Halo..
Aku kembali lagi walaupun gak ada yang nyariin, wkwk.
Sebelum mulai baca, vote dulu yuk. Jangan lupa komennya juga.
🌻🌻🌻
Pagi ini aku bangun tepat waktu. Setelah selesai sholat subuh, aku langsung ke dapur untuk membantu Bunda membuat sarapan.
"Pagi, Bunda," sapaku sembari mengecup pipi kiri Bunda.
"Pagi, sayang. Ceria banget mukanya, abis dapet voucher gratis ongkir?" ledek Bunda.
Iya sih, kalau dapat voucher gratis ongkir aku juga seperti ini senyum sepanjang hari. "Hari ini beda dong, Bun." jawabku sambil menaik-naikkan sebelah alisku.
"Apatuh? Gajian, kah? Perasaan baru minggu kemarin gajiannya." Bunda tampak berpikir keras.
"Bukan, Bunda salah."
"Bias kamu mau dateng ke Indonesia?" Itu juga salah satu hal yang bisa membuatku bahagia sepanjang hari. Namun, bukan hal itu yang membuatku senang.
"Ih, bukan Bunda," balasku sedikit kesal. Masak iya Bunda tidak bisa menebaknya.
"Terus?"
"Tadi pagi Kak Cakra ngechat aku, Bun. Aww. Seneng banget loh." Aku terus tersenyum sambil menangkup kedua pipiku.
Kulihat Bunda memutar bola matanya. "Gini kalo kelamaan jomblo, norak."
Bundaku kalau bicara omongannya bisa menembus ulu hati. "Bunda mah gitu," cibirku.
"Daripada senyum-senyum nggak jelas gitu, mending bantuin Bunda nih mecahin telur," ujar Bunda sambil menyodorkan sepuluh butir telur kepadaku.
"Mau masak apa sih, Bun? Kok banyak banget telurnya? Bukannya telur lagi mahal, ya?" Benar, kan? Telur memang mahal sekarang, apalagi cabe. Duh, kemarin Bundaku bikin sambal tapi tidak ada rasa cabenya sama sekali. Saat ditanya Bunda hanya menjawab, "Harga cabe naik, harus irit-irit makan cabe."
"Terus? Kalo telur lagi mahal kita gak boleh makan telur, gitu?" Ya ampun, bukan begitu juga maksudku. Ah, sudahlah, berdebat dengan Bundaku tak akan bisa menang.
Aku akhirnya memisahkan 10 telur itu dari cangkangnya. "Nih, Bun. Udah selesai, mau diapain sih?" ucapku sambil mencuci tanganku.
"Mau buat omelette," jawab Bunda. Ah, omelet adalah sarapan kesukaan Faizan. Kalau Kia sendiri kurang suka omelet. Kalau aku? Aku menyukai segala jenis makanan, apapun nama makanannya selagi masih halal dan layak untuk dimakan, aku pasti suka.
"Kamu buatin kopi buat ayah aja, Nak."
"Iya, Bun."
Oh, iya. Semalam waktu lamaranku. Kedua adikku memang sedang tidak ada di rumah, Faizan sendiri sedang sibuk mengurus tugas akhir. Sedangkan Kia, dia ada tugas kelompok. Jadi, mereka baru pulang jam 10 malam. Tak sempat melihat kakak tercintanya ini dilamar orang.
Setelah selesai membuat kopi untuk Ayahku, seperti biasa aku langsung ke kamar untuk bersiap-siap. Setelah selesai memakai pakaian dan memoles wajahku dengan make up, akupun keluar dari kamar, menuju meja makan untuk sarapan.
"Loh? Kia mana, Bun?" tanyaku saat tak melihat adik bungsuku itu di meja makan.
"Udah pergi tadi, buru-buru katanya," jawab Bunda sembari mengisi air putih untuk Ayahku.
Aku menganggukkan kepalaku sebelum duduk di kursi makan. Jujur, hanya makan omelet ini rasanya tidak akan kenyang. Aku butuh asupan nasi lagi. Namun, Bunda tak memasak nasi pagi ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh itu, Ketuk Pintu! [TAMAT]
Romans[1] Dara masih 23 tahun, tetapi kerabat dari ibunya selalu menanyakan kapan dia akan menikah, padahal orang tuanya saja tidak pernah merecoki Dara soal pernikahan atau apapun itu. Kejadian itu bermula di saat arisan keluarga dari pihak ibunya. Sang...