Episode 7

842 84 7
                                    

Pagi hari sekitar jam 7, disambut hangatnya terik mentari. Ada Nesya yang tampak sibuk menata makanan di meja makan, sedangkan di belaknganya ada Dehan yang berdiri sempoyongan, baru bangun tidur sepertinya. Sudah hampir 1 menit ia berdiri disitu, nampaknya Nesya sama sekali tak menyadarinya.

"Ekhem," akhirnya Dehan menyapa. Merasa kesal atau mungkin minta diperhatikan, entahlah.

Nesya tampak setengah kaget mendengar deheman itu, rupanya benar jika ia tidak menyadari keberadaan suaminya dari tadi. Buru-buru ia membalik badan, menghadap suaminya yang berdiri di belakangnya.

"Eh, u-udah bangun ya," sapanya terlihat gugup.

Bukannya menjawab sapaan istrinya, Dehan malah memutar malas bola matanya.

Nesya tak ambil pusing, lagian ini bukan kali pertamnya dia diperlakukan seperti itu.

"Aku udah siapin makanan, tapi aku gak tau apa ini sesuai sama selera kamu atau enggak, aku cuma masak apa yang ada di kulkas. Selamat makan," ucapnya kemudian, dan tanpa basa-basi langsung berjalan menjauh dari ruang makan itu.

Sedikit terlihat cuek memang, dan nampaknya Dehan juga terperanjat melihat sikap istrinya barusan. Yang ia tahu istrinya adalah seorang wanita lemah, serta mengalah atas semua perlakuan semena-menanya. Kebetulan apa bagaimana? Atau memang Nesya mulai berani menunjukkan sisi lainnya yang sebenarnya murka dengan sikap tak pantas Dehan terhadap dirinya?

"Mau kemana?"

Taph...,

Langkah Nesya tersentak saat kalimat itu lolos dari mulut Dehan. Kasihan, sebegitu inginnya ternyata ia diperhatikan suaminya.

Dengan segera ia menoleh ke sumber suara, diselimuti gejolak perasaan yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata, "Nanya s-saya?"

"Yaiyalah, nanya siapa lagi coba!"

"B-biasanya kan gak pernah tanya, makanya jadi heran gin....,"

"Ah, berisik! Mau kemana emang?"

"Gak kemana-mana, mau nyiram bunga yang ada di depan aja."

"Oh, yaudah sana," ucap Dehan ketus kembali. Entah bagaimna sebenarnya cara menghadapi manusia satu ini, moodnya berubah setiap detik.

Tak berniat menjawab apa-apa, Nesya lekas berjalan menuju halaman rumah. Sedangkan Dehan lanjut menghampiri meja makan.

Selang beberapa menit, Nesya sudah berdiri di halaman rumah, disuguhi pemandangan bunga-bunga layu. Tentu saja layu karena tidak ada yang mengurusnya selama ini.

"Ya ampun kasian sekali, yang sabar ya bunga-bunga cantik, bentar lagi kalian bakal aku berikan makan," Nesya malah asik bicara sendirian, seolah bunga-bunga itu paham perkataanya.

"Sekarang kalian aku bersihkan dulu ya dari rumput-rumpu jahat ini, habis itu baru deh kalian minum," sambungnya lagi malah semakin asik.

Tak berapa lama, bunga-bunga itu memang tampak sedikit segar kembali karena rumput-rumput di sekitarnya yang sudah disingkirkan.

"Sekarang waktunya kalian minum," sambung Nesya bersamaan dengan selang penyiram tanaman yang ada di tangannya.

"Widihh, rajinnya Bu Nesya,"

Suara Ali tiba-tiba menyapa riang, dan sekarang ia sudah berdiri dengan senyum lebar di hadapan Nesya. Lengkap dengan kameja putih dan sarung abu-abu, serta peci putih polosnya. Sepertinya ia bolos dari pesantren.

"Eh Ali, bikin kaget aja pagi-pagi," sambut Nesya dengan wajah yang juga terlihat riang seketika.

"Hehe, iya Nes. Gak tau nih, tiba-tiba pengen lihat wajah kamu pagi-pagi gini," cerocos Ali enteng saja, sembari menggaruk kepalanya yang tak gatal.

Bukan Santri IdamanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang