Bogor, kini.
"Saya terima nikah dan kawinnya Nesya Saswika Binti Heri Sanjaya dengan mahar seratus gram emas dan seperangkat alat shalat dibayar tunai!"
"Bagaimana para saksi,...?"
Saksi satu : "Sah."
Saksi dua : "Sah."
"Alhamdulillah"
"Mulai saat ini, kalian sudah sah dan resmi menjadi pasangan suami istri."
Setelah rangkaian ijab kabul selesai, para tamu undangan bergantian menyelamati kedua mempelai, sekaligus menikmati suguhan makanan resepsi pernikahan.
Para tamu undangan kasat mata adalah kebanyakan dari kalangan sosial atas, dapat dinilai dari cara berpakaiannya. Tentu saja, karena sudah pasti mereka adalah rekan kerja dari Papa Dehan. Lalu, ada juga yang menarik di pandangan, ruang resepsi itu dipenuhi taburan remaja-remaja tampan yang sangat rapi dengan sarung dan peci bagi yang laki-laki. Dan sangat cantik dan anggun bagi para perempuan atas gamis dan kerudung panjangnya, bahkan ada beberapa dari mereka yang memakai cadar. Oh, ternyata mereka semua adalah teman-teman pesantrennya Dehan.
Dilirik kepada pelaminan ijab kabul, terlihat di sana sepasang pengantin yang sama sekali tak bercengkrama, keduanya tampak diam. Si pengantin laki-laki tampak acuh dan dongkol, sedangkan si pengantin perempuan menunduk sendu ke bawah. Jelas terlihat ada binar ketakutan yang terpancar dari mata cokelatnya.
"Dehan, bawa Nesya istirahat ke kamar, Nak. Kalian sudah boleh istirahat." suara lembut wanita paruh baya datang menghampiri mempelai.
Alih-alih menanggapi indah suara lembut itu, Dehan malah melayangkan tatapan sinisnya.
"Teman-teman Dehan lebih penting, Mah," ucapnya ketus, kemudian berlalu meninggalkan Mamanya dan Nesya yang kini sudah bernotabe sebagai istrinya.
Semburan rasa tak enak hati langsung memenuhi diri Mama Dehan, ia bahkan tak tahu lagi harus bagaimana menatap Nesya sekarang.
"Ne-Nesya, maksud Dehan bu-bukan begitu ya Nak, dia pasti sedang ada keperluan dengan teman-temannya, maka buru-buru pergi."
"Iya, Bu. Nesya juga menanggapinya demikian," tutur kata lembut memang selalu mencurah dari dalam diri anak malang ini.
"Kok manggil ibu sih, manggil mama dong. Ya, Nak!"
"Oh, iya iya Mah. Ma-maaf, Nesya kelupaan tadi."
"Nah, tuh kan. Enak didengar kalau panggil mama."
"I-Iya, Mah."
"Kalau gitu ayo istirahat dulu, biar Mama antar kamu ke kamar, Nak."
Senyum damai langsung disemilir perawakan mungil itu "Nanti saja, Mah. Nesya sekalian nunggu Dehan."
"Nunggu Dehan? Baiklah, Nak. Tapi, Nes,..."
"Tapi apa, Mah?"
"Itu,..masa kamu manggil suami kamu pakai nama. Gak boleh loh, Nes." segelintir canda dituangkan oleh Mama Dehan.
Kabut tak karuan seketika mencuati wajah Nesya "B-benarkah, Mah? Jadi, Nesya harus memanggilnya dengan sebutan apa?"
"Eum,..Mama tau, panggil saja Dehan dengan sebutan Mas, dia menyukai panggilan itu."
"Mas?! Apa iya, Mah?!"
"Iya, Nes. Dehan dulu suka cerita sama Mama kalau dia ingin dipanggil Mas oleh pasangannya suatu saat nanti, dan sekarang sudah tiba waktunya. Lagian kan kamu juga satu tahun lebih muda darinya. Jadi tidak ada yang salah kan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Santri Idaman
Teen FictionKetika santri tampan berkelakuan angkuh dijodohkan dengan gadis lugu lulusan SMA yang dibesarkan di panti asuhan. Bagaimana kiri-kira akhir kisah pasangan suami istri ini? Akan kah tumbuh rasa di antara mereka, atau malah perceraian yang menyapa? St...