13. Cakra posesif

38 4 0
                                    

Halloo...

Hm, bisa dimulai.

Jan lupa kalau typo bisa komen!

Happy Reading

***

Remaja laki-laki itu kini sedang ada di kantin sekolah, ia malas buat ketemu dengan teman-temannya yang lagi mengerubungi anak-anak perempuan sedang mewawancarai mereka.

Laki-laki itu Vino, dirinya tak siap jika berada di lingkungan perempuan dan perempuan yang bikin dirinya tidak mampu untuk menahan emosinya.

Pernah ada perempuan yang memegang tangannya pada saat itu, eh malah Vino keburu emosi sebab perempuan itu tidak berburu pergi dan Vino melemparkan gelas ke arah wajah perempuan itu, tak tanggung-tanggung Vino menginjak kepala dan wajah perempuan itu.

Memang tidak ada perempuan di kala itu, hanya teman-temannya dari pihak perempuan yang sekarang entah di mana keadaan bakal ditelan bumi.

Secara sepihak keputusan sekolah tidak pernah diganggu gugat, Vino diskor selama satu minggu kurang lebih.

Vino, dirinya sekarang termenung sambil memegang segelas kopi yang masih mengeluhkan asapnya. Ia pegang seluruh permukaan gelas dan mengeratkan di telapak tangannya.

“Lo bisa rebut papah gue, tapi ya seenaknya lu lukain perasaan gue. Jangan bilang lu cari muka ke gue,” desisnya. Mata tajamnya menjuru di seluruh kantin, melihat itu anak-anak remaja yang masih di kantin tidak jadi mampir dan memilih untuk keluar.

Vino menyeruput kopinya, setelah benar-benar habis ia mengambil makanan yang sudah disiapkan oleh penjualnya. Ia membeli mie instan biasa dengan telor ceplok di atasnya, makanan favorit katanya.

Sampai nyetok mie buat di rumah, ia sembunyikan di dalam kamar agar tidak ketahuan oleh bundanya mungkin CCTV-nya akan menjelaskan di situ, tapi bundanya tak pernah mencurigainya.

Dengan begitu ia makan dan ada seorang perempuan yang menarik perhatiannya sekarang, gadis itu sendiri berasal di tengah teman-temannya dan suatu saat ia menyunggingkan senyumnya, ada seorang yang memegang pundaknya.

Remaja itu terengah-engah dengan napas yang ia hembuskan banyak, ia duduk di samping Vino untuk Vino risih sendiri. Ia menghela napas kasar dan ia pindah tempat.

Masih rada emosi, ia redakan dulu.

Baru menatap iris mata Vino secara langsung, Vino yang ditatap hampir menggebrak meja besi itu tapi dicegah oleh remaja laki-laki itu.

“Lo, jangan deket-deket gue! Virus tau!” sinis Vino suaranya dingin dan datar.

“Iya, oke. Gue mau bilang katanya yang menang timnya Deva dan kita hari ini nggak ada final dan mereka memutuskan begitu,” to the point remaja itu membuat Vino terkejut dan melototkan matanya. Tak mungkin jika mereka memutuskan begitu saja, masa iya timnya juga menang harus mengaku kalah.

Ah tak adil bagi timnya Vino, semua orang kini melangkah ke mejanya Vino berada dan Fikri ditekuk wajahnya. Vino menatap tajam, ia mengepalkan tangannya.

Tiba-tiba Vino menarik tangan Fikri yang baru saja tiba, matanya memerah dan seperti ini saja membuat mereka ketakutan. Fikri yang tak tahu apa-apa, mengikuti langkah Vino dengan langkah terseok-seok.

Mereka semua membuntuti Vino yang sedang marah itu, dengan raut wajah emosi dan sama seperti Vino yang ingin meledakkan kemarahannya dan melihat semua orang sudah berkumpul di lapangan itu dan Piala serta Piagam sudah ada di tangan Vino.

VINOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang