Episode 31

826 50 18
                                    

Pagi hari yang cerah, bersimilir embun sejuk yang menetes di ujung dedaunan. Kicauan burung turut menyertai. Sinar mentari menembus tajam celah pepohonan rindang.

"Aku kangen Nesya," terdengar lirihan Dehan yang sedang duduk muram di teras rumah ibu Nesya.

"APA?!" tiga orang sahabat Dehan menghambur ke hadapannya, Ali, Aziz, dan Fares.

Dehan tak menjawab, ia malah balas menatap malas ketiga sahabatnya itu.

Ini adalah hari pertama setelah hilangnya Nesya. Kini keluarga Dehan seluruhnya juga sudah berkumpul di kediaman ibu Nesya, panti asuhan. Semuanya panik dan khawatir, namun tidak tahu harus mencari kemana.

Sudah 24 jam. Setalah dipikir matang-matang, pihak keluarga memutuskan untuk melaporkan kasus hilangnya Nesya ke kantor polisi siang ini juga.

"Sekarang baru kerasa kan Han kalau istri kamu itu orangnya baik banget. Semoga Nesya baik-baik aja, gak adil kalau orang sebaik dia sampai dilukai siapa pun itu," ucap Ali kemudian, bersamaan dengan ia yang menepuk punggung Dehan, bermaksud menenangkan.

"Dulu jahatnya minta ampun, sekarang kangen juga kan kamu," timpal Aziz dengan entengnya menyerocos.

Pletak.., Fares menoyor kepala Aziz.

"Dasar bodoh! Lihat situasi kalau mau ngomong," bisik Fares teramat geram.

Bukannya merasa bersalah atau apa, Aziz malah menyengirkan barisan gigi rapinya, "Ya, kan emang benar."

"Iya, aku emang jahat, aku bodoh, aku gak pantas ada di hidup Nesya. Selama ini aku cuma anggap dia sebelah mata. Padahal ga peduli seberapa buruk sifat aku ke dia, tetap aja dia bisa senyum ngadepin kelakuan aku," tiba-tiba Dehan menyahut dengan suaranya yang bahkan bergetar menahan tangis.

Alhasil, ketiga sahabatnya saling menatap kaget. Tak menyangka jika Dehan ternyata seserius itu dengan kalimatnya barusan yang mengatakan merindukan istrinya.

"Kalian boleh mengatai aku suami paling bodoh sedunia, aku gak peduli. Yang aku butuh sekarang cuma satu, Nesya balik lagi. Aku pengen nebus semua sikap kurang ajar aku ke dia selama ini,"

Yang benar saja, Dehan tiba-tiba menangis di hadapan ketiga sahabatnya. Ia sudah tidak perduli lagi dengan semua keangkuhannya selama ini. Yang ada di pikirannya sekarang hanyalah istrinya. Iya, istrinya yang sebenarnya sudah cukup lama ia sukai, hanya saja ia gengsi mengakui perasaannya sendiri.

"Bagaimana kalau Nesya gak balik lagi?" bisa-bisanya Ali mempertaruhkan pertanyaan semacam itu di hadapan Dehan yang jelas-jelas sedang terluka.

Tatapan Dehan menyorot tajam ke arah Ali, tangannya mengepal kuat, matanya memerah, "Aku bisa cari sendiri, sekali pun ke ujung dunia."

***

Lalu di tempat lain, ada Tante Nesya yang tengah duduk di teras rumah. Ditemani secangkir teh berwadah megah. Netranya bergantian memandangi bunga warna-warni yang tumbuh subur di halaman rumah.

"Bu Alna," tiba-tiba seorang pria tegap dengan pakaian serba hitam datang menghadap Alna, Tante Nesya.

"Ada apa?" balas Tante Nesya tanpa melirik sedikit pun.

"Ini soal Nona Nesya, apa tugas berikutnya yang bisa saya lakukan?" ucap si pria tadi, yang merupakan supir sekaligus orang kepercayaan Tante Nesya.

"Tetap di rencana awal, saya akan bawa Nesya ke Luar Negeri. Namun sebelum itu, saya harus memastikan satu hal dulu."

"Apa yang harus saya lakukan?" tangkis si pria tadi seolah sudah profesional dengan percakapan semacam ini.

"Pastikan Nesya dalam kondisi baik. Kamu tau kan Nesya sempat sekamar dengan suaminya selama beberapa bulan ini. Paham maksud saya?"

"Paham Bu. Saya akan cari cara untuk memastikan keadaan Nona Nesya apa sedang mengandung atau tidak."

"Bagus, silahkan pikirkan caranya mulai sekarang.

Setelahnya, si pria itu lekas berlalu. Alna bangun dari tempat duduknya, berencana menghampiri Nesya ke kamarnya untuk mengajaknya jalan-jalan hari ini.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 26, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bukan Santri IdamanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang