17. Love in a photograph

5K 620 122
                                    

Guys komen yang banyak yaaa
Yang banyak banget, hehe

***

Di atas motor yang sedang jalan agak lambat ini Wisam merentangkan ke dua tangannya sesekali melompat kegirangan.

Lira yang sejak tadi memegangi Wisam jadi kewalahan menahan badan anak itu yang terus bergerak. Begitu juga dengan Felix yang sempat oleng  menggonceng mereka.

Setelah dua kali melewati jembatan pendek dengan aliran sungai di bawahnya, motor yang membawa keluarga kecil itu mulai memasuki kawasan persawahan. Sepanjang kiri-kanan jalan aspal yang agak tinggi ini terbentang luas tanaman padi, namun ada juga lahan yang hanya ditumbuhi rumput liar atau menjadi rata dengan aspal sebab ditimbun tanah. "Tuh kakaknya lagi main bola. kakak.. panggil kakaknya Sam." Ujar Lira membimbing Wisam menyebutkan kata 'kakak'.

Anak itu pun meniru sambil melambaikan tangannya.

Daerah terujung di lingkungan rumah Lira ini dikenal dengan 'hawainya Karang Manurasa' sebab terdapat sebidang lapangan dengan tanah putihnya. Sebenarnya lahan itu awalnya lahan persawahan yang kemudian ditimbun oleh pemiliknya, namun entah apa penyebabnya tanah itu bisa menjadi warna putih seperti pasir di pantai.

Oleh karena jenis tanah tersebut, banyak remaja laki-laki menjadikannya tempat bermain sepak bola dan sepak takraw. Pokoknya lapangan hawai yang dekat dengan daerah persawahan itu pasti ramai.

Setelah melewati jalan aspal yang mulus, motor Felix belok ke kiri memasuki gang bertanah kuning yang kering.

"Syapiii!" Pekik Wisam saat mereka berhenti tepat di seberang kandang sapi. Anak itu meminta turun kemudian berlari mendekati sapi-sapi tersebut. Dengan mata melotot, ia menunjuk sapi yang sedang mengaum. "Mooooo." Tirunya.

"Ada berapa Sam sapinya." Ujar Felix yang jongkok di belakang Wisam.

"One, two, three, four." Hitung Lira pelan-pelan yang diikuti oleh Wisam. Anak itu terus jingkrak sana sini tak jarang menggoyangkan pinggul dan tangannya seperti berjoket.

"Sam, hati-hati." Peringatan Lira saat Wisam berlari mengelilingi mama-papanya yang sedang jongkok itu.

Mungkin sudah ada satu minggu mereka rutin mengunjungi tempat tersebut sebab Wisam sedang senang-senangnya dengan sapi. Bahkan waktu pertama kali melewati tempat itu saat ia menemani mama-papanya membeli ikan, Wisam menangis sebab tidak mau pulang.

Bahkan besoknya Wisam terus menyebut kata 'syapi' membuat Felix lagi-lagi membawa bocah itu hanya untuk melihat sapi.

Untungnya gang yang masih tergolong asri dan sepi ini hanya dikelilingi dengan sawah, kandang sapi dan sebuah pondok warga yang menjual ikan sehingga Wisam bebas berlarian kesana-kemari. Adapun jika memasuki gang sekitar 6 meter lagi, kita akan disuguhkan dengan bentangan sungai yang airnya berkilau jika terkena pantulan cahaya matahari.

"Mama!" Pekik Wisam berlari ketakutan ke dalam pelukan Lira sebab mendengar gemuruh suara mesin perahu yang lewat.

"Gak papa, itu suara perahu." Ucap Lira sembari mengelap telapak tangan anaknya dengan tisu basah.

Saat suara perahu tersebut kian menjauh, Wisam kembali bermain.

"Ra, duduk di situ aja yo." Ajak Felix membantu Lira berdiri.

Dua sejoli itu kini duduk di bawah pohon rindang beralaskan akar besar pohon tersebut yang menonjol dari dalam tanah sembari mengawasi anak mereka yang terus berlarian.

"Pak.." sapa Felix pada pria paruh baya yang membawa tumpukan rumput di pundaknya. "Ini bawa Wisam lihat sapi." Lanjutnya seperti meminta izin.

"Iya gak papa, sering-sering aja ke sini.
Ini rumput kalau mau coba kasih makan boleh." Balas pria pemilik sapi beserta sawah di sana.

Baladah Pasutri Muda (SEQUEL TUP)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang