meski Devin yang paling mengurusnya itu tak ada,  masih ada saudaranya yang lain yang akan melakukannya.

Tok. Tok.

Senyuman Arjun buyar, saat mendengar suara ketukan pintu itu. Tak lama, sebuah kepala muncul mengintip kedalam, dengan badan yang masih berada di luar kamar.

"Tumben, udah rapih," kalimat pertama yang di ucapkan oleh orang tadi. Ia kini berjalan menghampiri Arjun yang sudah menenteng tasnya.

"Gak papa. Cuma pengen cosplay aja jadi anak rajin, Hari ini," balas Arjun.

"Di kasih obat apa semalam sama kak Natta. Sampai lo kayak gini," Rafka bertanya bercanda. Ia sengaja ingin menggoda adiknya ini.

Membuat Arjun tak kesal atau pun menangis di pagi hari. Akan membuat rumah menjadi sepi, maka jika tak ada Devin, maka Rafka lah yang berperan untuk hal itu. Sudah menjadi kewajiban bagi Rafka dan Devin.

"Udah deh kak, jangan buat mood Arjun buruk," ujar Arjun sambil menatap tajam Rafka.

Rafka terkekeh, ternyata Arjun sudah hafal niatnya itu. Maka dengan bersandiwara sedikit, ia mendudukkan dirinya di kursih belajar Arjun, membuat anak itu hanya berdiri sambil melirik sinis kakaknya.

"Kok duduk sih, ayo turun. Arjun udah lapar."

"Belum ada makanan. Mama sama para maid baru masak," jawab Rafka jujur.

Arjun mengerucutkan bibirnya mendengar itu. Padahal perutnya sudah meronta-ronta harus diisi.

"Padahal biasanya makanan sudah tersaji di meja makan, kalau aku turun," sanggah Arjun merasa jika ucapan Rafka hanya sebuah bohongan.

"Itu karena lo bangun jam delapan, makanya semuanya udah siap."

Arjun memilih untuk diam. Moodnya hari ini sudah bagus, ia tak boleh terpancing dengan Rafka.

"Eh btw kok Kevin belum datang ya?"

Rafka bertanya setelah beberapa detik hening.

"Arjun, lo di kasih kabar enggak, sama Devin?" Arjun hanya menggelengkan kepalanya.

"Tunggu sini bentar, gue mau minta pendapat lo," setelah mengatakan itu, Rafka segera berlari keluar kamar Arjun. Tujuannya untuk ke kamarnya yang terletak di samping kiri kamar Arjun.

Tak berselang lama, dia datang kembali dengan dua benda di kedua tangannya. Arjun yang melihat itu mengernyit heran, entah apa yang di bawa oleh kakaknya itu.

"Itu apa kak?"

"Gue minta saran lo, ha dia nya bagusan yang mana? Kamera atau jam tangan ini," Rafka meletakkan kedua benda yang katanya sebagai hadiah itu.

"Kayaknya kamera lebih bagus deh," jawab Arjun.

"Tapi untuk siapa?" Arjun bertanya penasaran.

"Buat Devin lah," jawabnya.

Arjun tambah bingung, ia tak mengerti maksud perkataan Rafka.

"Maksudnya apa kak? Emangnya kak Devin minta."

Rafka menatap dalam Arjun, "Masa lo gak ingat."

Sebuah gelengan pelan dari Arjun, membuat Rafka justru tersenyum dalam hati.

"Masa masih kecil udah pikun," ledeknya.

Arjun yang kesal, langsung memukul lengan Rafka. Biarkan saja jika ini adalah bentuk tak sopan pada yang lebih tua, karena yang memulai juga Rafka.

"Gak usah ngelek."

Rafka justru tertawa melihat wajah Arjun yang marah, lucu soalnya.

"Kemarin tuh ulangtahun nya Devin. Tapi kita gak ngerayain karena tiba-tiba dia nginap di rumah Haikal. Jadi ya, gue cuma ngasih kado aja, entar," jelas Rafka detail.

Arjun tentu terkejut, bisa-bisanya ia lupa hari spesial kakak kesayangannya itu. Kalau Devin tahu, sudah pasti dia akan marah lada Arjun.

"Duh, maaf ya kak. Arjun benar-benar lupa," batinnya.

17 juli 2022

Saudara MahardikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang