14. Kedua Sepupu Fikri

23 3 0
                                    

Laki-laki remaja berperawakan tinggi itu memasuki kawasan rumahnya yang elite bukan rumahnya melainkan bunga-bunga yang berjajar di depan rumahnya.

Iya, remaja itu Fikri yang sedang dilanda kesepian.

Berakhir memutuskan untuk pulang, rumahnya yang sederhana namun tetap saja ia memang anak yang bisa diturutin kemauannya sama orang tuanya.

Orang tuanya masih berada di luar negeri, kini ada abangnya yang di rumah.

Abang sepupunya yang tinggal di rumah ini, satu frekuensi dengan Fikri. Sama-sama bocah rada gila dengan kenakalannya di luar.

Fikri masuk ke dalam rumah, sama seperti halnya di rumah cuman ada satpam satu sama sopir satu, pembantu rumah dua dan pekerja kebun satu.

Memang agak pelit orang tuanya ini, paling anti halnya dengan orang-orang yang banyak di rumah.

Mengganggu ketenangannya katanya, Fikri sebenarnya juga tak mau jika kedua orang tuanya itu mengekang setiap pergerakannya.

Jadi, bebas mau ngapain aja.

Beda halnya dengan teman satunya itu, Fikri patut bersyukur saja.

Fikri berjalan menuju ke ruang keluarga, samar sekali dari suaranya ada suara perempuan. Aneh sekali, Fikri tetap tenang dan remaja itu tetap dengan gayanya yang nggak bisa dijelaskan lagi.

Dasi yang sebaiknya menggantung atau mencekik lehernya itu sudah ada di tangannya di gulung-gulung dan menali tasnya, alangkah buruknya sekarang keadaan Fikri dengan rambut acak-acak ‘an seperti gembel.

Dua perempuan yang ada di ruang keluarga, dan remaja itu seperti ketakutan sendiri. Dia mau ke kamar tapi tangga di rumah ada dihadapan dua orang itu yang sedang berbicara.

Harus kah Fikri menemui mereka, ia takut sekali diintrogasi. Apalagi dengan tatapan dua orang itu seperti mau menerkam mangsanya, Fikri nggak mau jadi bahan mereka.

Psikopet mereka itu.

Harus ditanda garis bawahi pokoknya, Fikri aja kalau ditanya mereka aja geter-geter suaranya dan harus berani menatap sama menjawab, mereka berpikir terjadi apa-apa sebelumnya.

Tak.

Suara itu ingin ia redamkan sejenak mendengarnya begitu kejam dunianya.

Fikri meringis pelan, ia di dalam hati mengumpat dan kalau terdengar mereka ya mungkin ia tak pernah lagi akan berbicara normal.

Suara itu berhasil mengalihkan pembicaraan serta tatapan mereka, mereka reflek menoleh ke belakang dan mata mereka tak lolos begitu saja. Fikir menelan salivanya, ia tak tinggal diam. Segera kabur dari sini, baiknya begitu.

“Fikri, sejak kapan di situ?” tanya salah satu perempuan yang berperawakan sedikit berisi dan tinggi, bisa dikatakan orang normal lah tapi nggak normal dengan otaknya.

Sedikit Fikri terdiam sejenak sebelum ia menjawab pertanyaan salah satu perempuan yang matanya tak henti-henti untuk menatap Fikri, ya kedua perempuan itu adalah kembar, mereka nggak bisa dibedain dari bentuk hanya saja Fikri kadang menebak.

Tebakan Fikri selalu tepat pada sasaran.

Fikri, remaja yang berpenampilan acak-acakan itu lidahnya serasa diberi lem dan ia masih terkejut saja sudah bisa ditebak jika mereka ke sini bisanya menghancurkan kehidupan tenang Fikri.

Oke jalannya sekarang mengadu kepada kedua orang tuanya.

Ya, anak kesayangan jadi sedikit bebas.

“Fikri nggak ngapa-ngapain. Dah aku mau ke kamar, mau mandi terus bisa istirahat.” Malas Fikri melengkungkan bibirnya dan melangkah menuju ke kamar.

VINOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang