Chapter 19 - Stay for a while

110 14 0
                                    

"Lo serius nggak mau ikut?".

"Aaghhhh!", Ehsan mengacak rambutnya frustasi mendengar pertanyaan yang sama berkali-kali sejak pagi tadi keluar dari mulut Udara.

"Lo bisa diem nggak?", Ehsan menatap jengkel wajah Udara yang juga masih menatapnya.

"Nggak setia sepupu lu!"

"Dih bahasa apaan lagi yang lo buat, nggak nyambung"

Setelah pulang sekolah Udara langsung menemui Angin yang sudah menunggunya di parkiran belakang sekolah, sementara Ehsan masih mengikuti rapat dadakan yang dilakukan oleh kelompok paduan suara. Selama 25 menit perjalanan menuju rumah Angin, keduanya tidak banyak berbicara. Udara lebih banyak mengecek ponsel sementara Angin fokus menyetir.

"Masuk", Angin mempersilakan sang adik masuk saat melihat Udara ragu untuk melangkahkan kakinya di depan pintu rumah.

"Mama beneran nggak ada kan kak?", tanya Udara ragu.

"Cuma ada bibi aja di rumah"

Udara perlahan melangkahkan kakinya untuk pertama kali pada tempat dimana sang mama dan sang kakak yang sudah lama terpisah darinya kini tinggal. Rumah yang tidak besar jika dibandingkan dengan rumah sang papa yang ia tempati. Dirinya lekat memperhatikan pajangan foto yang memperlihatkan sosok mama dan sang kakak berjejer rapi di dinding maupun diatas nesting table. Senyuman yang dulu menemani masa kecil Udara tentunya.

***

"Bi kak Angin kemana?", tanya Udara saat dirinya masuk ke dapur untuk mengambil air minum.

"Kalau sabtu pagi begini biasanya jogging Mas", jawab Bibi sambil tangannya masih sibuk mencuci piring dan hanya diberi tanggapan oh oleh Udara"

"Mas Udara mau sarapan sekarang?"

"Nanti aja bi bareng kak Angin", Udara berjalan menuju westafel untuk meletakkan gelas yang baru saja ia gunakan.

"Jangan dicuci Mas, nanti sekalian bibi aja yang cuci"

Udara tersenyum "makasi bi", balasan senyum juga ia dapati dari wanita paruh baya disampingnya.

"Udara keatas lagi ya bi", lanjut Udara.

Udara keluar dari dapur dan berjalan kembali ke kamar. Tidak ada keinginan untuk menyusul sang kakak, ia memilih untuk melanjutkan tidur. Toh sebenarnya ia masih mengantuk. Terhitung sudah 4 malam ia berada seatap bersama sang kakak, Udara kini sudah tidak canggung jika dibandingkan beberapa hari lalu saat pertama kali menginjakkan kaki di rumah ini. Udara memilih tinggal lebih lama saat Angin memberitahunya jika Ranisa harus menghadiri seminar dan ada pekerjaan tambahan yang harus diselesaikan lebih dahulu.

***

"Kok nggak ngajak gue si kak", Udara berjalan menuju ruang makan saat mendapati Angin telah rapi dan duduk di kursi makan.

"Udah dibangunin sampe saya capek", Angin melirik sekilas adiknya yang baru saja duduk didepannya.

"Mana ada!"

"Besok saya minta mama pasang cctv di kamar, biar kamu liat sendiri gimana kebo nya kamu tidur", Udara tak ambil pusing ucapan sang kakak lantas sibuk membuka ponselnya untuk melihat notifikasi yang tadi sempat masuk namun belum ia buka.

ah hanya isi group tidak penting

"Kamu mau nasi goreng atau nasi putih?", tanya Angin saat melihat Udara yang sepertinya tidak ada pergerakan untuk mengambil apapun makanan diatas meja ini.

"hah?"

"Udara!"

"Iya kak? gimana?"

Angin hanya menatap intens Udara sambil matanya memberi kode pada makanan-makanan disana.

"Gue ambil sendiri kak, sebentar"

"Jangan biasain untuk nggak sarapan"

"bukan nggak dibiasain, tapi emang udah kebiasaan"

Angin diam, ia tidak bisa membalas ucapan sang adik. Rasa bersalah itu selalu ada, perkara hal sekecil ini saja rasanya terlihat memang hidup Udara jauh dari kata baik-baik saja. Sementara Udara mendongakkan kepalanya kearah sang kakak heran melihat Angin tiba-tiba diam , ia tau sang kakak tentu akan berpikir yang tidak-tidak. Udara menghela nafas dan langsung meletakkan ponselnya untuk mengambil nasi goreng dan telur mata sapi sebagai pilihan menu sarapannya.

Selanjutnya tidak banyak percakapan lagi diantara keduanya. Mereka hanya fokus untuk menghabiskan nasi di piring, ah sebenarnya ini hanya karena keduanya tidak tau harus membahas apa.

***

"Jadinya mama pulang kapan kak?", Angin meletakkan stick PS nya karena mulai lelah, karena sudah sejak jam 11 lalu keduanya hanya menghabiskan waktu untuk bermain PS di kamar Angin.

"Kemungkinan sampe rumah besok sore"

"Kalo gitu gue balik sore ini ya"

"Kok sore ini, besok aja sekalian"

"Gapapa?"

"Ya gapapa, ada masalah?"

"Kalo tiba-tiba mama sampai lebih awal?"

"Nggak bakal"

Udara lalu diam dan menidurkan tubuhnya diatas kasur. Ia menatap lekat langit-langit kamar, pikirannya jauh membayangkan bagaimana jika ia bertemu dengan wanita yang telah melahirkannya di dunia, kalimat apa yang harus ia katakan serta reaksi apa yang harus tubuhnya lakukan saat pertama kali nanti.

"mau nyemil apa? saya pesanin makanan mau?", Angin memecah pikiran Udara untuk menatap sang kakak yang baru saya menawarkannya sesuatu (?).

"Bilang apa lo kak?"

Angin mengangkat ponselnya untuk memperlihatkan layarnya pada Udara. Tanpa penjelasan tentu Udara memahaminya. Bagaimana tidak, ini adalah kebiasaan yang memang lakukan Angin lakukan sejak Udara menginap di rumahnya. Ia tau sang adik food lovers sehingga sudah menjadi kewajiban baginya untuk selalu menyediakan makanan setiap saat, ya meskipun ada tentu Angin tidak ingin merepotkan wanita itu.

"Pizza, Donat, Burger, anything you want?", Angin mencoba menawarkan beberapa pilihan yang mungkin saya bisa memberikan Udara sedikit gambaran.

"Keluar aja yuk, gimana?, lama berpikir dan merasa bosan hanya di rumah saja, Udara memberikan pilihan lain yang menurutnya lebih menyenangkan.

"Mau cari langsung?", tanya Angin yang dibahas anggukan antusias sang adik.

"Yaudah siap-siap gih, saya panasin mobil dulu".

"Gue chat Ehsan sekalian ya, kasian itu anak di rumah terus lama-lama kayak perawan lagi di pingit"

"Terserah kamu"





tbc

Semesta yang DinginTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang