10. Terasa menyakiti diri sendiri

31 9 1
                                    


Di kantor, Umar terlihat murung. Sudah hampir dua minggu lamanya ia tak melihat Nura. Mobilnya tak ada, rumah pun terlihat kosong. Ia bertanya-tanya, namun ia tak mau bertanya.

"Pak Umar, gimana jadi jenguk Pak Indra?" Tanya Rekan kerja Umar yang mengingatkan dirinya harus menjenguk Pak Indra yang baru saja pulang dari rumah sakit.

"Boleh deh ayo!"
"Pulang kerja ya, jadi saya kabari Istri di rumah dulu pulang agak telat" jawab Umar.

"Siap, harus itu Pak.." jawab Pak Fredi.

Umar pun menghubungi istrinya. Mengatakan bahwa ia pulang sedikit terlambat karena harus menjenguk Pak Indra. Nesha yang sangat pengertian pun pahami hal itu.

Di lobby, Umar menunggu rekannya yang lain. Ia duduk di sofa dan menatap ponselnya. Kemudian ada telepon masuk dari salah satu rekannya.

"Hallo, Pak Umar.. naik ke lantai 10 saja. Saya tadi ketemu dengan istri pak Indra, jadi kami pakai privat Lift."

"Oh, yasudah.. saya naik ya" ucap Umar. Ia pun bergegas menuju Lift di apartement yang terbilang mewah itu.

Umar menunggu Lift turun, beberapa orang datang pun untuk menunggu lift terbuka. Hingga, seseorang pun datang berdiri disisinya sambil memainkan ponselnya. Orang-orang yang tadi menunggu pun merasa bosan, dan lebih memilih duduk dulu di sofa, hingga menyisakan Umar dan satu orang di sampingnya.

Merasa orang yang di belakangnya berkurang, Umar pun melihat situasi dan alangkah terkejutnya ketika ia melihat disisinya ada Nura yang tengah memainkan ponselnya tanpa sadar siapa yang ada di sampingnya.

Umar hanya menatapinya. Tanpa menyapa ataupun bertanya bagaimana kabarnya. Umar diam, sampai lift pun terbuka. Nura tidak melihat kiri kanan atau belakang, ia fokus pada tujuannya. Setelah pintu lift terbuka dan orang di dalam lift keluar, Nura pun masuk. Ia berdiri di depan tombol lift. Umar pun menyusulnya dan beberapa orang yang tadi menunggu pun berlarian. Umar menahan pintu Lift dengan menekan tombol agar pintu tetap terbuka. Tangan Umar tepat di depan Nura. Nura terpojok, sampai pada saat ia melihat tangan itu milik siapa. Keduanya bertatapan dengan tangan Umar menahan tombol. Gerombolan yang hendak masuk pun mendorong halus mereka sampai di bagian pojok Lift.

"Kami turun di lantai lima" ucap seseorang. Umar dan Nura masih terdiam dalam pikirannya masing-masing sampai ia lupa menekan tombol di lantai mana mereka akan berhenti.

Lift terbuka, dimana mereka kembali mendapatkan penumpang. Nura yang memakai pakaian santai dengan celana pendek pun terpojok. Lift menjadi berdesakan, tidak biasanya Lift di apartement menjadi penuh seperti ini. Melihat Nura yang terdesak, Umar berinisiatif menutupi Nura dengan tubuhnya. Ia berdiri menghadap ke arah Nura dengan tangan tertahan di sisi kanan Nura.

Nura terdiam. Situasi ini sangatlah di luar dugaannya.
"Kamu gak bisa, kalau keluar pakai pakaian yang setidaknya menutupi kaki kamu" protes Umar.

Nura menatap ke arah Umar.
"Urusan aku ya, kenapa kamu yang repot? Lagian gak biasanya juga liftnya rame begini" ucap Nura.

"Kalau ada yang mengambil kesempatan dalam kesempitan gimana?" Tanya Umar.

Nura menengadahkan wajahnya, Umar menunduk untuk melihat Nura berbicara dengannya.

"Itu kamu, bukan orang lain" jawab Nura sambil memutar bola matanya. Lift pun perlahan kosong. Umar bisa kembali pada posisi normalnya.

"Saya cuma mencoba melindungi kamu" ucap Umar. Nura terdiam, ia baru sadar belum menekan tombol. Ia pun berdecik, kemudian ia menekan tombol 11. Kini mereka berada di lantai 15. Satu orang turun di lantai ini, dan kini di lift hanya ada Nura. Umar mendekat, ia pun menekan tombol 10.

"Kamu tinggal disini?" Tanya Umar.

"Hmm, gak nyaman tinggal di rumah" jawab Nura memperjelas semuanya.

"Gara-gara saya, dan istri saya?" Tanyanya lagi.

"Itu juga bisa jadi alasan." Jawab Nura. Umar kembali terdiam, ia merasa bersalah.

"Apa kamu akan kembali?" Tanya Umar lagi. Nura melirik Umar, ia menatapnya dengan tatapan yang sulit di jelaskan.

"Jangan khawatir, sekalipun aku kembali aku akan memberikan kabar baik. Aku tidak memiliki waktu untuk menjadi seorang wanita yang mempengaruhi keluarga kamu di masa depan. Setelah apa yang aku lihat, aku di sadarkan bahwa memang, setelah hari itu, kamu sudah menghapus aku dalam kehidupan kamu. It's okey.. aku paham, aku bukan orang yang baik untuk kamu pilih menjadi teman hidup kamu." Jawab Nura.

Umar menatap Nura dengan tatapan sendu dan sedih. Ia hendak menjawab, dan menjelaskan namun pintu lift sudah terbuka. Nura berjalan lurus, kemudian berdiri berhadapan dengan Umar.

Keduanya hanya saling memandang, sampai Pintu Lift pun tertutup. Nura berjalan menuju pintu apartement nya. Terdengar pintu Lift terbuka, Nura tak menghiraukan hal itu. Lift disana ada dua, mungkin yang satunya terbuka. Sampai ia hendak masuk, suara Umar terdengar memanggilnya.

"Nuraisyah.." panggilnya.

Nura terdiam, sampai ia memberanikan diri berbalik menatap Umar. Keduanya saling berhadapan.
"Saya tahu ini tidak akan berakhir, saya tahu kamu masih bertanya-tanya tentang mengapa saya bisa melukai dengan cara meninggalkan kamu begitu saja. Maaf, jika perkataan saya melukai hati kamu dan mengingatkan kembali luka itu, tetapi ada hal yang tidak kamu tahu. Sekarang, saya ingin meminta maaf dengan sungguh-sungguh." Ucap Umar.

Nura mematung mendengar ucapan Umar. Wajahnya kini menampakan kesedihan. Matanya berkaca-kaca, Nura melihat itu dengan jelas.

"Tidak semua luka bisa sembuh dengan kata Maaf.." jawab Nura. Umar terdiam.
"Aku yang memilih untuk sendiri, sampai aku sendiri yang memutuskan kapan aku mengakhiri kesendirianku. Hubungannya memang dengan harapan, namun harapan itu pula yang mengecewakan. Bukan salah kamu, aku hanya terlalu berlebihan menunggu kamu yang aku harapkan akan kembali." Ucap Nura lagi.
"Jangan menjelaskan apapun saat situasi itu terjadi, ini memang garis takdirnya. Dan mungkin pula aku di pertemukan dengan kamu untuk menyelesaikan perihal pertanyaan mengapa kamu meninggalkan aku"

Umar mendekat.
Nura lebih ikhlas dan pasrah sekarang terlebih, ia tidak ingin keputusannya untuk menjalani hubungan dengan Ivan tergoyahkan. Nura tersenyum dalam hatinya, tidak pantas baginya untuk goyah dengan hal ini. Ini tidak berarti apapun, ini hanya sebuah penyelesaian yang belum sempat terselesaikan dulu.

Pada akhirnya, kini Umar melihat kembali kepergian Nura. Ia melihat punggung wanita yang masih ada dalam hatinya itu. Sampai Nura mengatakan di ujung pintu.

"Pulanglah, jelaskan pada Istrimu bahwa urusan kita sudah selesai. Tidak ada lagi perasaan yang tersisa, dan kekhawatiran kamu selama ini, kini sudah terpatahkan bukan. Terima kasih.. walaupun kisah kita singkat, tetapi aku paham bahwa melupakan itu tidak mudah" ucap Nura lagi.

Umar mengangguk, ia mengerti. Setidaknya kini hatinya merasa lega setelah meminta maaf langsung pada Nura.

Umar berjalan untuk menuju tujuannya. Ia menarik napasnya, namun masih terasa sesak.
"Bukan salahnya, tapi salahku yang menaruhnya terlalu dalam tertimbun oleh ribuan cinta baru sehingga untuk menghapusnya seperti menyakiti diriku sendiri."

MASIH ADA CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang