Chapter 3 - Sebuah Nama

367 28 0
                                    

Disini dalam ruangan yang cukup besar untuk ukuran kamar biasa, Ranu terlihat duduk depan komputer sambil bermain game. Seperti tidak ada beban dan rasa bersalah ia larut dalam fokus permainannya sendiri. Bukan dia tidak tahu jika teman-teman di SMA baru nya sedang berkutat untuk menjalankan kegiatan Masa Orientasi Siswa, jelas dia tahu tapi memilih mengabaikannya.

2 hari lalu dia menemui ayahnya setelah makan malam di ruang keluarga.

"Kayaknya kegiatan Masa Orientasi nggak begitu penting", ucapnya duduk di sofa depan sang ayah.

"Ngomong apa kamu?

"Ranu nggak mau ikut kegiatan pengenalan sekolah!"

"Kenapa?"

"Cuma malas aja, tolong biarin Ranu skip ya pa. Ranu cuma mau istirahat di rumah dulu"

"Diam dirumah nggak usah pergi kemanapun, bisa papa pegang janji kamu?"

"bukan hal yang sulit pa"

"Yaudah, papa akan urus izin untukmu"

"Apakah semudah ini?", ucap Ranu dalam hati karena merasa heran, seharusnya ayahnya marah bukan? Namun kenapa justru mudah baginya memberikan izin.

"Kamu pikir ini terlalu mudah?", tanya sang ayah yang seperti tahu apa yang sedang Ranu pikirkan. Tentu saja dia juga tidak semudah itu memberikan izin putranya untuk tidak mengikuti kegiatan pengenalan, lebih lagi itu cukup penting untuk beradaptasi sebelum masa aktif belajar dimulai. Namun dirinya berpikir ulang, saat sang anak berjanji untuk tetap berada dirumah. Ia tahu sejak 3 tahun lalu Ranu lebih banyak menghabiskan waktu di rumah saudara sepupunya, berada di rumah mereka sendiri hanya dilakukan untuk tidur saja. Pernikahan dengan istri kedua nya jelas menjadi alasan Ranu melakukan itu. Baginya ini kesempatan baik untuk melihat sang anak berada di rumah saat ia kembali dari kantor.

"Ranu nggak mau tanya lebih lanjut. Terima kasih, Ranu ke kamar", Ranu tidak ingin membuang waktunya begitu lama dengan sang ayah, ia malas berpikir.

Rekor baru di hidupnya, Ranu benar-benar memegang janjinya untuk tidak keluar rumah selama 7 hari ini. Selama itu hanya ia habiskan didepan komputer. Tidak lupa ia ikut bergabung dengan keluarganya untuk makan bersama. Pemandangan ini terasa indah di mata sang ayah dan ibu tirinya, namun tidak bagi Ranu.

Jika dipikir ibu tirinya ini bukanlah sosok ibu tiri dalam cerita cinderella, tapi tetap saja Ranu tidak bisa menerima kehadirannya begitu saja. Apalagi ia tahu history yang terjadi secara jelas, meskipun saat itu ia masih cukup kecil.

"Bisa kamu seperti ini setiap hari mulai sekarang?", tanya sang ayah di tengah suasana yang dirasa canggung. Kalian tahu selama 7 hari ini memang tidak ada percakapan berarti antara ayah dan anak ini.

"Bakal dicoba", Ranu menjawab namun dalam hatinya ia tidak yakin.

"Papa terlalu banyak memberikan kebebasan dalam pergaulanmu akhir-akhir ini, jadi tolong perbaiki. Kamu udah SMA, belajar dengan baik untuk persiapan masuk perguruan tinggi"

"Ini gila! Bahkan Ranu aja belum ngejalanin semuanya, dan sekarang udah diminta mikirin masa depan!", Ranu mulai tak suka sang ayah banyak mengaturnya.

Ia sangat muak dengan tingkah orang tua nya yang seperti ini. Ranu tahu ayahnya terkadang memberikan kebebasan bagi Ranu bergaul dengan teman-temannya, namun disisi lain ia juga sangat ambisius untuk mengatur masa depan Ranu sesuai dengan kemauannya sendiri tanpa menanyakan apakah Ranu bersedia untuk itu.

"Ini hasil yang kamu dapat selama 3 tahun di SMP mu?!, berbicara semaunya tanpa lihat siapa lawan yang diajak bicara!", suara itu mulai meninggi bahkan urat leher didepannya dapat dilihat Ranu.

"Ranu bukan mau melawan papa, tapi tolong jangan paksa Ranu untuk selalu ikut mau papa"

"Sebaiknya biarkan Ranu jalanin SMA nya dengan dirinya sendiri", suara wanita terdengar berupaya menengahi ketegangan yang terjadi.

Suasana mulai hening, beberapa menit lalu Ranu beranjak setelah ia izin untuk meninggalkan meja makan. Sang ayah masih terlihat marah, ia tidak akan membiarkan Ranu bertindak semaunya. Ranu harapan satu-satunya! Hanya Ranu tidak ada yang lain!

Malam sebelum kegiatan tahun ajaran baru dimulai, pikiran Biru menerawang jauh saat ia mendapati salah satu nama tak asing pada daftar siswa/i baru. Sebenarnya Biru tidak sepeduli itu untuk sengaja melihat daftar tersebut.

6 hari lalu

"Gue ke toilet dulu, bisa titip sebentar?", Yessa memberikan map transparan berisi daftar nama peserta MOS untuk selanjutnya diberikan pada bagian informasi. Biru mengangguk dan menerima kertas tersebut. Sekilas ia melirik kertas yang berada paling depan, matanya seakan menarik dirinya untuk kembali memastikan apa yang baru saja dia baca.

"Randika Eshan Gardara"

Terselip nama belakang yang membuat dirinya tersentak dalam sepersekian detik.

Hari-hari berikutnya ia sengaja menarik diri dari keramaian peserta MOS untuk menghindari sang pemilik nama. Belum bertemu saja pikirannya sudah dibuat kalut.

Senin ini semua siswa/i sudah berada dalam kelas masing-masing. Rasanya malas mulai berkutat dengan setumpuk materi yang sudah menunggu, meskipun lembaran pertama pada buku baru selalu jadi awal semangat untuk menulis dengan hati-hati agar meninggalkan tulisan yang rapi.

Biru memperhatikan dengan seksama guru yang sedang memberikan penjelasan di depan kelas. Ia hanya harus fokus untuk mengabaikan ketakutan yang semalam penuh mengganggu pikirannya. Hanya berharap pemilik nama itu tidak mengenal dirinya atau pilihan lainnya pura-pura tidak mengenalnya.

***

"Gimana rasanya diam diri di rumah selama satu minggu?", dalam ruang kelas X terlihat dua siswa asik membangun percakapan tanpa peduli banyak pasang mata yang menatap ke salah satunya.

"Nggak buruk"

"Luar biasa!!! gue ikut ke sekolah ini tapi lo main curang nggak ikut MOS!"

"Kesenangan nggak harus dibagi, kan?"

"Terserah lo! Tapi abis ini gue pastiin lo nerima setumpuk tugas lain"

Ranu tidak memperdulikan ucapan saudara sepupunya ini, yang ia harus lakukan hanyalah  datang ke sekolah, masuk kelas, dan kembali ke rumah. Persetan dengan pertengkaran yang semalam terjadi antara ia dan ayahnya.

Sesederhana itu sajakah?

to be continued

Semesta yang DinginTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang