"Turunin gue di cafe itu", Ranu mengarahkan jari telunjuknya pada sebuah bangunan modern klasik yang berada 50 meter dari tempatnya saat ini, mobil Ehsan.
"Ahh lo ini kenapa mendadak!", keluh Ehsan yang juga refleks mengarahkan setirnya ke kiri. Dilihatnya arah belakang dari kaca spion depan dan kiri mobilnya, jalanan macet tentu saja karena bertepatan dengan waktu pulang anak sekolah.
"Ck", terlihat tidak sabaran Eshan masih mencoba mengambil jalur kiri dengan matanya terus ke arah sisi jalan, namun gagal karena kendaraan samping kiri jalan tidak ada yang ingin mengalah sementara pengendara lain di belakangnya sudah bersaut-sautan membunyikan klakson.
"Kita putar arah aja!", Ehsan memutuskan untuk tetap melajukan mobilnya.
"Lo harusnya bisa motong jalan mobil itu", ucap Ranu yang mengarahkan wajahnya pada mobil hitam yang baru saja melewati mereka.
"Mau mati lo??!!!!", sinis Ehsan.
"Jangan kayak cewek, yang bilang mendadak kalo mau berhenti!", keluhnya lagi sambil fokus menyetir dengan kecepatan 20KM/Jam.
"Kenapa lo jadi marah-marah ke gue?"
"Terus gue harus marah ke siapa? jalan raya? Lo pikir gue gila"
"Yayaya terserah, gue paham lo lagi datang bulan"
"HEH anjing! lo kira gue perempuan!"
"Fokus aja nyetir! gue malas berdebat!", Ranu merebahkan tubuhnya dengan sedikit menurunkan sandaran kursinya sambil kedua tangannya ia lipat di dada.
"Monyet sialan! dipikir gue supir", Eshan menendang kaki manusia di sampingnya ini saat Ranu hampir menutup matanya.
"AWW! Sialan!", ringkih Ranu kesakitan sementara Ehsan sudah terkekeh geli karena merasa puas.
"Tumben pergi ke tempat begini! Mau ketemu lo sama cewek?", ledek Eshan yang kini sedang memutar arah untuk mengambil jalan lain.
"Ketemu Angin", jawab Ranu datar dalam posisi kembali menyandarkan tubuhnya.
"Yakin udah siap untuk nonjok dia hari ini?"
"Otak lo benaran rusak!"
"Terus? mau ngapain?"
"Menurut loapa yang bisa kita lakuin?"
"Jangan tanya gue, gue nggak ahli dalam hal ini"
"Sebenarnya gue juga bingung harus mulai nya dari mana, semuanya begitu mendadak"
"Kalo belum siap lo bisa nunda Udara"
"Nggak! gue nggak mau nunda hal yang udah aku nanti dari lama"
"Okay, terserah lo aja", mobil dengan warna hitam ini sudah memasuki area parkir cafe.
"Lo mau gue nunggu?", tanya Ehsan saat Ranu akan turun dari mobilnya.
"Tidak usah, gue pulang naik taksi"
"Okey kalau gitu", ucap Ehsan yang hanya dibalas deheman oleh Ranu.
"Udara"
"Apa lagi?", keluh Ranu sambil dirinya menengok ke belakang asal sumber suara.
"Ingat tahan emosi lo, jangan juga lo pancing emosi Angin", Ranu mendengar itu hanya diam saja dan kembali berjalan.
"Gue harap setelah ini kalian bisa kembali bersama", ucap Ehsan dalam hatinya.
***
Meja bulat dengan segelas ice tiramisu latte di atasnya menjadi saksi berapa lama waktu yang Biru buang untuk menunggu Ranu, hampir 30 menit. Memang belum terhitung lama, namun tetap saja hal itu membuat Biru takut jika sosok yang ditunggunya ini tidak akan muncul, terlebih lagi Ranu tidak memberikan balasan pada pesan yang ia kirim semalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Semesta yang Dingin
FanfictionKerinduan diantara mereka sama seperti semesta yang tak berpijak, semakin jauh dan sulit meski hanya untuk bertukar sapa. "Apa kabar?" "Udara" "Sulit ditebak ternyata seorang Angin masih mengingat Udara" _____________________________________________...