Episode 15

731 76 9
                                    

Masih dengan suasana rumah sakit. Ali berlari menyusul Nesya yang berjalan begitu cepat, namun Nesya sedikit pun tak menghiraukannya.

"Alll....," tiba-tiba Fares dan Aziz sudah berada di belakang Ali. Entah kapan mereka menyusul Ali yang berlari.

Ali menoleh terkejut bercampur gusar, "Eh, kalian kenapa nyusul!"

"Lah, emang kenapa? Males tau di ruangan itu," jawab keduanya kompak.

"Udah ... Udah, kalian jagain Dehan dulu sana, bentar lagi aku datang. Kasihan Nesya sendirian gitu."

"Kami ikut aja kenapa, Al?!"

"Gak bisa, kalian harus jagain Dehan dari Nenek sihir itu."

"Hah?!" Aziz dan Fares sontak saling melempar pandang. Aneh saja bagi mereka seorang Karina dikatai Nenek Sihir oleh Ali. Padahal wanita itu bisa dibilang idaman para Akhi Ponpes Al-Huda.

"Udah, sana kalian. Aku mau nyusul Nesya duluuuu," lanjut Ali bersamaan dengan ia yang sudah berlari lagi.

Tak ada pilihan lain, Aziz dan Fares pun harus kembali ke dalam ruang rawat Dehan. Menonton drama dua Penghianat.

"Ness....hhh," akhirnya Ali bisa menyamai langkah Nesya, walaupun dengan napas tersengal hebat.

"Eh, Ali!" reaksi Nesya malah terkejut. Seakan ia tak menyadari semuanya, Ali yang sudah setengah mati mengejarnya sedari tadi. Apa iya dia memang tidak menyadarinya?

"Ya ampun, Nes. Aku panggil-panggil loh dari tadi, dikit pun gak nyahut."

"Hah?! Apa iya, Al?"

"Iya, loh. Aku kira kamu marah atau apa gitu."

"Eh, enggak. Pikiran aku emang agak kemana-mana tadi larinya, makanya mungkin sampai gak sadar kamu panggil."

"Hm, wajar sih Nes pikiran kamu lari kemana-mana," Ali malah membatin prihatin.

"Eh, ini kamu mau kemana Nes?" sambungnya berusaha menyembunyikan rasa prihatinnya.

Nesya tampak melebar senyum manisnya, "Mau cari makan, aku belum makan dari pagi tadi," ucapnya  terdengar baik-baik saja, seakan tidak terjadi masalah apa-apa terhadapnya.

"Nes ... Nes, kenapa wanita setulus kamu harus dipertemuin sama bajingan model Dehan," lagi-lagi Ali larut membatin.

"Oh, mau cari makan ya Nes. Boleh ikut gak? Soalnya aku juga belum makan dari pagi tadi," sambung Ali yang sebenarnya berbohong, dia sudah makan lahap di pagi tadi.

"Boleh dong, ayo cari makan samaan."

"Aku tau tempat makan enak sekitaran sini, Nes," ucap Ali menambah-nambah topik.

Namun Nesya nampak tak tertarik mendengarnya, "Kita makan di kantin rumah sakit ini aja gak sih, Al. Soalnya kan gak enak ninggalin Dehan yang lagi sakit gitu."

"HAH!? DEHAN!? YA AMPUN NESYAAA!!" geram Ali dalam hatinya, tak tahu lagi harus bereaksi apa atas sikap Nesya. Tapi tak mungkin dia terang-terangan menunjukkan kegeramannya itu.

"Oh, y-yaudah kalau gitu. Boleh deh kita makan di kantin aja," tanggap Ali kemudian, sampai ia tergugup saking menahan gusarnya.

Akhirnya mereka berdua pun berjalan bersama menuju kantin rumah sakit.

Setelah sampai disana, Ali memilih duduk di meja yang sedikit menyudut, agar berasa lebih nyaman tentunya. Dan Nesya mengikut saja apa mau Ali.

"Mau makan apa, Nes?" lanjut tanya Ali.

Nesya tampak sedikit kebingungan, "Eum, aku kurang tau menu kantin rumah sakit begini. Samain aja sama kamu Al,"

"Dikit sih menunya Nes, palingan adanya cuma ayam goreng, sayur bobor, perkedel, soto ayam, sama bubur ayam," jelas Ali dengan fasih.

"Kalau gitu, aku pesan yang soto ayam aja, Al."

"Okey, aku pesanin bentar ya," Ali langsung menghampiri Mba-Mba penjaga kantin.

Tak berapa lama, ia pun menghampiri Nesya kembali. Tinggal menunggu pesanan mereka diantar ke meja.

"Nes," Panggil Ali tiba-tiba dengan raut wajah yang begitu serius.

Nesya menatap dengan senyumnya yang tak pernah ketinggalan, "Eh iya, kenapa Al?"

"Kamu gak capek, Nes?" lirih Ali, bersamaan dengan matanya yang ikut berkaca-kaca.

Pura-pura tak tahu atau memang sengaja enggan membahasnya "Capek apasih maksudnya, Al?" ucap Nesya dengan raut wajah tak menentu.

Kali ini Ali sungguh tak tahan lagi dengan isi hatinya, "Kamu gak usah pura-pura bodoh gitu kenapa Nes! Gadis tulus sekecil kamu mana boleh terus-terusan sok kuat. Ngeluh aja kalau emang kamu gak sanggup lagi. Kamu gak  sendiri Nes, ada aku. Aku gak bakal biarin kamu sendirian!"

Sontak, Nesya tercengang ulah lontaran Ali. Sungguh, ia tak menyangka jika Ali sebegitu memperhatikannya ternyata. Yang dikiranya selama ini Ali hanya bercanda saja di awal-awal kemarin.

"Kamu kenapa sih, Al. Benaran loh aku gak kenapa-napa," tanggap Nesya  kemudian, tetap bersikeras menutupi sakit hatinya.

"Gak usah bohong, aku bisa lihat dari mata kamu."

Melihat reaksi Ali, tampak Nesya yang menghela napas berat, "Apanya yang perlu dipikirin sih Al, dari awal kan emang udah jelas kalau Dehan sama sekali gak suka sama aku, dan gak bakal pernah suka. Jadi gak ada yang perlu aku harapin dari dia maupun dari pernikahan kami, terserah dia mau dekat sama siapa. Aku sama sekali gak ada hak buat larang-larang dia, karena apa? Karena dia gak pernah ngakuin aku sebagai istrinya, karena dia cuma anggap aku sampah dalam hidupnya. Jadi buat apa aku capek-capek mikirin semua itu, aku gak mau sakit cuma karena orang seperti dia. Lagian aku juga cuma nunggu moment yang tepat buat ngakhiri pernikahan ini."

Kini giliran Ali yang tercengang ulah lontaran Nesya, sungguh ia tak menyangka jika wanita setenang Nesya menyimpan pikiran sekeras itu. Ternyata Nesya tidaklah selemah yang ia pikirkan selama ini.

"Kamu benar, Nes. Intinya kamu gak sendiri, kamu punya aku. Aku bakal dukung kamu dalam situasi apapun, termasuk ngelepasin kamu dari Dehan. Aku bukan mau nusuk dia dari belakang, tapi emang kelakuan dia kayak setan."

Nesya hanya menanggapi dengan senyum damainya, "Makasih," ucapnya singkat namun terdengar tulus.

"Silahkan, Mas, Mba," ternyata pelayan kantin sudah berdiri di hadapan mereka mengantarkan pesanan tadi.

"Makasih, Mba," ucap keduanya sopan. Kemudian pelayan itu pun berlalu.

"Eh, Nes. Nanti kapan-kapan kamu ikut main ya ke rum....,"

Taph...,

"Aduh!"

Tangan Dehan tak sengaja menyenggol soto ayam panas milik Nesya, sehingga mengenai tangannya sendiri.

"Eh, ya ampun Ali!" tentu saja Nesya jadi panik.

Srep....,

Tanpa pikir panjang, ia langsung meraih tangan Ali. Lalu merendamnya ke wadah pencuci tangan yang kebetulan disediakan di meja itu.

"Shhh...Awww," lirih Ali yang merasa perih di tangannya.

"Tenang ya Al, kalau udah direndam gini gak bakalan melepuh lagi Insyaa Allah,"

"Nanti air panas yang masuk ke dalam kulit kamu tadi bakal dilawan sama air rendaman yang dingin ini, makanya gak terjadi pelepuhan," lanjut Nesya terdengar begitu menenangkan.

Ali pun jadi senyum-senyum sendiri melihat Nesya yang asik mengkhawatirkan tangannya, sampai-sampai ia tak sadar jika yang memegangnya itu bukan mahramnya. Andai hanya sekedarnya saja tidak apa-apa, kan karena situasi darurat. Tapi ini Ali sudah mulai memasang senyum tak karuan.

Vote dan Komen, ya!

Bukan Santri IdamanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang