Chapter 12 - Taruhan

199 22 0
                                    

Setelah pertemuan di kafe kemarin, hubungan antara Angin dan Udara tidak bisa dikatakan baik ataupun buruk. Udara pergi begitu saja di tengah percakapan, meninggalkan sisa Angin yang masih merasa bersalah atas semua kejadian masa lalu diantara mereka. Semuanya terasa seperti digantung.

Tanpa disadari dalam diam Angin memperhatikan Udara yang duduk tidak jauh dari mejanya. Wajah sendu cukup menggambarkan perasaan apa yang sedang dirasakan sang pemilik. Ingin sekali ia menghampiri sang adik untuk diajaknya sekedar makan bersama dan berbagi cerita mengenai apapun itu. Namun Angin cukup tahu diri, ia mengambil kesimpulan bahwa kejadian minggu lalu dimana saat Udara meninggalkannya itu adalah poin untuk dirinya agar menjauhi sang adik.

"Silakan minta aku tetap tinggal atau kau juga berhak mengusirku"

Itulah kalimat terakhir yang Angin ucapkan sebelum Udara benar-benar pergi dari kafe minggu lalu..

Udara menahan diri untuk tidak bersikap kekanak-kanakan di depan sang kakak yang sedari ia perhatikan sedang duduk di kantin bersama teman-temannya. Tidak ingin mengganggu kenyamanan Angin yang terlihat sedang menikmati waktunya, tawa yang dibiarkan keluar tanpa sisa penyesalan tergambar dari wajahnya. Ingin rasanya Udara menarik dan mengajaknya untuk duduk dekat bersamanya. Namun apa daya semua masih terasa canggung, kejadian minggu lalu masih menyisakan penyesalan pada diri Udara.

"Sejujurnya aku tidak ingin pergi, aku hanya ingin menahan air mata sialan ini"

***

Sisa jam pelajaran yang kosong membuat Udara bosan berdiam di dalam kelas, dilihatnya Ehsan tertidur tanpa pikir panjang ia pergi keluar untuk menghilangkan penatnya. Langkah Udara berhenti, netranya jatuh pada bola basket yang berada di kursi tak jauh tepat di depan lapangan basket.

"Kau terlihat menikmatinya, permainanmu benar-benar pro", suara itu terdengar di telinga Udara saat dirinya sedang terduduk karena kelelahan bermain basket seorang diri.

Angin duduk disebelah Udara dan melemparkan sebuah minuman botol dingin.

"Makasih", ucap Udara refleks menerima minuman itu, namun sebenarnya ia masih kaget karena kehadiran Angin tiba-tiba.

"Ngapain kesini?", tanya Udara.

"Tadinya saya mau ngambil bola basket ini"

"Punya lo?, maaf", buru-buru Udara mengembalikan bola basket yang disampingnya untuk diberikan kepada Angin.

"Kamu bisa pakek kalo masih mau main"

"Nggak, gue udah selesai", Udara bangun dari duduknya sambil membersihkan sisa debu di bagian belakang celananya.

"Mau coba tanding one by one?", tawar Angin.

Langkah Udara terhenti.

"dapet apa gue kalo menang?"

"Anything you want"

Udara menatap lekat Angin yang juga kini ikut berdiri.

"...Deal"

Sekitar satu jam Angin dan Udara menghabiskan waktu untuk saling menunjukkan keahlian yang mereka miliki. Angin sang ketua klub basket tentu tidak bisa dianggap remeh, terlihat dari teknik yang digunakan cukup membuat Udara kewalahan. Namun siapa sangka, sang atlet taekwondo ini diam-diam juga sangat jago. Udara membuat beberapa kali three point shooting ke dalam ring dan tentu saja dengan mudahnya mengalahkan sang kakak.

Oh iya perlu diingatkan, pertandingan ini bukanlah pertandingan sengit melainkan banyak canda tawa yang tercipta tanpa keduanya sadari. Sebuah senyuman dari wajah keduanya ternyata mampu membuat suasana yang tadinya canggung sedikit mencair. Udara juga tidak segan menggoda sang kakak dengan beberapa kali menyentuh perutnya untuk memberikan sedikit sengatan klitikan agar ia lebih mudah merebut bola yang sedang di dribble Angin. Semuanya mengingatkan kembali kenangan beberapa tahun lalu.

"Kamu bisa gantiin saya", ucap Angin yang kini sedang kelelahan.

Udara masih sibuk melakukan spinning dengan memutar bola basket di atas jarinya, tidak mengerti apa yang diucapkan sang kakak. Ia juga tidak tertarik untuk mencari tahu lebih karena ada hal yang lebih penting dari itu.

"Ingat taruhan lo! lo harus ngelakuin apapun mau gue?"

"Biarin saya nafas dulu Udara"

"Jangan coba ingkar janji"

"Jangan khawatir saya bukan pria omong kosong"

"..."









"RANUUUUUUUU"

Suara teriakan dari luar lapangan memecah fokus Ranu saat ia dengar seseorang memanggilnya.

"Nggak mau pulang lo?", Ehsan kini sudah menghampiri Ranu.

"Bisa nggak teriak?!", Ranu kesal karena sepupunya ini hampir membuat tuli telinganya.

"AAAAAAAAAAAAAAA"

Ehsan semakin berteriak bahkan sekarang tepat di samping telinga Ranu, sehingga refleks membuatnya mendorong kasar tubuh Ehsan sampai terjatuh. Ehsan hanya tertawa saja, puas karena berhasil membuat Ranu kesal.

"Hey, kamu nggak mau nyapa saya?", ucap Biru saat melihat Ehsan yang masih terduduk sambil tertawa.

Ehsan langsung terdiam dan tersenyum canggung, ia sungguh tidak tahu harus memberikan respons seperti apa untuk Biru. Ia memang mengenal Biru sejak kecil, dan keduanya juga dapat dikatakan dekat. Namun setelah kejadian itu Ehsan bahkan sedikit ikut membenci Biru karena telah membuat Ranu seperti manusia yang tidak semangat hidup.

"Maaf kak, saya nggak sadar ada kakak disini"

"Makanya jangan terlalu bucin ke gue", Ranu ikut bersuara.

"Kalian kayaknya dekat banget ya"

"heh", jawab Ehsan yang masih canggung.

"Yaudah ayo pulang, kenapa jadi lo yang mau lama-lama di sini", Ranu mengangkat lengan Ehsan untuk bangun.

"Ingat, jangan lupa janji lo!"

"Jangan khawatir, saya hubungi nanti", jawab Biru sambil terus menatap kepergian Ranu dan Ehsan. Tatapan yang sulit diartikan, tidak ada yang tahu apa arti tatapan itu.

"Ada apa lo berdua?", tanya Ehsan yang penasaran.

"Dia sok nantang gue tanding basket ujungnya kalah", jelas Ranu tanpa ada yang harus ditutupi.

"Taruhan?"

"Dia yang mulai"

"Taruhannya?"

"Dia bakal nuruti semua mau gue"

"WAHHHHHHH!, kayaknya semesta mulai berpihak. Terus apa mau lo?"

"Belum gue pikirin"

"Pikirin baik-baik, lakuin apapun yang buat lo bisa ketawa"

Jawaban Ehsan benar-benar diluar dugaan, senakal-nakalnya ia juga bisa bijaksana ya. Ya meskipun konotasinya kata tertawa dapat diartikan ke hal negatif. Namun tetap saja anggap semua itu bisa membuat Ranu merasa bahagia kembali.



tbc

Semesta yang DinginTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang