Pagi ini Ranisa duduk bersama kedua putra nya untuk makan pagi bersama seperti biasa. Hatinya masih sakit mengingat peristiwa semalam kala ditatap wajah Angin dan Udara secara bergantian.
"Apa mama semalam menangis?", tanya Biru memecah lamunan Ranisa saat didapatinya wajah sang ibu yang terlihat bengkak.
"Menangis? Apa alasan mama menangis saat mama sudah memiliki 2 jagoan yang sebentar lagi besar", Ranisa menyembunyikan rasa khawatirnya agar sang anak tidak menanyakannya lebih jauh.
"Mama jangan sedih-sedih ya, Ranu dan kak Angin akan menjaga mama dari orang jahat, iyakan kak", Ranu ikut bersuara dan melirik Biru dengan memainkan kedua alisnya.
"Tentu saja, tapi kakak sama adek harus janji jangan sering bertengkar lagi ya"
"Kami nggak pernah bertengkar, iyakan kak", Ranu mencari pembelaan kepada sang kakak.
"Mama kemarin baru dengar dari bibi, adek ganggu kakak yang lagi belajar"
"BIBIIIIII", Ranu merengek sebal kepada sang pengasuh.
"Hahahahah it's okay sayang, tapi jangan diulang lagi ya", ucap Ranisa mengusap kepala anaknya lembut.
"Oh iya kenapa papa nggak ikut makan sama kita ma", pertanyaan itu yang keluar dari mulut Biru.
"Papa ada pekerjaan, jadi sudah pergi di kantor", bohong Ranisa yang jelas-jelas mengetahui kemana perginya sang suami semalaman dan tidak pulang.
"Padahal hanya makan pagi saja kita bisa berkumpul lengkap", Biru mengeluh atas sikap sang ayah yang sudah 4 tahun terakhir jarang menghabiskan waktu bersama keluarga. Jika biasanya weekend mereka masih bisa berkumpul dan liburan, namun tidak untuk akhir-akhir ini. Bahkan contohnya saat pagi pun sang ayah tidak ada di meja makan.
Ranisa yang tahu jika anak sulung nya ini sudah mulai protes untuk memahami situasi yang akhir-akhir ini terjadi hanya bisa memberikan pengertian agar sang anak tidak berpikir terlalu banyak. Biru sudah menginjak masa remaja awal pada usia 12 tahun, sedikit banyak Ranisa menyadari jika Biru sebenarnya tahu akan permasalahan yang dialami kedua orang tua. Banyu dan Ranisa pernah mendapati Biru yang terbangun tengah malam dan melihat keduanya bertengkar, saat akan mengejar Biru langsung masuk kamar dan mengunci pintu, dan keesokan harinya Biru akan diam seribu bahasa untuk berpura-pura tidak mengetahui apapun.
***
Banyu bangun dari kursi kebanggannya sambil memegang sebuah kertas terselip di tangannya. Ia tidak bisa menahan lagi dirinya untuk tidak pulang ke rumah saat ini. Diraihnya kunci mobil dan ponsel di mejanya untuk dibawa bersamanya saat ini.
"Jangan ada yang menelponku, batalkan meeting sore ini", ucapnya pada kepala sekretaris yang kebetulan berpapasan dengannya.
"Baik pak", jawab laki-laki paruh baya yang bingung melihat tingkah atasannya yang tidak biasa.
"Papaaaaaaaaaaa", teriak Ranu saat melihat sang ayah sudah pulang.
"Jagoan papa, kenapa main sendiri kak Angin kemana?", jawab Banyu setenang mungkin untuk menyembunyikan emosi yang sudah ditahannya sejak tadi.
"Papa lupa, kak Angin masih sekolah dan mengambil les tambahan"
Banyu terdiam, ia tidak tahu jika dirinya sudah sejauh itu melupakan kegiatan rutin yang anak-anaknya lakukan. Dalam hatinya ia sedikit merasa bersalah karena tidak memberikan perhatian, bahkan pada hal kecil sekalipun. Banyu bahkan lupa kapan terakhir kali merasa menghabiskan waktu bersama untuk saling bertukar cerita sederhana mengenai hal apa saja yang dilakukan anak-anaknya di sekolah.
"Ranu main sendiri ya, papa akan menemui mama dulu"
"Sudah kau tandatangani surat yang aku kirim ke kantormu?", tanya Ranisa saat ia sadar Banyu baru saja masuk ke dalam kamar mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Semesta yang Dingin
FanfictionKerinduan diantara mereka sama seperti semesta yang tak berpijak, semakin jauh dan sulit meski hanya untuk bertukar sapa. "Apa kabar?" "Udara" "Sulit ditebak ternyata seorang Angin masih mengingat Udara" _____________________________________________...