"Bukan begitu, tapi Cakra ingin Vino itu jadi anak penurut kalau gini kan papah juga pusing!" ucapan Cakra yang membuat seorang laki-laki itu juga turut ikut membantu anak semata wayangnya agar tidak marah-marah kepada dirinya.
Ini juga yang repot dirinya, putranya itu hanya mengomel saja.
Ia memijit pelipisnya.
"Nak, duduk dulu! Jangan kek setrikaan mondar-mandir, papah nggak mau kamu kecapean nanti!" Nadanya tegas memperingati putranya.
Makin dinasehati, remaja itu malah mengabaikan memilih untuk pergi dari ruangan sumpek ini.
Bukannya mengasih solusi, papahnya itu malah menceramahi dengan bahasa kolbunya.
Laki-laki yang sudah beranjak berumur itu menghela napas kasar, "Salah saya dimana?" tanyanya pada dirinya sendiri, heran sama itu anak.
Itu anak dirinya apa bukan sebenarnya?
Nggak mirip pula, tapi mau bagaimanapun itu anak tetap anak kesayangan dia sampai-sampai ia tidak ingin mencari perempuan lagi untuk menggantikan posisi mamahnya Cakra-perempuan yang sudah lama pergi meninggalkan dunia ini selamanya, dari anak itu keluar di dunia.
Ia tidak menyalahkan takdir jika memang ada yang datang, ada pula yang pergi di hari itu juga. Mau senang, sedih ia rasakan kala itu.
"Na, seandainya aja kamu tahu jika anak kita itu bertumbuh dengan baik sampai dia saat ini udah mau dewasa aja, na. Nggak terasa ya, na." ujarnya sambil mengusap foto figura yang terpampang di atas meja kerjanya, setiap hari ia ditemani oleh pajangan yang sudah menjadi sarapannya. Mau di rumah ataupun di kantor, tetap sama.
Foto itu tidak ada yang boleh memindahkan maupun membersihkannya kecuali dirinya sendiri yang hanya boleh menyentuh maupun membersihkan. Istimewa, ya ia memiliki tempat sendiri.
"Makasih ya, na. Udah memberikan sebongkah permata, putra tampan yang memang persis jiplakan kamu semuanya," Ia tersenyum miris. Padahal, semuanya itu bibit dirinya namun ketika ia melihat badan serta wajah Cakra membuatnya teringat dengan istrinya yang memiliki paras cantik dan datar.
Makanya hal itu membuat ia tidak mau berpaling dari putranya itu, sudah ada yang menggantikan posisi hatinya.
Sementara Cakra, remaja bertubuh jakun dan tinggi sekitar 175 cm itu memasuki ruangan kamarnya yang terlihat gelap gulita, ia berjalan menuju tempat saklar menghidupkan lampu kamarnya dan ia memencetnya.
Ruangan itu berwarna abu-abu gelap dan kehitaman, bisa menjadi ciri khas seorang remaja berambut belah dua itu bukan seperti mail ya!
"Gue harus kemana lagi mau cari Vino, mau gue melakukan cara nekat pun papah bakal nggak menyetujui buat keluar malam begini." Ia menatap jam yang berada di pergelangan tangannya, jam ini menunjukkan pukul sebelas malam dan ia ingin keluar?
No!
Sama saja ia akan digantung hidup-hidup sama papahnya, tapi ia percaya jika laki-laki tua mau berumur itu sudah encok badannya mungkin kalau menggendong dirinya. Pasti tidak akan marah, hanya saja mungkin ia akan dikurung lebih lama lagi.
Kan pastinya nggak betah.
***
Sementara dengan remaja menginjak usia tujuh belas tahun itu melangkah mendekati rumah yang berpagar tinggi serta pintu gerbang tinggi itu.
Ia terlihat dari sorot matanya sudah lelah dan ingin mengistirahatkan tubuhnya sejenak, alih-alih ingin ke arena balap malah dirinya sekarang mendarat ke rumah orang tuanya.
Bukannya apa-apa, ia tidak mau difitnah macam-macam apalagi Deva-orang yang selama ini dekat dengan sang papah.
Mau dikatai pengecut, silakan!
KAMU SEDANG MEMBACA
VINO
Teen FictionBagaimana kisah dari Vino? Vino yang malang, tidak diakui oleh anak tapi menurut Vino, ayahnya tetap mengakui dia anak. Buktinya sampai sekarang ia belum dikeluarkan tuh dari kartu keluarganya, tetap anak dari ayahnya dan bundanya. Sementara berban...