16. Atsmosfer sedih

34 8 2
                                    


Hari ini Nura bersantai di rumahnya, ia harus membereskan rumah sebab, beberapa minggu lagi Nura akan pulang ke bandung untuk melangsungkan pernikahan. Ia tidak ingin meninggalkan rumah dalam keadaan berantakan.

Rona wajah Nura sangatlah senang. Pada akhirnya hari bahagia itu akan tiba, bersama Ivan.. Nura yakin ia akan bahagia. Melihat jam sudah menunjukan tengah hari, Nura mencoba menyambungkan teleponnya kepada Ivan. Nura menebak, bahwa Ivan sedang istirahat.

"Hallo sayang..?" Jawab Ivan dengan sangat lembut.

"Hmm," jawab Nura yang tersipu malu.

"Kenapa, ada apa hemm?" Tanya Ivan yang mana ia tengah berada di ruangannya dan menatap layar laptopnya.

"Mau ganggu aja boleh?" Tanya Nura manja. Ivan tersenyum, ia pun mengalihkan pandangannya pada ponsel di sampingnya. Ia menatap layar ponsel itu dan tersenyum pada Nura yang terlihat tengah baringan di tempat tidur.

"Emmmh, mentang-mentang libur, kamu santai gitu. Mau ikutan dong.." goda Ivan. Nura tersenyum,

"Gak boleh dong, masih satu bulan lagi dong..." jawab Nura. Ivan mengangguk sembari tersenyum.
"Aku habis beresin rumah, tinggal bagian depan.."
"Kamu gak makan siang?" Tanya Nura dengan penuh perhatian, membuat Ivan semakin dilanda rasa cinta yang amat besar.

"Udah pesen kok, nitip tadi.. tinggal nunggu makanannya datang." Jawab Ivan sambil tersenyum.

"Yaudah syukur deh, aku mau ke mini market dlu, ada yang harus di beli, boleh gak?" Tanya Nura pada Ivan. Ivan mengerutkan dahi dan tersenyum.

"Kamu minta ijin aku nih, Seriusan...??" tanya Ivan. Nura mengangguk sambil tersenyum seolah tidak terjadi hal yang aneh antara dirinya.

"Kenapa emang? Gak boleh ya, minta ijin calon suami buat pergi keluar rumah?" Tanya Nura sambil senyam senyum. Ivan tertawa, betapa menggemaskannya kekasihnya itu

"Boleh sayang.."
"Agak heran aja sih, seorang Nura minta ijin aku." Nura hanya tersenyum menanggapi perkataan Ivan yang memang kaget dengan sikap Nura akhir-akhir ini, namun Nura sendiri memang menempatkan dirinya agar ia bisa terbiasa dengan hal-hal seperti itu.

Ia sama sekali tidak keberatan, memang sedikit aneh! Tetapi, ini sebuah proses, cinta itu memang bertumbuh di antara hati Nura, walau tidak dari dasarnya.

Nura hendak ke kamarnya, namun suara bel rumah berbunyi, beberapa kali di tekan sampai Nura sendiri merasa kesal, mengapa orang di luar tidak sabar. Namun ketika ia membuka pintu rumahnya, alangkah kagetnya melihat Ibu Umar dengan wajah yang pucat.

"Ibu...?" Tanya Nura.

"Nura, ibu minta tolong.. ibu sudah berusaha menghubungi Umar, tapi dia tidak menjawab telepon dari ibu. Sebelumnya Umar memang mengatakan dia akan meeting" ucap Ibu dengan wajah gelisah.

"Ibu ada apa?" Tanya Nura lagi. Tangan Ibu bergetar, kemudian dengan tangan halus Nura ia menyentuh tangan Ibu.

"Ada apa bu, ceritakan saja.." pinta Nura.

"Ne-, Nesha.." Nura terkejut. Nura berpikir yang tidak-tidak hingga sampai pada akhirnya ibu mengatakan.
"Nesha tidak sadarkan diri" ucap Ibu. Nura membulatkan matanya dan bergegas menuju Rumah Nesha.

Nura menerobos masuk ke dalam rumah, di siang bolong seperti ini, komplek rumahnya sangatlah sepi.
Nura masuk kedalam kamar Nesha, ia abaikan semua gambar di dinding. Ia melihat Nesha terbaring lemah.

"Ibu, bangun bu..." suara Hira sangatlah lirih.

"Hira sayang, jaga Khalid sama Yusuf ya.. Ibu biar jadi urusan tante sayang.." belaian lembut yang menghapus tangis pelan Hira. Hira mengangguk walaupun ia tak bisa menghentikan ke khawatirannya itu.

"Mbak...?" Panggil Nura perlahan. Ia menyentuh denyut nadi Nesha, terasa lemah dan pelan. Jujur Nura pun gemetar.

Ibu Nesha sudah menghubungi beberapa orang, hingga tak lama.. pak RT menyiapkan mobil ambulance dan membawa Nesha ke rumah sakit. Nura ikut, dan meminta ibu Umar menunggu saja, sambil terus menghubungi Umar.

Di ambulance, Nura menggenggam tangan Nesha. Menatapnya dengan khawatir, wajahnya kini terlihat kurus dan pucat. Sesampainya di rumah sakit, Nesha menjalani perawatan.

"Kami masih menunggu ruangan.." ucap perawat.

"Sus, tolong.. dimana pun ruangan kosong, ayo! Lakukan tindakan secepatnya.." pinta Nura.

"Tenang ibu, kami terus berusaha."
Dokter terlihat berjalan tergesa-gesa. Sebelumnya ibu Umar mengatakan Nesha harus di bawa kerumah sakit yang sering menanganinya.

Nura menunggu, Nesha kini sedang mendapatkan tindakan. Hingga suster keluar dari ruangan.
"Sus, kenapa sus?" Tanya Nura. Nura sangat gelisah sejak tadi. Pak RT sudah menenangkan Nura, namun tetap saja Nura yang panikan tidak bisa tenang.

"Bu, ibu Nesha sudah sering kami tangani, percayalah.. ini bukan kali pertama ibu Nesha hilang kesadaran. Ibu Nesha hanya sedang lemah saja." Nura hanya diam. Ia mencoba mengartikan apa yang dimaksud oleh perawat tersebut.

"Apa yang terjadi, bu Nesha sakit apa?" Tanya Nura. Perawat itu meminta maaf karena tidak bisa mengatakannya. Perawat itupun pergi berlalu. Nura semakin bertanya-tanya, sampai pada akhirnya Nesha di bawa ke ruang perawatan.

Nura terduduk menatapi istri mantannya itu. Ia bertanya-tanya dalam hatinya, mengapa perawat dan dokter itu seperti sudah biasa melakukan penanganan kepada Nesha. Nura hanya terdiam, menunggu Nesha benar-benar sadar.

Sedangkan di rumah, ibu Umar berusaha terus menghubungi Umar, namun tak ada jawaban. Sepertinya Umar tidak membawa ponselnya. Tak ada yang bisa ibu Umar hubungi kecuali pa RT yang tadi datang mengatakan bahwa Nesha sudah di tangani.

Di ruangan yang sengaja di pesan Nura dengan kelas VIP, Nura hanya bisa berpikir yang tidak-tidak, ia benar-benar takut jika sesuatu hal terjadi kepada Nesha. Nura sengaja menginginkan perawatan yang spesial untuk Nura, ia tidak ingin dalam satu ruangan ada orang lain, ia ingin Nesha fokus istirahat di rumah sakit.

Nesha menarik napas perlahan, ia membuka matanya, dan ia melihat Nura sedang duduk dengan wajah gelisah.

"Ra," panggil Nesha. Nada suara yang lemah itu membuat Nura terperanjat.

"Mbak...?"
"Mbak gimana sekarang, udah enakan? Mbak.. kenapa?" Tanya Nura. Nesha tersenyum lesu, ia mengangguk lemas.

"Udah enakan kok.." ucapnya.

Nura menyentuh tangan dingin Nesha dan menatapnya dengan senyuman.
"Syukurlah, Mbak. Jangan keterusan ya, mbak istirahat dulu jangan banyak melakukan hal yang berat." Pinta Nura.

Nesha hanya tersenyum sambil menggenggam tangan Nura. Tangan hangat itu terasa sampai ke hatinya.

"Nura, kamu adalah wanita yang sangat-sangat luar biasa. Kamu menghawatirkan aku, seolah aku orang yang berharga." Nesha menarik napasnya menahan tangis, ia memejamkan matanya sambil menggenggam tangan Nura. Nura menatap Nesha, air mata lolos dari Cengkraman kelopak matanya yang terpejam.

Nura pun merasakan atsmosfer sedih, ia tertunduk untuk menangis. Entah apa yang ia pikirkan, bahkan ia tak menyangka akan berada di posisi seperti ini. Keduanya saling menggenggam.

"Kenapa, sampai di titik ini aku tidak bisa membenci wanita yang menggantikan aku di hati Umar, bahkan mengapa malah ada rasa sayang, dia siapa? Mengapa aku ikhlas Umar dengannya? Apakah karena memang dia yang terbaik.." tanya Nura pada dirinya sendiri. Nura menangis pelan, tanpa suara. Air matanya pun turun tanpa henti. Ia bergerak mengusap air matanya.

Keduanya saling menggenggam kesedihan, bukan sedih yang menyedihkan, namun mereka merasakan hal seolah saling terkait satu sama lainnya. Keduanya memeluk perasaan masing-masing, sama-sama saling menganggumi sebagai seorang wanita yang sama-sama mencintai pria. pria yang kini bersamanya Nesha, dan pria yang ada di masalalu Nura.

Nura, dia wanita hebat yang pernah ada. Dalam hidupnya sampai detik ini, dia bersabar atas apa yang dia tunggu, namun buah sabar itu adalah, dia mendapatkan hal yang bukan ia tunggu, tetapi sebuah perasaan yang samar dan terlambat ia rasakan, Ivan adalah jawaban kebahagiaannya.

Nura, tidak akan melepas cintanya lagi. Sekalipun ia berbaik hati pada Umar, namun bukan berarti masih ada rasa yang sama, sudah cukup Nura tertampar kenyataan atas kebahagiaan yang di dapat Umar, kebodohannya dulu perlu di balas oleh ribuan cinta oleh orang yang ia pun cintai saat ini.

MASIH ADA CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang