31. Hamil?!

66 10 242
                                    

Alana tampak senang melihat Naina tengah menyiapkan sarapan untuk Arkan. Ya, walaupun hanya membuatkan roti dan susu saja tapi Alana sudah sangat bersyukur; itu berarti Naina mulai menerima Arkan sebagai suaminya.

Dengan tangannya yang masih belum sembuh benar; Naina rela-rela kan menyiapkan sarapan untuk suaminya tapi jika di lihat, kaki Naina sudah terlihat baik-baik saja karena gerakan Naina yang begitu lincah akan tetapi Naina masih membawa tongkatnya; sebab kursi rodanya tiba-tiba menghilang entah kemana.

Tapi Alana tak mempedulikan itu sekarang. Ia merasa lega karena Naina mulai menerima Arkan sebagai suaminya. Jadi rasa bersalahnya pun ikut hilang perlahan karena telah menikahkan mereka secara paksa.

Bahkan saat ini Naina terlihat ceria, tidak seperti biasanya yang hanya murung dan diam di kamarnya.

"Bunda, tolong rotinya oleskan mentega, tanganku susah untuk melakukannya," pinta Naina halus.

Dengan senang hati Alana langsung membantu putrinya tanpa banyak berkomentar dengan mengoleskan mentega ke rotinya, setelah itu Alana hendak mengambil gula––untuk me-naburinya ke dalam roti akan tetapi Naina buru-buru mencegahnya.

"Bunda, itu olehku saja," Naina terdesak mengambil rotinya.

Alana hanya mengangguk lalu segera membuatkan teh untuk Satya dan segelas susu hangat untuk Alaya.

Bukannya segera me-naburi gulanya, Naina malah memperhatikan Alana dan tak ada pergerakan apapun, untuk sekedar mengambil gula pun tidak, seolah-olah Naina tengah menunggu Alana keluar dari dapur.

"Sudah?" tanya Alana.

"Sudah bunda," sahut Naina berdusta.

Lantas Alana segera pergi ke meja makan; melihat itu, buru-buru Naina mengambil garam yang cukup banyak lalu me-naburinya ke dalam roti yang seharusnya di isi dengan gula.

Naina tersenyum jahat. "Sarapan pertama untuk suamiku, dan kau harus memuji nya, ya, walaupun gulanya ku ganti dengan garam..."

Setelah Naina menyiapkan sarapannya, lantas perempuan itu kembali ke kamarnya dulu untuk menyiapkan pakaian Arkan; seharusnya memang menyiapkan pakaian terlebih dahulu, akan tetapi karena takut bundanya malah membuatkan sarapan untuk Arkan maka ia buru-buru ke dapur tadi.

Saat masuk ke kamar ternyata ada Arkan yang tengah berganti pakaian. Ya, Naina tidak sengaja melihat nya, buru-buru Naina memalingkan wajahnya.

"Sudah belum?" tanya Naina tak sabaran.

"Sudah," sahut Arkan yang sudah rapih menggunakan pakaian olahraga.

Seperti biasanya, setiap hari dirinya akan lari pagi, setiap pukul lima lalu pulang ke rumah pukul enam. Untungnya selama disini Arkan tak lari sendirian, ia di temani oleh ayah mertuanya yang memang suka berolahraga lalu ada adiknya yang selalu ikut, bilangnya sih ingin pergi olahraga padahal sebenarnya ingin cuci mata saja; melihat pria-pria tampan yang sedang olahraga.

"Sarapan sudah aku siapkan, mau sarapan dulu atau olahraga dulu?" tanyanya lagi dengan nada lembut, tak seperti biasanya.

"Olahraga dulu," balas Arkan.

"Baiklah, sana pergi... Aku harus menyiapkan pakaian kerjamu!" ketus Naina seraya berjalan, pura-pura pincang di hadapan Arkan dengan tongkat yang berada di tangannya tak lepas.

Arkan tampak cengengesan; antara senang dan malu. Lalu bergegas pergi keluar sebelum ayahnya meninggalkannya duluan.

Perlahan-lahan Arkan menuruni anak tangga dan melihat adiknya di meja makan tengah mengatur-ngatur piring yang di dalamnya sudah berisi sarapan mereka.

CERITA KITA [Lengkap]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang