Hembusan angin membawa awan bergerak seakan kejar-kejaran dengan pesawat yang di tumpangi saat ini. Hanya ingin diam, membiarkan semua pikirannya melayang sejauh tubuhnya pergi, bahkan sang ibu yang sedari tadi mengajaknya berbicara hanya diabaikan saja.
"Jagoan besar papa, kau bisa menangis nak"
"Papa tahu kau marah dengan situasi ini, tapi papa dan mama tidak ada pilihan lain. Papa harap kau akan mengerti saat dewasa nanti"
"Jaga mama, jangan membuatnya marah dan khawatir. Turuti semua perkataannya. Aku disini akan menjaga Ranu untukmu, jangan khawatirkan dia"
"Kau juga harus berjanji akan tumbuh menjadi anak yang kuat dan membanggakan mama saat besar nanti"
Semua ucapan-ucapan itu terus berputar seperti kaset rusak di kepala Biru. Bahkan sampai membuatnya stuck untuk ingat pada suaranya saja, sementara wajahnya Biru tidak ingin mengingatnya (?).
Biru menghilang dibalik pintu toilet, namun betapa terkejutnya saat ia tahu ada orang lain yang membuka pintu itu dan ikut bergabung bersamanya disana. Rupanya sang ayah mengejarnya saat ibu dan adiknya saling berpelukan satu sama lain. Tidak banyak percakapan yang tercipta, Angin diam seribu bahasa tidak ada satu katapun keluar dari mulutnya saat itu. Bahkan tembok disana bisa menjadi saksi bagaimana Banyu memberikan pelukan dan nasihat-nasihat yang justru hanya terkesan untuk meninggalkan beban baginya saja. Tidak ada sepatah kata maaf yang sejujurnya hanya itu yang ingin ia dengar, tolong setidaknya minta maaflah pada kami anak-anak yang justru menjadi korban untuk keegoisan kalian.
Hampir satu tahun Biru hidup seperti orang asing, lingkungan baru membuatnya sulit beradaptasi. Padahal Biru termasuk anak yang ekstrovert yang sangat mudah bergaul. Percakapan dengan sang ibu juga tidak banyak, Biru masih terlalu enggan berbicara dengan wanita yang melahirkannya itu. Hingga suatu hari Biru mendapati Ranisa menangis sendirian dalam kamarnya sambil memandang sebuah foto. Hatinya ikut sakit, ia tidak tahu jika sang ibu merasakan hal sama juga dengan dirinya "merindukan Udara", padahal Biru pikir selama ini ibunya terkesan tidak peduli, saat beberapa kali Biru membahas Ranu Ranisa akan memarahinya seperti orang kesetanan. Mungkin melupakan Ranu adalah cara membuat semuanya membaik, pikirnya.
"Ma haruskah kita pergi bersama?", Biru tiba-tiba mendatangi mama nya yang sedang sibuk menyiapkan makan malam.
"Haruskah?"
"Aku pikir kita sudah lama tidak bepergian, jadi tidak masalah kan?"
"Apakah ada tempat yang ingin kau kunjungi?"
"Aku ingin melihat pameran robotic di emporium dekat Rumah Sakit mama"
"Baiklah, besok setelah pulang sekolah mama akan menjemputmu", Ranisa tersenyum senang saat mendapati Biru yang meminta untuk pergi bersamanya. Setelah penantian panjang aku harap semua akan membaik dan Biru bisa memaafkanku.
***
"Udara?"
"Apa yang kau lakukan disini?"
"Kak Angin, benarkah itu kau?
"Mengapa kau ada disini? Kau bersama siapa kemari?"
"Kak Angin aku merindukanmu", Ranu kecil memeluk erat tubuh Ranu untuk melepas kerinduan yang ia rasakan selama ini.
"Kau harus jawab aku Udara, apa yang kau lakukan disini?"
"Aku mencari kak Angin! Kenapa kakak terlihat tidak senang melihatku disini?"
"Tidak, bukan seperti itu"
"Lalu kenapa kau terlihat panik sekarang?"
"Ranu sebaiknya kau pulang ya, bagaimana jika papa mencarimu?"
"Kenapa kau mengusirku!! Kau tidak merindukanku? Kau ingin pergi meninggalkanku lagi?"
"Udara bukan seperti itu, aku hanya tidak ingin papa dan mama melihat kita"
"Sebenarnya ada apa kak, kenapa kau takut?, apa mereka menyakitimu"
"Tidak tidak, tapi kita belum bisa bersama untuk saat ini"
"Kenapa?"
"Kau akan mendapati jawabannya nanti Udara! Sekarang kau dengarkan aku, kau harus kembali ke rumah, jaga dirimu baik-baik dan jangan sampai terjatuh sakit",
"...kak Angin"
"Tapi aku ingin tinggal bersamamu hikks hikss"
"Tidak bisa Udara, maafkan aku. Ada papa yang bisa menjagamu dengan baik"
"Saat itu bukan papa atau mama yang aku butuhkan kak, tapi dirimu!, bahkan aku tidak peduli dengan mereka! Tidak bisakah kita hanya tinggal berdua saja?"
"Aghhh, kenapa mimpi itu terus datang lagi akhir-akhir ini!", teriak Biru yang kesal dan mengacak rambutnya asal. Iya itu adalah mimpi yang selalu hadir dalam tidurnya saat awal-awal kepergiannya meninggalkan sang adik.
Biru melompat dari tempat tidurnya saat melihat jam pada dindingnya sudah menunjukkan pukul 06.40. Biru lega saat mendapati dirinya sudah siap hanya dalam waktu 20 menit saja. Namun tunggu, ia melupakan sesuatu "dimana kunci motornya?" padahal ia yakin terakhir kali kunci motornya ia masukkan dalam jaketnya.
Kenapa dirinya sial sekali, baru hari pertama sekolah sudah seperti ini.
tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Semesta yang Dingin
FanfictionKerinduan diantara mereka sama seperti semesta yang tak berpijak, semakin jauh dan sulit meski hanya untuk bertukar sapa. "Apa kabar?" "Udara" "Sulit ditebak ternyata seorang Angin masih mengingat Udara" _____________________________________________...