Episode 13

738 94 9
                                    

Dehan dan Nesya akhirnya sampai di rumah setelah pulang dari tempat penjual sate. Nesya masuk duluan ke dalam rumah, sedangkan Dehan masih memarkir motornya ke garasi.

Tanpa bersih-bersih ini itu lagi, Nesya langsung merebahkan tubuhnya di sofa ruang tengah. Matanya terasa begitu berat, karena tadi pun ia memang sudah tertidur awalnya, hanya saja Dehan datang menggangunya.

Taph...,

Tiba-tiba Dehan melintas, namun mundur lagi dan berhenti tepat di sebelah Nesya.

Nesya yang masih sadar buru-buru bangun dari posisi tidurnya, "B-butuh sesuatu?" tanyanya ke Dehan yang berdiri mematung di sebelahnya.

Dehan tampak berpikir dahulu, hingga ia menjawab dengan ragu, "Eum, kamu mau tidur di sini?" ia malah melontarkan pertanyaan aneh, padahal sudah jelas-jelas jika di situ memang tempat tidur Nesya ulah keegoisannya yang ingin menguasai ruang kamar sendiri.

Tentu saja Nesya heran mendengar pertanyaan macam apa itu, dan pikirannya tetap dangkal saja menanggapinya, "Iya, aku kan emang tidur di sini," jawabnya apa adanya.

Dehan lalu menganggukan kepalanya tanda paham, "Oh, yaudah," ucapnya singkat, kemudian lanjut berjalan ke kamar. Benar-benar tidak jelas anak itu. Apa jangan-jangan itu kode untuk mengajak Nesya tidur bersama di kamar? Hanya saja gengsinya terlalu menjulang hingga ia menghentikan obrolan sampai di situ? Entahlah, yang jelas Dehan benar-benar tidak bisa ditebak.

Setelah Dehan berlalu, Nesya langsung rebahan kembali dengan senyum samar di wajahnya.

"Ya Allah, semoga ini jawaban atas doa-doa hamba. Sekiranya dia tidak bisa mencintai hamba juga tidak apa-apa, asal dia tidak bersikap semena-mena saja ya Allah," ucap Nesya dalam hatinya, kemudian turut memejamkan matanya.

***

Sementara di tempat lain, terlihat pasangan suami istri yang sedang duduk santai di ruang tengah megah, berteman majalah dan secangkir kopi. Ya, itu adalah orang tua Dehan.

"Pah, Papa setuju gak kalau semisal Mama menyekolahkan Nesya lagi di Pesantrennya Dehan? Soalnya Mama kasihan sekali lihat menantu kita itu. Otaknya yang sebegitu pintar masa dibiarkan gitu aja," celetuk Mama Dehan dengan wajah yang begitu serius.

Papa Dehan yang tadinya masih menikmati kopi, kini langsung fokus menatap istrinya yang baru selesai berbicara, "Emang bisa, Mah?"

"Bisa dong, Pah. Kan Nesya punya ijazah SMA, jadi nanti dia langsung lanjut bangku kuliahnya aja. Kayak Dehan kan sekarang di Ponpesnya bentar lagi bakal masuk semester dua di bangku kuliah, nah nanti Nesya bakal mulai dari semester satu di Ponpes itu juga. Yah, menurut Mama gak masalah sih walau telat satu semester, lagiankan umur Nesya juga lebih muda dari Dehan."

"Eum, Papa sama sekali gak masalah  kalau memang sistemnya bisa begitu. Dan soal biaya, Insyaa Allah gak akan memberatkan sedikitpun. Lagian sampai kapanpun hutang budi kita terhadap orang tua Nesya gak bakal bisa terbalas."

"Benar, Pah. Mama juga masih ingat banget dulu bagaimana Almarhum Papa Nesya mati-matian membantu perusahaan Papa biar gak bangkrut."

Seketika tampak senyum haru menghias di wajah Papa Dehan, "Sanjaya adalah teman tertulus yang pernah ada dalam hidupKu," ucapnya kemudian dengan mata yang sudah berkaca-kaca.

"Benar, Pah. Maka sebisanya kita harus membahagiakan putri tunggal mereka, biar mereka juga merasa tenang di atas sana."

"Iya, Mama lakukan saja apa yang terbaik buat Nesya. Perlakukan dia layaknya putri kandung kita. Kalau bukan karna Papanya, mungkin kita bukan apa-apa sekarang ini."

Bukan Santri IdamanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang