Semua menatap diam mayat didepannya, Qilla ingin menangis namun air matanya habis. Ismi menutup mulutnya yang tertutup cadar.
"I-ini maksudnya apa ya?" Tanya Qilla kepada perawat didepannya.
"Oh, ini pasien yang mengalami tumor dan pasien meninggal karena gagal menjalani operasi"
"S-siapa namanya" kini Ismi yang bertanya.
"Farhan Sanjaya"
Semuanya sangat bersyukur mendengar itu bukan dari keluarganya apalagi Arkan. Qilla memeluk ibunya dan kembali menangis disana.
"Syukurlah" Ismi ikut memeluk menantu dan besannya itu.
Aqmar ber hamdalah mendengar itu.
"Sekarang gimana anak saya dok?" Tanya Aqmar.
"Pasien bernama Arkhan?"
"Iya"
"Pasien sekarang masih belum sadar pak, tusukan pisau yang dialaminya membuat kami sedikit kesusahan, tapi Alhamdulillah kami bisa menangani itu"
"Boleh saya melihatnya?" Tanya Qilla.
"Boleh, tapi jangan masuk kedalam, cukup lihat dari kaca saja"
Qilla menghela nafas gusar. Bagaimana tidak, tidak tidur disamping Arkan saja ia sudah menangis.
Bersama Ismi, Qilla menatap Arkan yang matanya masih tertutup tenang dengan bantuan selang kecil yang ada di hidungnya.
"Hampir aja gue jadi janda, ah elah yakali nggak ada yang mau ma gue, SD aja mantan gue 5" batin Qilla.
Qilla berbalik meninggalkan Ismi yang tengah menatap putranya, namun saat berbalik, perutnya tiba tiba terasa sangat sakit.
Qilla memegangi perutnya sambil berpegangan ditangan kursi tunggu yang berada di samping ruang ICU. Ismi melihat menantunya yang tengah kesakitan itu sambil memanggil manggil meminta tolong.
Urat urat yang berlika liku kini menghiasi wajah cantik Qilla, wanita itu kini tengah berada di ruang persalinan. Padahal belum genap 9 bulan, bahkan belum waktunya hamil tua.
10 menit ia berjuang di ruang persalinan. Namun, takdir kini berkehendak lain. Dua kali Qilla dan Arkan harus kehilangan harapan mereka.
Buah cinta mereka.
Isak tangis kembali terdengar, dan untuk pertama kalinya ini ia merasa kehilangan separuh jiwanya. Serapuh ini tanpa ada pendamping yang selalu bersamanya itu.
Sudah lumayan lama pula Arkan memejamkan mata, akhirnya jari telunjuknya bergerak kecil sembari bergumam.
"Arkan!"
*
Arkan mengelus lembut pundak Qilla. Wanita itu sedari tadi terus menangis meratapi jenazah anak mereka. Walaupun sedikit kesusahan karena perban di perutnya, Arkan tetap menemani istrinya itu.
Ia juga sebenarnya sedih, namun kita tidak boleh terlalu larut dalam kesedihan. Jika kita terlalu meresapi penyesalan, kita akan mengalami stres, itulah yang ditakuti Arkan.
"Gausah nangis, masih ada kesempatan lain" ucap Arkan.
"Dua kali, Arkan!"
"Dua kali, tiga kali, bahkan seratus kali pun kalau itu takdir kita bisa apa, sudahlah, biarlah ia menjadi tabungan kita diakhirat"
"Berat banget, selama ini gue terlalu jahat ya, apakah ini yang namanya pembalasan?" Tanya Qilla.
"Belajar dari kesalahan, sekarang kita kejar tuhan dulu, baru tuhan kasih kita keturunan, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Oh My Husband...
Non-Fiction"Ats tsalju hadiyyatusy syitaa'i, wasy Syamsu hadiyatush shayf, waz zuhuru, hadiyyatur Robi, ya Humaira" ucap Arkan berbisik di telinga kanan Qilla. "A-apaan sih!, minggir!" Qilla mendorong bahu Arkan agar menjauh darinya, jika tidak bisa bahaya kal...