Chapter 22

1K 123 32
                                    

Setelah menikmati malam yang romantis di pantai, Hoshi dan Woozi kembali ke kamar hotel mereka. Suasana dalam kamar terasa hangat dan nyaman. Hoshi duduk di tepi tempat tidur, sementara Woozi bersandar pada dinding, matanya bersinar penuh rasa ingin tahu.

"Woozi... Aku ingin bercerita tentang masa kecilku." Hoshi memulai.

Woozi menatapnya dengan penuh perhatian, "Aku sangat ingin mendengarnya. Aku juga punya banyak cerita, tapi aku ingin mendengar milikmu lebih dulu." katanya.

Hoshi menghela napas dan tampak sedikit ragu, "Masa kecilku... cukup rumit. Aku dibesarkan di lingkungan yang keras. Ayahku selalu sangat ambisius, dia ingin aku menjadi yang terbaik dalam segala hal." katanya

Hoshi mengingat kembali masa-masa itu, "Tapi aku sering merasa tertekan. Ada saat-saat aku merasa gak pernah cukup baik untuknya." imbuhnya.

Woozi merasakan kepedihan dalam suara Hoshi, "Apa yang dia inginkan darimu?" tanyanya lembut.

"Dia ingin aku menjadi alpha yang kuat, tanpa kelemahan satu pun. Aku sering berlatih keras, sampai-sampai melupakan hal-hal kecil yang seharusnya menyenangkan. Namun, aku selalu merasa ada sesuatu yang hilang terutama saat ibuku sudah tiada." jawab Hoshi, dengan nada melankolis.

Woozi mengangguk dan merasakan koneksi yang lebih dalam, "Aku paham. Aku juga merasakan tekanan yang sama dari ayahku. Dia sering membandingkanku dengan anak-anak lain, dan itu membuatku merasa gak berharga." katanya.

Hoshi menoleh dan matanya penuh empati, "Kau gak sendirian, Woozi. Kita sama-sama berjuang untuk keluarga kita." katanya.

Woozi tersenyum tipis, "Betul. Lalu bagaimana dengan saat-saat bahagiamu? Apakah ada kenangan indah dari masa kecilmu?" katanya.

Hoshi berpikir sejenak, "Ada. Aku ingat saat aku pertama kali menemukan kebahagiaan di luar harapan orang tuaku. Aku menemukan musik. Suatu malam, saat aku bersembunyi di loteng, aku menemukan gitar tua. Suara yang keluar dari alat itu membuatku merasa hidup. Itu menjadi pelarianku dari semua tekanan." katanya.

"Kau juga bisa bermain gitar? Sama seperti diriku." Woozi bertanya dengan mata berbinar.

"Sedikit. Aku gak terlalu mahir sepertimu, tapi itu adalah cara untuk mengekspresikan diriku. Musik memberiku kebebasan." Hoshi menjelaskan, wajahnya mulai cerah.

"Menarik sekali! Aku juga memiliki cinta tersendiri untuk musik. Waktu kecil, ibuku selalu mengajakku bernyanyi bersama. Ibu selalu bilang bahwa suara kita adalah cara untuk berbagi perasaan." Woozi merasakan air mata di pelupuk matanya, mengenang momen-momen indah bersama ibunya.

Hoshi melihat perubahan di wajah Woozi, "Apa kau rindu ibumu?" tanyanya lembut.

"Ya... Ibuku pergi terlalu cepat, dan banyak yang ingin kutanyakan padanya. Ibuku selalu menjadi penyemangat hidupku." Woozi menjawab, suaranya pelan.

Hoshi meraih tangan Woozi dan menggenggamnya erat, "Aku ada di sini untukmu, Woozi. Kau gak sendirian lagi sekarang." katanya.

"Terima kasih, Hoshi. Itu berarti banyak bagiku." Woozi mengucapkan sambil tersenyum, merasakan kehangatan dari genggaman tangan Hoshi.

"Bagaimana denganmu? Apa kenangan terindahmu di masa kecil?" Hoshi melanjutkan, ingin mengalihkan perhatian dari kesedihan yang melanda.

Woozi terdiam sejenak dan mencoba mengingatnya, "Salah satu kenangan terindahku adalah saat kami pergi berlibur ke pantai. Ibu mengajakku bermain pasir dan membuat istana. Kami tertawa bersama, dan aku merasa sangat bahagia saat itu." katanya.

"Pasti menyenangkan. Aku berharap bisa melihatmu tersenyum setiap saat." kata Hoshi, menyimak dengan penuh perhatian.

Woozi tersipu, "Mungkin kita bisa menciptakan kenangan baru bersama." katanya.

Hoshi tersenyum lebar, "Tentu saja. Kita bisa berpetualang, bermain musik, atau apa pun yang kau mau." katanya.

Malam itu dengan cerita dan tawa yang mengisi udara, Hoshi dan Woozi merasa hubungan mereka semakin lebih dekat lagi.

Mereka membagikan impian, ketakutan, dan harapan masing-masing untuk menyusun jalinan hubungan yang lebih kuat dari sebelumnya, dan bersumpah untuk selalu saling mendukung, apapun yang terjadi di masa depan.

"Sekali lagi, maafkan aku atas hukuman yang kuberikan padamu. Aku gak pernah mengenal cinta sebelumnya. Kupikir jikalau aku membelenggumu dengan penjara yang kubuat, mungkin kau gak akan pernah pergi. Aku benar-benar mencintaimu." bisik Hoshi dengan pelan.

Sial, perkataan itu seperti bawang yang dilemparkan ke mata Woozi. Woozi pun langsung memeluk Hoshi dengan erat. Tak lama Woozi pun menumpahkan air matanya di dada Hoshi.

"Aku juga minta maaf, Hoshi. Aku juga ingin mencintaimu tanpa memperdulikan seluruh celah yang kau miliki, karena kita akan saling melengkapi. Selongsong kosong dalam rongga jiwaku dan jiwamu akan bersenyawa, bukan? Kita akan membuat kehidupan di atas pelangi kita sendiri, tanpa ada friksi pemisah di antara kita." kata Woozi, membuat Hoshi cukup tertegun sambil mengeratkan pelukannya.

Setelah berpelukan cukup lama, Hoshi pun melepaskan pelukannya dan menatap Woozi.

Setelah berbagi cerita, suasana di kamar hotel semakin hangat. Hoshi menatap Woozi dengan intens, merasakan ketegangan yang tak tertahankan di antara mereka.

"Aku ingin lebih dari sekadar bercerita, Woozi." kata Hoshi, suaranya rendah dan menggoda.

Woozi membalas tatapan Hoshi dan merasakan denyut jantungnya berdegup lebih cepat, "Apa maksudmu?" tanya Woozi, suaranya bergetar, antara rasa ingin tahu dan kegembiraan.

Hoshi mendekat dan jaraknya kini hanya beberapa inci, "Aku ingin merasakan kehadiranmu lebih dekat lagi." katanya.

Perlahan, Hoshi mencium bibir Woozi, lembut namun penuh gairah. Ciuman itu tumbuh semakin dalam, membuat keduanya terbuai dalam kehangatan satu sama lain.

Woozi merasakan lidah Hoshi menyelinap ke dalam mulutnya, dan dia membalas dengan gairah yang sama. Tangan Hoshi mulai menjelajah, menyentuh wajah Woozi dengan lembut sebelum menurun ke lehernya, merangsang seluruh tubuh Woozi.

"Mmmhhh......" Woozi mendesah di tengah ciuman, menginginkan lebih dan lebih dari sekadar ciuman manis ini.

Hoshi merespons, semakin agresif, menggenggam pinggang Woozi dan menariknya lebih dekat

."Biarkan aku menunjukkan seberapa banyak aku menginginkanmu." Hoshi berbisik, sebelum melanjutkan dengan ciuman yang penuh semangat.

Woozi merasakan hasrat membara di dalam dirinya. Dia membalas setiap gerakan Hoshi, jari-jarinya menyusup ke rambut Hoshi, menariknya lebih dalam ke pelukan. Dalam kehangatan dan kegelapan malam, mereka melupakan semua yang ada di luar.

"Ini... ini terasa sangat nikmat." bisik Woozi, ketika Hoshi menjelajahi tubuhnya dengan sentuhan penuh gairah.

Setiap ciuman dan sentuhan Hoshi membuat Woozi merasa lebih hidup, seolah semua rasa sakit dan ketidakpastian menguap, meninggalkan hanya kebahagiaan dan gairah.

Hoshi tidak ingin menyia-nyiakan momen ini. Dia berusaha untuk menciptakan pengalaman yang tak terlupakan bagi Woozi, dengan setiap sentuhan dan ciuman yang menggairahkan.

Woozi merasa lelah dan dalam waktu yang sama sangat bersemangat. Dia ingin merasakan semua dari Hoshi, menginginkan pengakuan cinta mereka dalam cara yang lebih mendalam.

Mereka berdua terjebak dalam keintiman, melupakan semua masalah, hanya ada mereka dan keinginan yang membara. Keduanya hanyut dalam gelombang perasaan, bersatu dalam keindahan malam itu.

To be continued...
Jangan lupa komen dan vote-nya

SEVENTEEN : Code Three | SoonHoon ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang