Di sini remaja itu berada, di bawah tekanan yang ada. Ia mengajak sopir taksinya seperti ingin mau kecelakaan, amit-amit dah! Naudzubillah.
Karena sepanjang jalan lelaki yang sudah berumur mungkin kepala empat itu terus mengucap istighfar karena remaja lelaki itu yang menggantikan dirinya, meminta dirinya untuk menjadi penumpang.
Salah dirinya jika membawa di perjalanan yang amat lelet, tidak tahu jika sedari tadi mobil range rover hitam mengikuti dari belakang.
Kan jadi curiga remaja itu dan lalu ia terfikir jika itu memang benar suruhan papahnya Cakra dan anak itu sepertinya pantang menyerah. Alhasil meski tangan cenat-cenut rasanya, ia beralih menjadi sopir karena sebelumnya sopirnya sudah disuruh mengebut malah kata-kata rohani yang keluar dari mulutnya.
Kan nggak elite.
Nanti ada belokan curam.
Bapak nggak mau mati muda, nak.
Masih ada anak satu di rumah, istri lagi hamil kan kasian.
Itulah kata-kata rohani yang keluar membuatnya sedikit kesal walaupun sudah gemelatuk giginya menandakan dirinya marah, ia bisa menahan emosinya.
Takut kebablasan.
Apalagi sudah menjadi orang tua, tak mungkin ia membentak orang tersebut yang jelas-jelas hanya mencari kerja dan penumpang, ini juga mobil bukan punya dirinya. Ia hanya bergantung nasib dengan mobil ini.
Kan kasian.
"Nak, pelan!" Bapaknya tergagap-gagap hingga matanya merem melek, serta tangannya tak jauh dari pegangan di atasnya dan hampir saja terpontang-panting karena adanya tanjakan belokan yang sedikit curam.
Remaja itu hanya mengangguki dan menggeram marah ketika range rover itu menyamai taksi yang sudah ngalamat nasib ini.
Nasi sudah menjadi bubur, mau gimanapun tetap saja jalannya tidak akan kencang dan dibawa mengebut.
"Pak, kita berdua kalau mati ya udah serahin sama yang punya dunia, pak." ujarnya enteng tanpa beban, menambah kecepatan ketika jalanan mulai sepi tanpa ada kendaraan yang ramai berlalu lalang lewat.
Tapi, sekali lagi bapaknya nafasnya saja sampai ditahan agar tidak kehabisan napas. Bapaknya sampai menghela napas kasar ketika mendengar ucapan anak muda itu.
Kurang ajar baginya.
"Nak, bapak udah nggak kuat!"
"Bentar lagi, pak." Cemasnya ketika melirik arah spion dan sampingnya ketika melihat bapaknya sudah lemas tidak berdaya.
Taksi itu tetap melaju kencang tanpa arah, mengingat remaja itu ingin pulang kemana.
Tak lain Vino, ia yang mengendarai hal ini terfikir di benaknya jika ia harus bertanggung jawab kepada bapaknya untuk membawa ke rumah sakit. Namun, ia mengurungkan niatnya.
Mengapa?
Sama saja menyerahkan diri percuma secara GRATIS, selama itu ia menempuh perjalanan hanya digagalkan oleh ulahnya sendiri. Tapi, ia lalu memutar otak dan menemukan ide jika ia harus pulang ke rumah jalan satu-satu nya dan ia menyuruh bundanya untuk membicarakan kepada Cakra agar tidak terlalu mengkhawatirkan dirinya. Sama saja juga ia ingin ditanya-tanya, diberikan ceramah dengan bumbu pedas yang akan keluar dari lidah serta mulut kedua orang tua itu.
Ia bingung, satu lagi ia lupa jika hari ini ada janji oleh Deva. Ketika ia menyetujui untuk balap liar ke tempat yang sudah ditanggung oleh Deva sendiri.
Hal itu menjadi kesempatan emas bagi Vin, untuk mendapatkan uang puluhan juta itu.
Murah memang!
KAMU SEDANG MEMBACA
VINO
Teen FictionBagaimana kisah dari Vino? Vino yang malang, tidak diakui oleh anak tapi menurut Vino, ayahnya tetap mengakui dia anak. Buktinya sampai sekarang ia belum dikeluarkan tuh dari kartu keluarganya, tetap anak dari ayahnya dan bundanya. Sementara berban...