dua puluh empat

36 5 0
                                    

"KAKAKK!!" Alfi, Alka dan Alga yang semula bermain bersama teman-teman yang lain di kolong jembatan pun langsung berlari menuju Syaila yang berdiri di atas tanpa turun ke bawah menuruni undakan.

Syaila dengan mata yang bengkak pun langsung memeluk adik-adiknya saat ketiga bocah itu sudah mendekat.

"Syukurlah Kakak sehat!" kata Alka senang.

"Mamah tadi digantung papah, Kak. Kakak tau?" Pertanyaan Alfi mampu membuat bibir Syaila bergetar.

Bayu yang ada di belakang Syaila pun tersenyum. "Mamah udah bahagia sama penciptanya."

Alga mengerjab. "Maksudnya??"

Alfi meneguk ludahnya. "Mamah meninggal, ya?"

Alka menampol bahu Alfi. "Alfi, ih! Jangan gitu!"

Alfi memegang tangan Syaila. "Kak? Kakak kenapa nangis?"

Syaila tidak menjawab. Ia menutup wajahnya menggunakan kedua tangan membuat Bayu menghembuskan napas.

Bayu berjongkok di hadapan Alfi, Alka dan Alga. "Mamah udah meninggal."

Alka dan Alga saling tatap. Lalu, dua bocah itu langsung menangis histeris dengan menghentak-hentakkan kaki. Mirip seperti Syaila saat di rumah tadi.

"Tau siapa yang bunuh?"

"Siapa, Kak?" tanya Alfi yang masih belum menangis.

Bayu tersenyum. "Papah."

"Bratasena!" Syaila menegur Bayu.

"Sya. Mereka harus tau. Mereka harus tau semuanya, kan?"

"Tapi mereka masih 10 tahun!"

"Dan kamu mau jawab apa saat mereka nanya?" Bayu mendongak, menatap Syaila.

Syaila memalingkan wajah, lalu kembali terisak.


"Kak ... " bibir Alfi bergetar. Berbeda dengan Alka dan Alga yang sudah meraung-raung, menangis bersama.

"Ya?" Bayu bertanya santai. Meski dalam hati sudah porak-poranda tak karuan.

"Mamah ... udah nggak sama kita, ya?" tanya Alfi.

"Mamahhh!!" teriak Alka sembari menangis sesenggukan.

"Mamahh di mana??" Alga menggoyang-goyangkan bahu Alka.

"Meninggal," jawab Alka lalu menangis tanpa suara.

"Mamaahhh!" Kini gantian Alga yang berteriak.



Bayu mengusap sudut matanya yang berair. Ia memegang pundak Alga dan Alka, lalu menatap lurus ke arah Alfi yang berada di tengah, di antara dua saudaranya.

"Alfi, Alka, Alga." Bayu menatap mereka serius. "Jangan sedih berlarut-larut."

Syaila mengerjabkan matanya beberapa kali. Lalu ikut menatap ke arah adik-adiknya yang sedang memerhatikan Bayu.





"Mulai sekarang, saya adalah Papah kalian."


Syaila mengatupkan bibir, menahan tangis.


"Ah, jangan panggil saya Papah. Panggil saya Daddy."

"Daddy?" Alka memiringkan kepala.

"Ya. Panggil saya Daddy." Bayu tersenyum. "Saya yang akan menghidupi kalian. Kalian bisa tinggal di rumah saya, tanpa ada bayangan tentang Mamah yang gantung diri."

"Kalian akan menjadi tanggung jawab saya, sampai kalian sudah sukses dan menggapai cita-cita."






****



DEVOUR THE DEAL Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang