Episode 4

1K 102 27
                                    

Allahu Akhbar

Allahu Akhbar

Gema merdu Adzan subuh dari berbagai sudut kota Bogor di jam setengah lima.

"Hoamh,"

Terlihat seorang wanita cantik yang terduduk sempoyongan di sofa ruang tengah, tangannya ia regangkan ke atas, uapan di mulutnya turut mengiringi. Itu Nesya, baru bangun tidur ternyata.

"Dia udah bangun belum ya?" gumamnya sendirian, memaksudkan Dehan, suaminya.

"Pengen bangunin, tapi takut dia marah."

"Yaudahlah, dia kan anak pesantren, pasti bakalan langsung terbangun dengar suara Adzan."

Setelah selesai dengan gumamannya, Nesya mengangkat bokongnya dari sofa, lalu melangkahkan kakinya entah mau menuju kemana, ke kamar mandi mungkin ya.

"Eh, tunggu!"

Nesya tersentak, mencegat langkahnya sendiri.

"Aduh, pakaian aku kan ada di koper semua, terus koper itu ada di dalam kamar. Duh! Gimana ini?!"

"Mukenah aku juga ada di situ, gimana mau sholat kalau gini ceritanya!"

"Hm, gak ada pilihan lain, mau gak mau aku harus membangunkan Dehan."

Setelah berdamai dengan pikirannya, Nesya pun memulai ayunan langkahnya menghampiri Dehan ke kamar. Jelas ia sadar jika Dehan tidak menyukainya, juga jijik terhadapnya, sehingga itu yang membuatnya takut berbicara dengannya.

Tok tok tok

Ia mengetuk perlahan pintu kamar Dehan yang sebenarnya adalah kamar mereka berdua.

Ketukan pertama, ia sama sekali tidak mendapat respon.

Tok tok tok

Ia mencoba mengetuk pintu kamar itu lagi.

Sama saja, cicitan angin pun bahkan tak terdengar sebagai responnya.

"Ya Allah," lirih Nesya prustasi.

Tok tok tok

Untuk kesekian ia mengetuk pintu kamar.

"Apa boleh dibuka sebentar pintunya? Aku mau ngambil mukenah," ucap Nesya dari balik pintu, benar-benar berharap penuh jika Dehan mau membukanya.

Nihil, sama sekali tak ada yang bersahut dari dalam. Pupus sudah harapan Nesya akan mukenahnya itu.

"Yaudahlah, semoga ada masjid terdekat, Ya Allah"

Terdengar lirihan Nesya, bersamaan dengan langkah kakinya yang mengayun layu. Hm, bagaimana tidak layu jika ia baru pertama kali tinggal di daerah ini, sehingga bagaimana mungkin ia bisa mengetahui letak masjid dimananya nanti, ditambah lagi keadaan di luar masih gelap. Tapi apa boleh buat.

Setengah jam waktu berjalan, barulah Nesya menemukan masjid terdekat, ada di sebelah utara seberang jalan apartemen mereka.

Setelah menemukan masjid itu, seutas senyum syukur langsung memancar di wajahnya. Buru-buru ia memasuki masjid dengan keringat yang sudah bercucuran di dahi.

Sementara dengan Dehan, ia juga baru bangun rupanya. Matanya kian membulat saat melihat pampangan angka jam di layar handphondnya.

"Sial!" gerutunya sendirian, seraya berlari secepat kilat ke kamar mandi.

***

Sudah terlewatkan hampir satu setengah jam, dan jarum pendek menunjuk di pukul setengah tujuh, serta terik mentari sudah menyapa cerah di cakrawala timur sana. Barulah Nesa kembali lagi ke apartemen mereka, dengan keadaan yang sudah sholat tentunya.

Bukan Santri IdamanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang