29. Gara-Gara Kursi Roda

55 8 158
                                    

Selama Naina sakit; hanya Alana dan Alaya yang mengurus tentang berganti pakaian Naina. Mulai dari mengganti pakaian hingga menyuapi Naina tetapi kali ini Alana sudah tidak mau membantu Naina lagi setelah mendengar penjelasan Arkan yang semalam mabuk.

"Pokoknya mulai hari ini dan seterusnya baik bunda ataupun Alaya tidak akan membantumu berganti pakaian lagi atau sebagainya dan iya, jangan lupakan jika kau sudah mempunyai suami, jadi kau bukan tanggung jawab bunda lagi, melainkan tanggung jawab Arkan. Jadi semuanya bunda serahkan pada Arkan tentang mu!" ujar Alana dengan tegas.

Naina yang mendengar itu refleks memegang dadanya sendiri dengan ekspresi dramatis––seolah olah dirinya lah yang paling tersakiti. "Bunda tega padaku?"

"Bukan kah kau yang tega pada suami mu?!" Alana melotot pada Naina seraya berkacak pinggang.

"Aku?" Naina menunduk dirinya sendiri.

"Kapan aku tega pada suamiku? Kapan bunda? Aku selalu baik dan patuh pada suami..." dusta Naina masih dengan ekspresi dramatis-nya itu.

Mendengar respon Naina yang sungguh menyebalkan padahal Alana tahu kebenarannya maka dari itu Alana segera mengambil sapu. "Kau pikir bunda tidak tahu?!"

"Apa bunda?" Naina was-was––takut Alana memukul-nya.

"Kau biarkan kak Arkan tidur di lantai tanpa alas apapun bahkan kaki dan tangan mu sampai seperti ini karena ini adalah karma atas apa yang kau lakukan pada suami mu!" 

'Dasar Arkan tukang mengadu!' Batin Naina geregetan.

"Bunda lalu bagaimana dengan aku yang hendak berganti pakaian?" rengek Naina.

"Kan ada suami mu dan ya! Suami mu lebih berhak kepadamu!" sahut Alana sebelum meninggalkan Naina sendirian.

Naina mengepal-kan tangannya; berusaha menahan emosinya yang harus ia luapkan nanti ketika ada Arkan. Jika ia luapkan sekarang maka emosi Naina akan habis––Arkan tidak boleh melewatkan kemarahannya untuk ini.

Ceklek!

Naina langsung tersenyum jahat kala pintu terbuka dan tampaklah seorang pria cukup tinggi yang tak lain adalah Arkan––suaminya sendiri.

"Hari ini kita ke rumah sakit lagi," ujar Arkan tanpa menoleh––pria itu terlihat sibuk mencari sesuatu di jaketnya.

"Kau mengadu pada bunda?" celetuk Naina masih dengan nada rendah.

Arkan segera menghentikan aktivitas nya dan menoleh pada istrinya dengan tatapan penuh tanya. "Mengadu? Mengadu apanya?"

"Kau pura-pura tak tahu?" Naina sudah melotot walaupun nada bicaranya masih sangat halus.

Seketika Arkan merinding; ingin rasanya menghilang sesaat hanya untuk menjauh dulu dari Naina sekarang, pasalnya istrinya ini sudah melotot, itu berarti ada hal yang tidak baik-baik saja dan dirinyalah yang pasti akan di salahkan walaupun tidak salah sekalipun.

"JAWAB! KAU MENGADU KAN?!" bentak Naina tajam.

Arkan tersentak––pria itu menggeleng kan kepalanya ketakutan. "T-tidak..." rengeknya.

Naina masih melototi Arkan. "KATAKAN!" paksa Naina.

Arkan tetap menggeleng; dirinya sama sekali tidak mengadukan apapun kepada orangtua mereka, apa mungkin saat mabuk dirinya berbicara jujur? Oh tidak, bagaimana ini? Arkan semakin cemas dibuatnya.

"S-se s-sepertinya aku mabuk dan bicara jujur--" Arkan memejamkan matanya seraya menutup wajahnya dengan telapak tangannya, takut-takut jika Naina melemparkan sesuatu padanya.

CERITA KITA [Lengkap]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang