Episode 22

774 79 7
                                    

Setelah melihat nama ustadz Ilham terpampang di layar hp Nesya, Dehan tidak berbuat apa-apa, ia bahkan membiarkan telepon itu berbunyi terus tanpa ada niatan mengangkatnya sedikitpun.

Kemudian dengan pikiran yang penuh kecamuk, ia lekas turun ke bawah untuk sarapan. Karena ia pun harus segera berangkat ke ponpesnya.

Sesampainya di dapur, ia mendapati Nesya yang sedang menuang air putih ke dalam gelas. Selebihnya, banyak menu makanan yang sudah tersedia di meja makan tersebut.

Nesya belum menyadari keberadaan Dehan, ia tetap asik dengan pekerjaannya. Hm, wajahnya begitu cerah di pagi ini. Suasana hatinya juga terlihat begitu riang, bahkan piring-piring di hadapannya ia senyumi.

Dehan yang medapati hal itu nampak tersenyum tipis sekilas. Lalu berjalan menghampiri Nesya. Entah kenapa sedari tadi malam hubungan mereka terlihat samar-samar manis. Apa di antara keduanya akan sepakat untuk meluluhkan hati masing-masing?

"Ekhem ...,"

Celetuk Dehan yang kini sudah berada di hadapan Nesya.

Nesya sontak menoleh dengan perasaan sedikit terkejut, "Eh, Dehan. Se-sejak kapan kamu berdiri di situ?"

"Hm, baru aja."

"Mana sarapannya, aku harus segera berangkat," sambung Dehan, tak ingin membahas apapun dulu. Termasuk soal ustadz Ilham tadi.

"Eh, iya. Ini udah aku siapin," segera Nesya menyodorkan makanan itu ke hadapan Dehan.

....

10 menit berikutnya, Dehan sudah menyelesaikan sarapan itu. Dan sekarang waktunya ia berangkat.

"Aku pamit ya,"

Ini kali pertamanya ia mengucapkan kalimat izin itu kepada istrinya.

Degg ...., Serr

Dalam hati Nesya menjalar suatu perasaan luar biasa, perasaan yang tak bisa diungkap dengan kata-kata. Dalam pikirnya, ternyata sebahagia ini rasanya dihargai.

"I-Iya, hati-hati," jawabnya kemudian dengan raut wajah tak karuan.

Segera setelah itu, Dehan lekas beranjak dari ruang makan. Namun belum sampat berjalan 3 langkah, ia berbalik lagi menatap Nesya ke arah belakang.

"Eh, Nes," ucapnya entah kenapa.

Jelas Nesya mengernyit keheranan, "Iya, kenapa Han? Ada yang ketinggalan?"

"Bukan, nanti kamu siap-siap ya. Aku jemput sekitar jam 2."

"Hah?" tampak Nesya semakin bingung. Dia lupa atau bagaimana?

"Tuhkan, aku kan mau potong rambut."

"Po-potong rambut? Ka-kamu serius soal hal itu?"

"Lah, kan kamu sendiri yang bilang kalau udah kepanjang."

"I-Iya, maksud aku, kamu serius mau ngajak aku? Aku kira cuma obrolan angin lalu."

"Udah, pokoknya jam 2 udah mesti siap. Aku kasih tau, aku tipe orang yang gak suka dibuat nunggu."

Setelah mengucapkan kata itu, Dehan langsung berjalan kembali tanpa menunggu Nesya mengeluarkan pendapatnya. Dan Nesya pun hanya bisa pasrah melihat suaminya yang semakin hilang di pandangan. Dalam benaknya, mau berkomentar pun tak sempat.

***

Pukul 8 pagi sekarang, terlihat Dehan yang baru berjalan dari parkiran motor, baru sampai rupanya.

"Dehannnn!"

Belum apa-apa, sudah ada segerombolan teriakan heboh dari belakang sana. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Ali, Aziz, dan Fares.

Bukan Santri IdamanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang