Kini Angin sedang duduk dimeja makan bersama sang mama untuk makan malam setelah keduanya mengakhiri kegiatan masing-masing selama seharian ini. Angin terlihat tidak fokus, tersirat wajah yang menyimpan banyak pertanyaan jika dapat diartikan dari raut nya.
"Ma...", ucap Angin dengan ragu.
"Kenapa sih kak, kamu dari tadi kayak gelisah gitu. Ada masalah?"
"Enggg nggak sih ma, cuma tiba-tiba Angin inget Udara?", akhirnya apa yang mengganjal di pikiran Angin selama beberapa hari terakhir sejak ia menemukan foto Udara terucap.
DEG
Terlihat jelas bahkan teramat terbaca apa yang ada dipikiran Angin begitu ia melihat ekspresi terkejut yang ditunjukkan Ranisa.
"Maaf ma..."
"Gapapa kak, mama tahu situasi ini pasti akan datang. Kenapa baru sekarang?"
"Hah? Maksud mama?"
"Sejauh apa kamu nahan semua pertanyaan tentang adik kamu?"
"Ma..."
"Maafin mama ya kak, karena keegoisan mama kamu jadi nggak bisa tumbuh bersama Udara", Ranisa menetap sendu wajah Angin. Angin berdiri dan berakhir memeluk sang mama dengan maksud memberikan ketenangan kepada mamanya.
"Ma it's okay, semuanya udah jadi takdir Tuhan. Maafin Angin yang tiba-tiba bahas Udara"
"Kamu nggak salah kak, mama bersyukur kamu sebut nama dia setelah bertahun-tahun. Mama tahu kamu udah berusaha sejauh ini untuk nggak ingat Udara dan nahan semuanya sendiri. Bukan hanya kamu kak, mama juga rindu. Tapi kita nggak bisa untuk bareng-bareng lagi, kita udah punya kehidupan masing-masing", Ranisa melepas pelukan Angin dan saling berhadapan memperlihatkan kesedihan yang terpancar dari kedua mata mereka.
"Nggak gitu ma, kita masih bisa bareng dengan Udara. Angin bakal cari Udara"
"Nggak semudah itu kak, kamu nggak bisa berhadapan dengan papa"
"Angin nggak peduli ma! Suatu saat Angin bakal bawa Udara didepan mama. Mama jangan larang Angin ketemu adik kandung Angin sendiri"
Ranisa hanya terdiam dan tidak ingin melanjutkan percakapan yang terbilang sensitif untuk keduanya.
"Kamu lanjutin makannya kak", Ranisa membawa piring menuju wastafel di dapur.
"Angin udah selesai kok, biar Angin bantu", Angin mengikuti sang mama sambil membawa piring bekas makannya serta beberapa piring yang berisi sisa sayur dan lauk.
"Biar mama aja yang cuci, kamu ke atas aja gapapa kak"
"Gapapa ma, biasanya juga Angin bantu mama"
Rutinitas ini memang sudah menjadi hal biasa bagi Angin dan Ranisa, jika malam seperti ini setelah makan malam Angin memang kerap membantu sang mama membersihkan beberapa piring bekas keduanya makan malam, maklum saja sang pembantu rumah tangga hanya datang sampai sore hari saja. Ranisa adalah seorang perfectionist, ia tidak suka membiarkan ada cucian piring menumpuk bahkan rumah mereka pun terbilang sangat bersih karena sang bibi selalu membersihkan hingga 2 kali sehari, pagi dan sore hari.
"Oh iya kak, besok sampai weekend mama ada seminar di luar kota. Kamu nggak masalah kan mama tinggal?"
"Ini bukan yang pertama loh ma, Angin gapapa kok"
"Ya tetap aja mama khawatir kak, tapi kayak biasa mama udah minta bibi untuk minep untuk temanin kamu"
"Astaga ma nggak usah, ngerepotin bibi. Angin udah gede, mama sendiri kan yang bilang"
"Mama nggak percaya kak, akhir-akhir ini kamu liar", goda sang mama.
"..."
"Mama curiga apa jangan-jangan kamu punya pacar ya, terus nggak bilang mama??"
"Mama kenapa sih?"
"Ya bisa aja kan, kamu punya pacar makanya sering pulang telat karena pacaran dulu"
"Ya terus apa hubungannya sama minta tolong bibi nemenin Angin dirumah?"
"Siapa yang tahu kamu bawa pacar kamu kerumah selama mama nggak ada", Ranisa senyum menggoda Angin yang kini memasang ekspresi aneh depan mamanya.
"Mama nggak beres, pikiran mama terlalu kemana-mana"
"Loh emang kenapa? Anak mama ganteng, masa nggak punya pacar. Nggak ada yang mau ya?"
"Mama nyuruh Angin belajar atau pacaran?"
"Ya nggak gitu kak, mama nyuruh kamu fokus belajar tapi mama nggak pernah loh ya ngelarang kamu pacaran"
"Udah ma udah, ini obrolan kita terlalu melencong jauh. Angin pamit ke atas ya", Angin segera meninggalkan dapur setelah kegiatan cuci piring yang dibarengi obrolan random ini selesai. Sementara Ranisa hanya geleng-geleng kepala melihat anak sulungnya.
***
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Semesta yang Dingin
FanfictionKerinduan diantara mereka sama seperti semesta yang tak berpijak, semakin jauh dan sulit meski hanya untuk bertukar sapa. "Apa kabar?" "Udara" "Sulit ditebak ternyata seorang Angin masih mengingat Udara" _____________________________________________...