Rumput setinggi dada sangat sesuai dengan bayangan Felix. Ini pertama kalinya menebas rumput, semoga ia bisa cepat beradaptasi agar pekerjaan itu sesuai dengan target mereka.
"Sebenarnya ada mesin potong rumput, cuman gue gak berani pinjemnya." Ujar Rangga yang juga kucing-kucingan dengan Ayahnya bahwa ia bekerja serabutan.
Felix mengangguk paham.
"Pake seadanya aja bisa Mas, saya selama ini juga begitu." Ujar Pak Mardi memperlihatkan parang, arit dan sejenisnya.
Setelah diberi arahan oleh yang paling berpengalaman di situ yaitu Pak Mardi, mereka pun langsung mulai. "Hati-hati ya Mas, yang ditangan kalian itu tajam." Pria berusia kepala empat itu kembali mengingatkan.
Felix dan Rangga pun mengiyakan.
Untuk seorang pemula, pekerjaan mereka tergolong lancar, hanya saja kalah cepat dengan Pak Mardi.
"Wa! Anjir!" Pekik Rangga menjauh dari rerumputan tersebut.
"Ada apa Mas?" Tanya Pak Mardi dari tempat yang agak jauh.
"Gak sengaja leher ularnya kepenggal." Jawab Rangga masih syok.
"Nda Pa-pa, tenang dulu Mas, udah biasa itu." Tutur Pak Mardi mendekat dan menepuk-nepuk pundak Rangga, begitu juga dengan Felix.
Tanpa rasa takut sedikit pun beliau mengambil ular yang kepalanya entah kemana namun badannya yang tidak lebih dari sebesar jari itu masih meliuk-liuk dan menyingkirkannya.
"Itu namanya ular lidi, duduk aja dulu Mas." Saran Pak Mardi, bisa-bisa malah ia yang terkena masalah sebab membuat anak bos nya ini celaka.
Rangga terkekeh, "Gak-gak, ayo lanjut. Bisa-bisanya gitu aja kena mental." Ucapnya melanjutkan pekerjaannya.
Felix berdecak dan menyikut perut temannya itu. Jujur, ia juga takut jika harus berhadapan dengan ulat apalagi ular.
Semuanya kembali bekerja hingga memasuki Ashar, melihat hanya sisa sedikit lagi membuat dua orang pemula itu puas.
Namun tiba-tiba, Felix memekik. Lagi-lagi membuatnya yang lain segera mendatanginya sebab dari tempat mereka yang terlihat hanya sebatas dada Felix.
"Ya ampun Mas." Panik Pak Mardi.
Kaki kiri bagian depan tepatnya di tengah-tengah antara lutut dan telapak kakinya mengeluarkan darah yang cukup banyak.
Semuanya panik, apalagi melihat wajah Felix yang nampak pucat dengan keringat dinginnya. Remaja itu jelas terguncang.
"A-ayo kita bawa ke klinik." Titah Pak Mardi penuh kehati-hatian membantu Felix berdiri dan memapahnya.
Sementara Rangga, dengan tangan yang gemetar mencoba mencari klinik atau sejenisnya yang terdekat sebab mereka memang tidak begitu mengenal daerah itu.
"Pak, yang paling dekat, klinik gigi aja. Ke sana aja ya Pak." Ujar Rangga.
Akhirnya tanpa pikir panjang, mereka bertiga menuju klinik tersebut. Untungnya sesampainya di tempat itu, dokter dan satu orang perawatnya dengan sigap membantu memberi pertolongan pertama.
Rasa ngilu dan sakit membuat Felix hanya bisa menggigit bibirnya. Demi tuhan, ia tidak punya nyali melihat kakinya sendiri dengan luka yang menganga.
"Tenang Lik." Ujar Rangga tepat di sampingnya menahan tubuh Felix yang refleks berguncang akibat kesakitan.
"Istirahat dulu ya Mas." Ujar Dokter itu tenang setelah membalut luka sayatan oleh parang tadi. "Bapak sama Masnya keluar aja dulu." Lanjutnya.
Setelah dua orang itu keluar, barulah dokter kembali bersuara, "Mas, itu harus cepat di bawa ke RS, harus di jahit."
KAMU SEDANG MEMBACA
Baladah Pasutri Muda (SEQUEL TUP)
Teen FictionSequel dari Teen Unplanned Pregnancy (TUP) Lira dengan segala kecemasan, pikiran buruk dan kepolosannya mengiyakan ajakan-ajakan nyeleneh Felix serta Felix dengan segala keteledorannya, ide-ide uniknya dan kejahilannya melebur menjadi satu. *** Pola...